PALU, RadarBangsa.co.id – Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Komisi IV Bidang Kelembagaan dan Kerjasama rutin melaksanakan program penguatan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di Kota Palu Sulawesi Tengah (Sulteng) pada Jumat, 4 Agustus 2023 bertempat di SwissBel Hotel Palu.
Acara penguatan kelembagaan tersebut dilaksanakan dengan cara diskusi secara hybrid (pertemuan langsung dan zoom) menghadirkan sejumlah narasumber yakni Anggota Komisioner BPKN dari unsur LPKSM, Drs. M. Said Sutomo, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Tengah, Richard Arnaldo, S.E, M.Sa, Ketua LPKSM Sulteng, Salman Hadiyanto, S.H, M.H, dan Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Republik Indonesia Sulteng Irjen Pol Agus Nugroho yang diwakili oleh Kepala Subdit (Kasubdit) Indagsi Polda Sulteng, AKBP Andi Saiful Arif, S.H, M.H.
Bertindak sebagai Moderator adalah Ketua Komisi IV BPKN Bidang Kelembagaan dan Kerjasama, Dr. Haris Munandar, MA dan kegiatan ini diikuti oleh seluruh LPKSM di wilayah Sulteng dan Anggota BPSK Kota Palu.
Drs. M. Said Sutomo menyampaikan berdasarkan pemikiran filosofis Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea empat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dan Peraturan Presiden Nomor 50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindunngan Konsumen (STRANAS-PK) maka ada tiga pilar perlindungan yang wajib menjadi patokan dan ditegakkan dalam setiap aksi pelaksanaan perlindungan konsumen secara integratif.
“Karena tiga pilar itu pula yang menjadi penyebab pelanggaran UUPK, sehingga menjadi biang kerugian konsumen baik secara personal maupun komunal,” jelas Said, panggilan karibnya.
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan (YLPK) Jawa Timur ini menguraikan pilar pertama adalah peranan efektif Pemerintah dalam pelaksanaan dan membumikan UUPK di tengah-tengah masyarakat dalam praktik perdagangan konvensional maupun Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) atau digital (e-commerce) sebagaimana telah diatur di dalam Undang-Undang Perdagangan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan Pasal 65 juncto Pasal 115.
“Karena manakala peranan Pemerintah tidak efektif, maka dapat dipastikan akan terjadi pengabaian terhadap hak-hak normatif konsumen dalam proses-proses transaksi oleh para pelaku usaha,” tuturnya.
Pilar kedua menurutnya adalah keberdayaan dan kesejahteraan konsumen sebagaimana jargon para aktivis LPKSM yang disuarakan oleh Ibu-Ibu pendiri YLKI di Jakarta dan YKS di Surabaya sejak pada tahun 1970-an yaitu, “TELITI SEBELUM MEMBELI, WASPADA SEBELUM TERPEDAYA”.
Dengan demikian lanjutnya, titik tolak penguatan perlindungan konsumen di bidang keberdayaan dan kesejahteraan konsumen adalah konsumen memberdayakan konsumen sejak saat pra transaksi dan pada saat transaksi, sehingga dapat mencegah kerugian konsumen ketika pasca transaksi (purna jual).
Pasalnya, Said menambahkan pada saat pra transaksi, konsumen harus bersikap berdaya atau kritis menggali informasi yang benar, jelas dan jujur tidak hanya tentang jaminan barang dan/atau jasa yang ditawarkan dan diperdagangkan oleh pelaku usaha, tapi juga tentang legalitas usahanya dan identitas pelaku usahanya.
“Bertujuan untuk membangun hubungan kepercayaan kedua belah pihak dan dapat dijadikan sebagai bukti awal jika terjadi sengketa pada pasca transaksi,” jabarnya.
Pilar ketiga kata Said yaitu peranan kepatuhan pelaku usaha terhadap pelaksanaan kewajiban normatifnya kepada konsumen sebagaimana yang ditetapkan di dalam UUPK Pasal 7, antara lain kewajiban pelaku usaha memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur kepada konsumen tentang jaminan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, termasuk tentang legalitas usahanya dan identitasnya sebagai market conduct praktik usahanya secara digital maupun konvensional.
Karena itu, ia berpendapat keberhasilan perlindungan konsumen bukan hanya diukur dari kemampuan menampung jumlah pengaduan konsumen sebanyak mungkin yang telah mengalami kerugian pada pasca transaksi.
Justru menurutnya, semakin banyak jumlah pengaduan konsumen yang mengalami kerugian pada pasca transaksi membuktikan bahwa peranan Pemerintah tidak efektif, keberdayaan konsumen lemah, dan kepatuhan pelaku usaha terhadap UUPK sangat rendah.
“Artinya pilar-pilar perlindungan konsumen ‘ambyar’ atau ambruk,” tegasnya mengingatkan.
Dia berharap keberhasilan perlindungan konsumen harus diukur dari keberdayaan konsumen pada pra transaksi dan pada saat transaksi, sehingga kerugian konsumen pada pasca transaksi dapat diminimalisir karena adanya peranan efektif Pemerintah baik Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam membumikan UUPK di tengah-tengah masyarakat.
“Adanya keberdayaan dan kesejahteraan konsumen karena diperkuat oleh kepatuhan para pelaku usaha dalam menjalankan UUPK,” pesannya.
Dengan demikian Said meminta kepada kelembagaan Pemerintah, BPKN di tingkat nasional, BPSK di tingkat Provinsi yang domisilinya di Kota dan Kabupaten, pelaku usaha dan konsumen bersama peranan LPKSM lebih banyak dituntut penguatan perlindungan konsumen secara preventif dengan cara pemberdayaan konsumen pada pra transaksi dan saat transaksi agar tidak ada kerugian konsumen dan tidak ada sengketa konsumen.
Said optimistis dengan tidak adanya kerugian konsumen konsumen atau sengketa konsumen dengan pelaku usaha akan mendorong kepercayaan publik untuk lebih banyak melakukan transaksi terhadap barang dan/atau jasa kebutuhan rumah tangga yang ada di pasar konvensional maupun pasar digital.
“Adanya peningkatan transaksi konsumen, maka akan meningkatkan perkonomian daerah maupun nasional kita,” serunya.
Jadi ia menghimbau pola pikir perlindungan konsumen kita ke depan harus diubah bukan diukur dari kuantitas pengaduan konsumen tapi harus diukur dengan kualitas minimnya pengaduan konsumen dikarenakan tiga pilar perlindungan konsumen benar-benar berfungsi di dalam sistem perkenomian dan perdagangan nasional maupun internasional.
Said meyakini manakala di masa depan peranan Pemerintah sudah semakin efektif dalam pengawasan dan pelaksanaan UUPK serta konsumen semakin berdaya dan sejahtera dalam setiap mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang ditawarkan di pasar konvensional maupun pasar digital dan semua para pelaku usaha (BUMN, BUMD, Swasta, dan Koperasi) patuh terhadap hak-hak normatif konsumen sebagaimana diatur di dalam UUPK, maka keberadaan BPKN, LPKSM maupun BPSK akan semakin tidak diperlukan lagi.
“Oleh masyarakat konsumen di Indonesia pada khususnya, maupun konsumen internasional pada umumnya,” pungkasnya.
Seusai kegiatan penguatan kelembagaan ini dilanjutkan acara ramah tamah BPKN dengan BPSK Kota Palu yang berkantor di Jalan R.A. Kartini No. 42 Kota Palu Sulteng.
Rombongan BPKN terdiri Ketua Komisi IV, Dr. Haris Munandar, MA., Anggota Komisi IV, Drs. M. Said Sutomo didampingi oleh para staf yaitu I Ari Gusti Made Ari Wibawa, Fery Nurdiansyah, dan Bagus Perdana Mulya.