Oleh : Denny JA
“Tak ada yang lebih kuat daripada gagasan yang waktunya telah datang. Mereka mungkin kuat menahan serangan tentara. Tapi mereka tak akan kuat melawan serbuan gagasan yang masanya telah tiba. Ini kutipan terkemuka dari pemikir dan sastrawan terkemuka Victor Hugo.
Saat itu, negara mana yang lebih kuat daripada Uni Sovyet? Ia memimpin penuh Eropa Timur dan separuh dunia. Uni Sovyet di tahun 1970-1980 lebih kuat mengontrol blok timur ketimbang Amerika Serikat mengontrol blok barat.
Namun gagasan itu telah datang. Gagasan bahwa komunisme tak mampu membawa kesejahteraan dan keadilan. Gagasan bahwa demokrasi dan kebebasan lebih menjanjikan.
Kitapun menyaksikan rontoknya Blok Timur dan berubahnya 29 negara, sepanjang tahun 1989- tahun 2000an.
Diukur dari kekuatan militer dan ekonomi, tak ada satupun dari 50 negara muslim yang lebih kuat daripada Uni Sovyet. Pada waktunya kawasan muslim pun akan mengalami perubahan besar. Gelombang demokratisasi keempat akan melanda kawasan itu.
Kelas menengah muslim semakin tumbuh. Mereka adalah entrepreneur, kalangan profesional, kaum cerdik pandai. Prosentase jumlah mereka akan semakin tinggi pada setiap negara muslim.
Mereka ingin hidup di lingkungan lebih baik. Mereka akan menuntut pemerintahan yang lebih bisa dikontrol, bersih, bertanggung jawab. Mereka meminta kebebasan. Dibantu media sosial mereka membawa gagasan perubahan yang akan lebih kuat dibandingkan serbuan tentara.
Gerakan Arab Spring di tahun 2010-2012, yang melanda belasan dunia Arab dan sekitarnya itu semacam wake up call. Gerakan itu memang dapat dipatahkan. Tapi gagasan perubahan itu terus hidup di bawah permukaan. Ia segera menjadi bom waktu.
Sungguhpun Arab Spring gagal mengubah Dunia Muslim menjadi negara demokrasi, namun ia sudah mengirimkan pesan kuat. Banyak penguasa otoriter tumbang.
Karena gerakan Arab Spring, Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali, melarikan diri. Pemerintahannya jatuh. Presiden Mesir Hosni Mobarak tumbang. Pemimpin kharismatik Libya Muamar Khadafi terbunuh.
Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh jatuh. Ia mengalihkan kekuasaan pada national unity government. Presiden Bashar Al Assaad di Suriah menghadapi perang sipil yang panjang.
Rakyat bergolak mulai dari Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Suriah hingga meluas ke Maroko, Irak, Aljazair dan Yordan. Selama gerakan Arab Spring itu, jatuh korban sekitar 61 ribu hingga 140 ribu.
Pemicu gerakan cukup beragam dari satu negara ke negara lain. Mulai dari kesulitan ekonomi, tingginya penggangguran, hingga protes atas rezim yang korup dan semena- mena.
Di sepanjang jalan, rakyat turun dan meneriakkan: Perubahan! Demokrasi! Kebebasan!
Mereka sudah dikalahkan. Namun peradaban bergerak memihak mereka. Dunia industri terus melahirkan semakin banyak kelas menengah Muslim.
Chunlong Lu (2005) membuat studi mengenai hubungan kelas menengah dan demokrasi. Ia menyimpulkan semakin banyak prosentase kelas menengah di satu negara, semakin kuat kehadiran demokrasi dan makin stabil kebebasan di sana.
Kelas menengah didefinisikan berdasarkan tiga kategori: pendapatan, pendidikan dan profesi. Untuk profesi, ia mencakup para entrepreneurs, golongan profesional, kaum cerdik pandai, dan para manager.
Prosentase jumlah kelas menengah di suatu negara cukup menentukan kehadiran dan kualitas demokrasi. Ia membagi jumlah kehadiran kelas menengah di bawah 20 persen, antara 20-40 persen dan di atas 40 persen.
Bukan pembangunan ekonomi yang menghasilkan demokrasi. Bukan kekayaan satu negara yang memicu kebebasan. Tapi prosentase kelas menengah itu.
Jika jumlah mereka masih di bawah 20 persen dari keseluruhan populasi sebuah negara, pemerintah masih bisa mengabaikan atau menumpas mereka. Tapi jika jumlah mereka di atas 40 persen, pemerintah manapun akan berkompromi. Atau pemerintah itu dijatuhkan.
Mengapa kelas menengah memperjuangkan demokrasi dan kebebasan? Dengan ilmu pengetahuan yang beragam, dengan latar profesi yang beragam, dengan gaya hidup yang beragam, masing masing mereka ingin dilindungi. Tak ada sistem yang bisa mengakomodasi keberagaman itu secara setara dibanding sistem demokrasi + kebebasan.
Apalagi mereka membayar pajak kepada pemerintah. Muncul kesadaran baru: “wahai pemerintah. Kami yang menggaji dan membiayaimu. Kami harus mengontrolmu. Kami berhak memiliki pemerintahan yang baik. Kami berhak aktif menyuarakan aspirasi kami. Kami berhak mengorganisir diri.”
Kini datang pula dunia media sosial dan internet. Banyak studi menyatakan internet dan media sosial adalah teknologi yang memperkuat individu. Gagasan apapun mudah disebar. Apalagi soal isu buruk atau skandal pemerintahan. Internet dan media sosial semakin memperkuat kelas menengah.
Dunia muslim tak terkecuali. Secara hipotetis bisa dikatakan. Kekalahan gerakan demokrasi dan kebebasan dalam gerakan Arab Spring, itu karena jumlah dan prosentase kelas menengah di negara itu belum banyak.
Tapi bukankah zaman terus bergerak? Jumlah kelas menengah muslim pasti bertambah banyak. Saat itulah demokrasi dan kebebasan tumbuh di dunia muslim. Tak ada penguasa yang kuat menahan.
Apalagi kekuatan dunia akan mendukung gelombang demokratisasi dan kebebasan kawasan muslim.
Mengapa dunia mendukung? Menurut Pew Reseach Center, sejak tahun 2070, penganut Muslim akan menjadi yang terbesar di dunia. kualitas hidup dunia akan jauh lebih baik jika dunia muslim itu berada dalam pemerintahan yang demokratis, dan menjamin kebebasan.
Kekuatan utama dunia tahu itu. Kekuatan utama dunia bergerak untuk itu.
Ketika gelombang keempat demokratisasi melanda kawasan Muslim, kembali kita teringat Victor Hugo: “Tak ada yang lebih kuat dibandingkan gagasan yang waktunya telah tiba.” Kitapun mahfum. Waktu untuk gagasan demokrasi dan kebebasan memang telah datang.
‘Penulis adalah Konsultan Politik, Founder LSI-Denny JA, dan Penulis Buku.