Oleh : Andre Vincent Wenas
Awal tahun ini ada laporan menarik dari Eropa, lantaran “Catat Rekor Surplus Anggaran, Menkeu Jerman ‘Bingung’ Mau Diapakan”. Lha kok?
Jerman mencatat untuk kesekian kalinya mengalami surplus anggaran. Surplus terakhir tercatat untuk tahun anggaran 2015 dengan 12,1 miliar euro. Sedangkan tahun 2019 kemarin surplus anggaran mencapai rekor senilai 13,5 miliar euro.
Kalau nilai tukar 1 euro sekitar 15 ribu rupiah, maka surplus anggaran Jerman 2019 adalah setara dengan Rp 202.500.000.000.000,- (200 trilyun lebih).
Pemerintah Jerman kabarnya masih membahas untuk apa dana itu sekarang akan digunakan.
Hebatnya, selain surplus anggaran 13,5 miliar euro tadi, masih ada pula dana cadangan 5,5 miliar euro yang tadinya disiapkan untuk mengantisipasi kedatangan pengungsi.
Pada kenyatannya dana itu tidak terpakai, sehingga Kementerian Keuangan saat ini memiliki sisa dana total 19 miliar euro dari tahun anggaran 2019 lalu. Kalau dirupiahkan jadi sekitar Rp 285 trilyun lebih.
Kata Menteri Keuangan Olaf Scholz waktu itu di Berlin, “Kami punya sedikit keberuntungan, dan tentu saja kami telah berhemat dengan baik.”
Padahal setahun sebelumnya, Olaf Scholz masih memperingatkan bahwa “tahun-tahun gemuk” bagi Jerman telah berlalu dan ia minta supaya semua instansi pemerintahan Jerman malakukan penghematan anggaran.
Dari mana datangnya surplus anggaran itu? Menurut menkeu Olaf Scholz, surplus itu terutama datang dari pendapatan pajak yang lebih besar dari prediksinya semula, disamping juga akibat suku bunga yang rendah, sehingga angsuran kredit negara tidak terlalu memberatkan.
Ada juga pos anggaran yang disiapkan untuk kasus Brexit, yang dikhawatirkan maka diantisipasi jika terjadi tanpa adanya kesepakatan bersama.
Dari mana penghasilan pajak itu diperoleh? Dari pertumbuhan ekonominya yang stabil dan kuat. Kata Scholz lebih lanjut, “Kami telah mengalami perkembangan ekonomi yang baik, dan perkembangan itu telah menghasilkan pendapatan pajak tambahan.”
Mau digunakan untuk apa dana surplus itu? Kementerian Keuangan Jerman kabarnya berniat menyalurkan 500 juta euro kepada Kementerian Pertahanan. Sedangkan sisanya bakal dimanfaatkan untuk “investasi yang signifikan”.
Apa itu ‘investasi yang signifikan’? Infrastruktur, sekolah/pendidikan, rumah sakit/kesehatan, dan lingkungan hidup/perubahan iklim global.
“Kami harus melakukan sesuatu untuk infrastruktur, untuk sekolah, untuk rumah sakit. Kami juga harus memastikan bahwa kami siap bertindak melawan perubahan iklim,” ujar Olaf Scholz.
Tentu saja, dengan kelebihan dana yang ada, sekarang rencana itu semua akan menjadi sedikit lebih mudah.
Wacana publik terbuka yang terjadi selanjutnya adalah munculnya aspirasi lain. Sebagian politisi memang menuntut agar dana surplus digelontorkan proyek-proyek infrastruktur besar-besaran, yang lain menuntut agar besaran pajaklah yang diturunkan.
Argumennya, mengingat dana itu adalah pada dasarnya adalah uang rakyat.
“Surplus anggaran adalah milik para pembayar pajak,” kata ketua partai oposisi FDP, Christian Linder. “Kita perlu keringanan pajak yang luas,” tegasnya.
Pelajarannya bagi kita.
Prestasi menajemen pemerintahan Jerman yang bisa memotivasi warga negara jadi taat bahkan antusias berkontribusi memang luar biasa.
Kontribusi warga bentuknya adalah produktivitas ekonomi dan ketaatannya dalam membayar pajak.
Disamping bangkitnya kesadaran hidup kolektif sebagai warga, kesadaran bahwa suatu negara-bangsa juga mesti dijaga bersama keharmonisan, keamanan dan kedamaiannya. Terlepas dari latar belakang agama, ras atau asal kesukuan, bangsa Jerman adalah bangsa Jerman, titik.
Hemat dan jujur dalam menjalankan roda pemerintahan, pengelolaan anggaran yang terbuka dan bersih. Terbuka (dibuka)nya wacana (diskursus publik) terhadap anggaran publik yang transparan melahirkan tingkat kepercayaan yang tinggi.
Tak ada yang disembunyikan karena memang tak ada skenario sembunyi-sembunyi di belakang layar.
Cerdas dalam menentukan prioritas pembangunan. Fokus pada pada investasi yang signifikan: infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup.
Infrastruktur yang layak bagi dinamika aktivitas manusia/warganya. Pendidikan bagi kecerdasan bangsa yang beradab tinggi. Kesehatan dan lingkungan hidup yang memanusiakan manusia. Ini mencerminkan pola pembangunan yang berpusat pada manusia itu sendiri.
Dampaknya, pertumbuhan ekonomi yang berlandaskan fundamental ekonomi yang kuat dan stabil. Sehingga kontribusi pajak dari warga negaranya pun sudah terbukti.
Warga punya tingkat kepercayaan tinggi pada kompetensi negara dalam mengelola dana yang telah mereka titipkan.
Hemat dalam pengelolaan anggaran, practically tidak ada dana yang bocor. Ataupun dialihkan untuk hal-hal yang non-sense, misalnya bayar uang preman (dana hibah buat ormas radikal, mafia pasar, dan yang sejenisnya).
Tidak tercium adanya bau bancakan anggaran dengan tingkah polah yang norak.
Dampak dari itu semua keutamaan (virtues) yang dipraktekan sudah jelas ada contohnya. Berkat kerja keras (produktif), hemat, jujur, semangat belajar, sikap terbuka dan toleran maka bangsa Jerman bisa hidup dalam kelimpahan. Surplus anggaran yang melimpah. Sampai sempat bingung mau dipakai untuk apa.
Kita pun mengangankan suatu pemerintahan yang sungguh bisa jadi solusi hidup bernegara. Di tingkat pusat maupun daerah.
Jangan jadi seperti sindiran yang pernah disampaikan Ronald Reagan dulu, “Government is not the solution to our problem, Government is the problem!” Amit-amit jabang bayi.
“Penulis adalah Sekjen Kawal Indonesia – Komunitas Anak Bangsa.