Jurus Jitu Indonesia Menghadapi Kenaikan Suku Bunga The FED

Wijianto, SE.

Oleh: Wijianto, SE.

RadarBangsa.co.id – Pada masa pandemi, kisah getir dan gembira silih berganti. Federal Reserve resmi menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada hari Rabu (15/6/2022) waktu setempat. Suku bunga acuan merupakan bagian dari kebijakan moneter yang berfungsi memelihara stabilitas nilai mata uang. Suku bunga acuan menjadi referensi atau acuan bagi bank dalam menetapkan suku bunga pinjaman serta suku bunga simpanan (tabungan atau deposito).

Peningkatan tren suku bunga AS memang dikhawatirkan akan menciptakan capital outflow industri keuangan dalam negeri. Karena akan terjadi potensi shifting likuiditas. Pasar keuangan global pun langsung merespons negatif. Pasalnya, inflasi global sampai saat ini masih belum bisa dikendalikan, mulai dari peningkatan inflasi terkait dampak perang Rusia-Ukraina dan terhambatnya rantai pasokan dari Cina terkait isolasi Covid yang sangat ketat, hingga langkah Uni Eropa yang menghentikan impor minyak dari Rusia.

Kenaikan suku bunga ini tentunya juga berdampak pada perekonomian Indonesia. Dengan naiknya suku bunga The Fed, Bank Indonesia (BI) tentu akan mengikuti kenaikan ini dengan menaikkan suku bunga acuannya. Hal ini akan memicu terjadinya tekanan ekonomi di Indonesia karena konsumen belum siap menghadapi kenaikan suku bunga.

Pasalnya, kenaikan suku bunga The Fed akan meningkatkan beban masyarakat Indonesia, di mana bunga KPR, bunga kredit kendaraan bermotor, hingga bunga pinjaman modal usaha akan mengalami kenaikan. Akankah kondisi buruk tahun 1998 terulang kembali, tentu selayaknya negara ini harus khawatir dan waspada ditengah kondisi secara universal yang masih abu-abu?

Ketidakpastian Universal

Kenaikan suku bunga diperkirakan akan terus terjadi, tentu nantinya akan memicu ketidakpastian ekonomi global. Ini adalah kali ketiga bank sentral AS menaikkan suku bunganya sejak Maret, setelah inflasi di AS yang melonjak drastis bulan lalu. Pertama, jelas harga akan terkerek naik. Uang lari ke Amerika, outflow ini juga susah ditebak. Pelemahan rupiah ditengah daya beli yg masih rendah karena dampak pandemic.

Kedua, suku bunga akan menyebabkan kenaikan biaya. kenaikan biaya pembiayaan yang dapat menghambat investasi karena biaya investasi yang ditimbulkan menjadi besar. Ketiga, Suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan permintaan terhadap dollar AS. Imbasnya, nilai tukar dollar AS naik 10 persen, sedangkan nilai tukar mata uang lain melemah. Penjualan rumah juga melambat drastis karena suku bunga hipotek mengikuti suku bunga Fed yang lebih tinggi.

Tidak kalah merisaukan, pendapatan masyarakat juga ikut terpaut. Memasuki trisemester kedua 2022, dipicu kecemasan baru atas persebaran varian Omicron baru yang begitu gesit, namun akhirnya bisa dilalui dengan baik lewat kemampuan berkelit meskipun belum benar-benar hilang. Sungguhpun begitu, Indonesia juga masih meradang karena harga minyak (bensin dan solar juga naik). Indonesia adalah importir bersih minyak. Kenaikan harga minyak menggerogoti neraca perdagangan sekaligus kenaikan subsidi yang mesti digelontorkan. Dilema kebijakan berada di titik ini. Jika harga minyak domestik tidak dinaikkan, subsidi akan bengkak.

5/7/9 kompilasi kebijakan serba salah pemerintahan Jokowi dalam ketahanan ekonomi nasional pasca pandemi-perang Russia Ukraina juga memicu kestabilan ekonomi yang masih carut marut sampai saat ini. Di satu sisi ingin mengembalikan kondisi normal ekonomi secara langsung dilain sisi dilema dengan kondisi climate change dan ketahanan ekonomi global. Mungkinkah kondisi pada tahun 1998 terulang kembali di masa ini yang berdampak pada ketahanan ekonomi nasional secarah universal, perlu jurus atau ramuan untuk meredam segala dampak yang terjadi tujuannya jelas memperkuat nilai mata uang rupiah agar tidak jatuh dan tersungkur kembali.

