Oleh : Suparto Wijoyo
Akademisi Hukum Lingkungan dan
Wakil Direktur III Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Saya dapat kabar dari kampung halaman di Lamongan, banjir lagi kampunge dan wilayah sekitarnya. Demikian pula yang di Gresik, Mojokerto serta beragam daerah lainnya. Pemberitahuan dan pemberitaan ini kian menambah angka-angka statistikal bencana yang dicatat BNPB sampai akhir tahun 2020 sebanyak 2.939 kejadian, berupa: 16 gempa bumi, 7 erupsi gunung api, 326 karhutla, 29 kekeringan, 1.070 banjir, 575 tanah longsor, 879 puitng beliung dan 36 gelombang pasang.
Bencana ini menimbulkan korban: 370 meninggal, 39 hilang, 536 luka-luka, 6.441.267 menderita dan mengungsi, 42.758 rumah hancur, dan 1.542 fasum rusak. Banjir di manapun sejatinya suatu peristiwa yang secara ekologis merintihkan gelisah lingkungan yang menyempurnakan nestapa warga dengan jerit tangis dan lelehan air mata duka.
Dampak besar akibat banjir ini sepenggalan waktu telah menuangkan peta kebencanaan yang “menuntun air hujan berselimut tanah longsor” di mana-mana. Kerusakan daerah aliran sungai (DAS) dan pembukaan hutan di wilayah hulu ditengarai menjadi penyebab banjir yang dipersepsi bermula dari “jatuhnya air kehidupan”.
Tentu saja tragedi lingkungan ini menghentak batin yang tidak terperikan dengan pesan tunggal: untuk mendorong isu lingkungan sebagai prioritas kebijakan pemimpin daerah dan nasional. Banjir sejatinya mewakili sebuah ratapan yang disebar merata di seluruh segmen geografis nusantara yang acap kali berada di luar proyeksi pengambil keputusan.
Hentikan Menuduh Hujan
Mengapa banjir dan longsor terus melanda? Adakah tragedi ini dirancang bangun mentradisi dan intensitas hujan dijadikan sebagai sang tertuduh tanpa henti meski pemimpin datang silih berganti? Bahkan seperti barang warisan yang diturunkan dari pemimpin lama ke pemimpin baru?
Hujan selaksa “kaum ekstrimis” yang menjadi variabel paling dipersalahkan. Penguasa wajib memahami bahwa penyebab utama banjir bukanlah air hujan melainkan karena buruknya manajemen lingkungan. Banjir pada dasarnya hanyalah “panen raya” dari kebijakan salah tindak dengn tatanan iklimnya. Longsor dan banjir bukan fenomena alam yang mendadak, melainkan produk dari laku destruktif yang tidak diantisipasi pembuat kebijakan negara.
Perspektif ekologis mengkonfirmasikan betapa rapuhnya penjagaan hutan di Indonesia. Desa dan kota tampak kehilangan basis SDA yang berfungsi menjamin keberlanjutan hayati. Fakta ini semakin dipercepat oleh program menjadikan areal hutan Perhutani di Jawa sebagai lahan tanaman pangan atau kebun tebu, tembakau dan kakau.
Sadarilah bahwa hutan pantang ditebang tanpa perencanaan yang memperhatikan kelestarian lingkungan. Mengubah hutan menjadi “kebun teh” dengan bagi-bagi sertifikat sebagai “tanda halal merombak lahan hutan” adalah tragedi yang menunjukkan ke arah mana banjir digerakkan. Kehancuran eksosistem dan matinya jaringan kewilayahan sebuah kawasan berupa banjir dan longsor hanyalah resultan yang inheren.
Hutan di kawasan yang terkena banjir pastilah tinggal “komunitas vegetasi” tanpa arti yang mudah diluluhlantakkan air bah. Apa yang terjadi di Tapanuli dan Bondowoso merupakan manifestasi tentang hutan yang tidak terjaga.
Nalarlah bahwa hujan bukan penyebab tunggal, sehingga banjir bukanlah soal takdir. Banjir itu merangsek dalam problematika tata ruang, penggerogotan SDA, penjungkirbalikan tata guna lahan, yang pada akhirnya adalah tata kebijakan pemerintahan.
Banjir itu bermula dan berakhir dari konsepsi pembangunan yang dianut serta diimplementasikan oleh penyelenggara negara. Hal ini berarti masalah banjir adalah urusan bernegara yang berkaitan dengan kesalahan kebijakan. Dengan demikian memilih model pembangunan sangat menentukan di mana pergerakan banjir dihentikan.
Air hujan tidak akan melaju menerjang desa atau kota, kalau di setiap wilayah tersedia bank air berupa kawasan konservasi, hutan kota, hutan desa, dan telaga-telaga yang sejak era abad ke-7 dikembangkan nenek moyang dan mencapai puncak kemajuan di periode keemasan Majapahit.
Bacalah Kakawin Nagara Krtagama
Abad ke-21 ini momentum mengaktualisir pembangunan berkelanjutan lebih kuat lagi dengan pendekatan yang dalam bahasa Matthew E. Kahn (2010): climatopolis. Pembangunan yang memperhatikan ekosistem iklim memaknai air hujan dapat bercengkerama secara kosmologis dengan pepohonan, bercerita dengan hutan rakyat, hutan kota, hutan konservasi, serta taman-taman rumah.
Air hujan menjadi “sahabat RTH” dan dapat bersimpuh di perut sungai yang setiap musim kemarau direvitalisasi, apalagi dilakukan naturalisasi. Bagaimana sungai tidak meluap, dikala “perutnya” tidak lagi menampung luberan, bukan karena dia tidak sayang air hujan, tetapi pendangkalan yang dialami akibat erosi, itulah yang ditangisi sungai dengan konsekuensi banjir yang menerjang berhari-hari.
Areal konservasi mutlak dikembangkan dan bukannya dialihfungsikan menjadi lahan properti atau kawasan industri. Imunitas lahan pertanian mesti dibuncahkan agar tidak berubah peruntukan sebagai areal berbeton. Reboisasi hutan digelorakan kembali dengan piranti yuridis yang ketat serta bersanksi tegas (regulation and sanction). Tata ruang diformulasi berorientasi kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial secara integral, bukan berbisik: “ada harga ada rupa”.
Lihatlah kasus Teluk Lamong untuk bercermin diri tentang silang sengkarut antarpemda yang tidak kunjung tuntas.
Pada titik ini saya teringat Raja Majapahit yang mengatur relasi antara desa dan kota dengan mendiskripsikan tata kelola negara berlandaskan iklim secara integral bahwa keduanya bagaikan singa dan hutan, dua teritori harus dipelihara seimbang.
Begitulah inti sabda Sang Prabu Hayam Wuruk seperti tertulis di Pupuh 89 Kakawin Nagara Kertagama: “apanikan pura len swawisaya kadi sinha lawan gahana, yan rusakan thani milwan akuran upajiwa tikan nagara hetunikan pada reksan apageha kalih phalanin mawuwus”.
Inilah literasi klasik yang telah bervisi tata kampung tanpa banjir seperti terekam di Kakawin Nagara Krtagama karya Empu Prapanca, 1365. Selamat datang pemimpin baru hasil pilkada 9 Desember 2020 yang akan dilantik 17 Februari 2021, agar menjadikan daerahku tiada lagi berkisah tentang banjir.