SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Pemilihan presiden (pilpres) 2024 akan menjadi ajang perebutan kekuasaan antara para tokoh politik di Indonesia. Salah satu yang sudah menyatakan niatnya untuk maju sebagai calon presiden (capres) adalah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah dan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Ganjar telah mengambil keputusan yang menarik dengan menggandeng Mahfud MD, tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampinginya. Keduanya merupakan tokoh nasional yang memiliki basis massa yang kuat.
Dr Siti Aminah Dra MA, pengamat politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) menyoroti kejadian itu. Menurutnya, dukungan tersebut hanya cara mudah untuk menjaring suara dan tidak menjamin kemenangan Ganjar dalam pemilihan presiden 2024.
Pengaruh Dukungan Tokoh NU Terhadap Elektabilitas
Aminah mengkritisi strategi PDIP dalam merangkul NU melalui Mahfud MD. Dia mengatakan bahwa Mahfud bukan kekuatan pendongkrak suara NU, karena dia biasa-biasa saja seperti intelektual NU yang ada di kampus umumnya. Dia juga menegaskan bahwa pengalaman Mahfud di bidang hukum, politik, dan keamanan tidak menjamin visi-misi Ganjar sebagai presiden.
“Pengalaman Mahfud tidak menjamin visi-misi Ganjar. Karena Ganjar mengusung misi-visi PDI-P. Tentang ini perlu ada riset. Kalau dilihat dari cara PDIP merangkul NU disini kurang pas. Menurut saya strategi PDIP kurang tepat,” pungkas Aminah.
Aminah menjelaskan bahwa ada beberapa model yang bisa digunakan untuk menganalisis pengaruh dukungan tokoh NU terhadap elektabilitas Ganjar. Model pertama adalah model preferensi pemilih, yang mengasumsikan bahwa pemilih memilih kandidat yang mereka nilai paling positif dan paling berpeluang menang.
Model kedua adalah model ikut-ikutan, yang mengasumsikan bahwa pemilih ingin berada di pihak yang menang dalam kampanye pencalonan. Model ketiga adalah model utilitas yang mengasumsikan bahwa pemilih mempertimbangkan elektabilitas dan penilaian mereka terhadap kandidat dalam menentukan pilihan.
Elektabilitas Bukan Tolak Ukur
Aminah menambahkan bahwa elektabilitas tidak ditentukan oleh komunikasi politik. Dia mengatakan bahwa Ganjar dan Mahfud sudah ahli dalam membangun komunikasi politik dengan masyarakat yang menjadi bagian dari masa aktifnya. Mengingat masyarakat sudah terbelah-belah berdasar garis afiliasi partai politik, komunikasi politik tidak cukup untuk mempengaruhi simpatisan fanatik, ikut arus, atau cuek.
Aminah memandang elektabilitas kurang berguna dalam melobi suara masyarakat secara strategis dalam memilih capres. Pasalnya, masyarakat harus mengkaji lebih dalam visi dan misi masing-masing capres, bukan hanya berdasarkan survey yang dinamis. Dalam hal ini, Aminah menjelaskan bahwa konotasi ‘elektabilitas’ kurang tepat digunakan karena sering diterapkan dengan cara yang sangat licin, tidak konsisten, dan bias.
“Ada konflik kepentingan ketika para politisi mengklaim bahwa mereka lebih terpilih (elektabilitas tinggi dari survey-survey) karena implikasinya adalah mereka lebih berhak mendapatkan suara kita dibandingkan lawan mereka,” pungkasnya.
Lebih lanjut Aminah mengungkapkan bahwa elektabilitas kerap kali disalahgunakan untuk memanipulasi atau mengacaukan pilihan calon pemilih, yang dimana menjadi senjata untuk menjatuhkan kandidat lain. Menurutnya, elektabilitas akan menimbulkan asumsi bahwa mereka lebih ‘layak dipilih’ daripada lawannya, yang dimana dapat dianalogikan bahwa mereka mengklaim dirinya lebih unggul daripada lainnya dalam hal kebaikan, kreativitas, atau memproduksi janji-janji politik dalam kampanye.
“Jadi, elektabilitas bukan tolok ukur yang relevan untuk mengatakan bahwa calon tertentu lebih unggul dan layak dipilih. Kata elektabilitas dari survey-survey yang tujuannya untuk menaikkan elektabilitas itu sering digunakan untuk menutupi prasangka halus dengan mengecilkan hati kandidat yang tampil berbeda dari kandidat yang lebih tradisional atau lebih dalam bidang yang lain,” paparnya.