Respon Kita Sebagai Pelaku Pasar

Pengumuman kenaikan Fed Fund Rate (FFR) dikatakan sebagai suatu pengumuman yang memberikan signal bagi pasar baik positif maupun negatif maka pasar akan bereaksi dengan adanya abnormal return. Kita Sebagai pelaku pasar dapat mempertimbangkan informasi kenaikan Fed Fund Rate dan memperhitungkan risiko yang akan terjadi pada perusahaan setelah adanya kebijakan tersebut sehingga disamping mendapatkan return yang tinggi, dana yang telah mereka tanamkan di pasar modal tidak akan terkena dampak negatif dari adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh The Fed.

Begitupun juga nantinya pasar akan memandang masih bergerak fluktuatif untuk memastikan keberhasilan kebijakan normalisasi moneter bank sentral dalam mengendalikan lonjakan inflasi. Dimana era bunga rendah akan berakhir seiring dengan berlanjutnya tren kenaikan suku bunga hingga tahun depan. Seperti apa pasar melihat dampak kebijakan suku bunga bank sentral? Akankah Pasar bereaksi atas pengumuman kenaikan tingkat suku bunga acuan oleh The Fed yang nantinya ditunjukkan dengan adanya perbedaan rata-rata trading volume activity sebelum dan sesudah peristiwa tersebut.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pengumuman Kenaikan Tingkat Suku Bunga Acuan oleh The Fed (Fed Fund Rate) dapat memengaruhi keputusan pelaku pasar dalam bertransaksi di pasar modal, sehingga menimbulkan perbedaan rata-rata trading volume activity (TVA).

Ke depannya, terhadap pelaku pasar diharapkan dapat mempertimbangkan faktor-faktor yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan dalam berinvestasi, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Salah satu faktor makro ekonomi (eksternal) yaitu tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga harus dapat dijadikan pertimbangan para inevestor dalam melakukan investasi ditengah kondisi yang masih belum menentu terlepas juga terdapat instabilitas pada sektor perekonomian global baik secara mikro ataupun makro.

Jurus Jitu Meredam, Memperkuat Rupiah

Sejarah emas negara Indonesia dimulai ketika pada masa presiden B.J Habibie yang memisahkan BI dari pemerintah lewat Undang-Undang nomor 23 tahun 1999. Hal itu tentu bertujuan agar menghasilkan mata uang rupiah yang berkualitas tinggi, menurut Habibie pada masa itu Bank Sentral harus dapat bekerja lebih objektif, profesional dan lepas dari kepentingan politik. Berkat keputusannya itu pula, BI punya wewenang untuk mengintervensi rupiah hingga saat ini. Selanjutnya diarahkan pada pengembalian kepercayaan pelaku ekonomi dalam negeri. Untuk itu, kekhawatiran terhadap hiperinflasi harus diredam.

Pada saat itu kebijakan moneter ketat ditempuh, salah satunya dengan menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tingkat bunga tinggi. Tujuannya, agar masyarakat menyimpan kembali uangnya di bank. Sebab banyaknya jumlah uang beredar di masyarakat waktu itu juga turut mendorong inflasi. Di saat yang bersamaan, Presiden B.J. Habibie juga mempertahankan kebijakan tarif dasar listrik dan BBM bersubsidi agar administered price dapat diturunkan nantinya berdampak pada Harga-harga bahan pokok pun terjangkau oleh masyarakat di tengah keterpurukan akibat krisis.

Jurus ini sangat efektif pada masa itu menahan laju inflasi, yang diikuti dengan menurunnya suku bunga SBI dari 70 persen menjadi hanya belasan persen. Bersamaan dengan penurunan suku bunga maka negatif spread yang dialami bank-bank juga dapat diatasi. Di sisi lain, kebijakan yang diarahkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi Indonesia pada tahun ini harus segera dikebut, berbarengan dengan persiapan menuju Pemilu bersama tahun 2024.

Lantas, dalam situasi pelik seperti pada tahun 2022 ini, apa yang mesti dikerjakan? Pertama, problem inflasi mesti dikelola kali pertama karena ini merupakan sumbu masalah serta menjaga stabilitas daya beli. Kedua Kebijakan moneter ketat pemerintah harus ditempuh, salah satunya adalah menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tingkat bunga tinggi. Tujuannya, agar masyarakat menyimpan kembali uangnya di bank. Terakhir, jika harga melonjak, pemerintah perlu menyiapkan stabilitas daya beli masyarakat sehingga mempertahankan kebijakan tarif dasar listrik dan BBM bersubsidi agar administered price. Semoga pemerintah siap menjadi pilot yang lihai melewati badai dan cuaca yang tak menentu.

*Penulis adalah Wabendum PB HMI, Awardee LPDP RI, dan Mahasiswa S2 – Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia (UI).

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *