FH Unair Gandeng YLPK Jatim Gelar Penyuluhan Hukum Perlindungan Konsumen Standar Jasa Penerbangan Sesuai Konvensi Montreal 1999

SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH Unair) Surabaya sebagai wujud Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) dijadwalkan menggelar penyuluhan hukum menggandeng Organisasi Bantuan Hukum (OBH) Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jawa Timur bertemakan “Perlindungan Konsumen dalam Standar Pelayanan Jasa Penerbangan Sesuai Konvesi Montreal 1999”, pada tanggal 16 Agustus 2023 di Gedung Museum NU Jalan Gayungsari Timur Nomor 35 Surabaya.

Tujuan dari PKM ini adalah untuk membantu mitra yakni YLPK Jatim memahami ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999 dan peraturan Perundang-undangan nasional yang menjadi penghambat pemberlakuan ketentuan Konvensi Montreal 1999 yang telah diratifikasi Indonesia.

Bacaan Lainnya

Materi penyuluhan hukum disampaikan oleh Dosen FH Unair, Adhy Riady Arafah, S.H, LL.M (Adv.) yang juga menjabat Direktur Center for Air and Space Law (CASL) dan Direktur Airlangga Institute for Internasional Studies (AIILS) dipandu oleh moderator Masitoh Indriani, SH., LL.M., yang dikenal sebagai Ketua Humas FH Unair.

Para peserta undangan adalah para aktivis dan praktisi hukum di lingkungan pengurus YLPK Jatim beserta mitra kerjanya, akademisi, praktisi hukum dan masyarakat umum sejumlah paling banyak 25 peserta.

Berkaca pada kecelakaan Air Asia QZ8501 rute penerbangan Surabaya – Singapura tahun 2014 dan peristiwa penembakan pesawat Malaysia MH17 rute penerbangan Amsterdam – Kuala Lumpur merupakan awal kasus yang mendorong Indonesia pada akhirnya meratifikasi Konvensi Montreal 1999 atau yang dikenal dengan Convention for the unification of certain rules for international carriage by air.

Dua peristiwa kecelakaan yang menelan korban konsumen pengguna jasa penerbangan tersebut terdapat beberapa konsumen Warga Negara Indonesia (WNI) dan konsumen warga negara selain Indonesia. Ketika maskapai penerbangan Internasional memberikan kompensasi kepada konsumen yang mengalami korban kerugian dalam jasa penerbangan tersebut, kemudian muncul persoalan tentang besaran nilai kompensasi yang diterima oleh konsumen WNI.

Pertama, ada perbedaan nilai kompensasi yang dibayarkan oleh perusahaan maskapai kepada konsumen WNI yang nilai kompensasinya lebih rendah daripada konsumen lainnya yang berkewarganegaraan selain Indonesia. Salah satu alasan utamanya adalah karena Indonesia tidak atau belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999.

Kedua, akibat perbedaan nilai kompensasi yang ditawarkan kepada konsumen WNI tidak sama dengan nilai kompensasi konsumen berkewarganegaraan selain Indonesia, maka Indonesia meratifikasi Konvensi Montreal 1999.

Ketiga, setelah enam tahun Indonesia meratifikasi Konvensi Montreal 1999 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 95 Tahun 2016, ternyata penerapan pemberlakukan Konvensi Montreal 1999 masih mengalami kesulitan.

Hal ini dilatar belakangi karena ketentuan hukum nasional yaitu Undang-Undang Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 dan aturan dibawahnya mengenai kompensasi terhadap pengguna jasa transportasi udara di Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 77 Tahun 2011 yang dibuat pada saat Indonesia belum menjadi peserta Konvensi Montreal 1999.

Akibatnya, terdapat banyak ketentuan dalam hukum nasional bertentangan dengan ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999 yang telah diratifikasi. Diantaranya terkait dengan nilai kompensasi, yurisdiksi hukum hingga hal yang paling mendasar, yaitu prinsip pemberlakuan hukum.

Pada gilirannya, tidak sedikit konsumen yang melakukan perjalanan transportasi udara mengeluhkan kesulitan memperoleh nilai kompensasi sesuai ketentuan internasional apabila mengalami kerugian penerbangan dari dan atau menuju ke Indonesia dengan ketentuan hukum nasionalnya.

Sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Montreal 1999 menjadi hukum nasional melalui Perpres Nomor 95 Tahun 2016, seharusnya ketentuan perlindungan konsumen jasa tranportasi udara telah berlaku. Pemberlakukan ketentuan ini meliputi nilai kompensasi terhadap kecelakaan pesawat, keterlambatan, pembatalan penerbangan hingga pada kehilangan atau rusaknya barang konsumen di bagasi.

Namun, hingga saat ini setelah ratifikasinya Konvensi ini terdapat perbedaan ketentuan hukum antara hukum nasional melalui UU Penerbangan Nomor 1 Tahun 2009 beserta aturan turunannya dalam Permenhub Nomor 77 Tahun 2011 dan Konvensi Montreal 1999.

Dampaknya, tujuan dari ratifikasi Konvensi Montreal 1999 untuk melindungi para konsumen jasa transportasi udara di Indonesia banyak yang tidak terlaksana akibat adanya dualisme hukum ini. Padahal transportasi udara memegang peranan penting dalam memajukan pariwisata nasional.

Sementara itu, Ketua YLPK Jatim, Drs. M. Said Sutomo, Senin (31/7/2023), mengapresiasi kegiatan PKM FH Unair ini karena tidak hanya bermanfaat mendapatkan pengetahuan dalam bidang sosial dan perlindungan hak-hak konsumen saja, tetapi juga pemanfaatan nilai jangka panjang atas kinerja tim PKM sesuai dengan topik bahasan dalam penyuluhan hukum.

“Ketidaktahuan akan hak pengguna jasa transportasi udara sesuai ketentuan Konvensi Montreal 1999 oleh YLPK Jatim dan konsumen akan berdampak pada rendahnya daya tawar dalam negosiasi serta nilai kompensasi,” tegasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *