JAKARTA, RadarBangsa.co.id – Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta mengadakan kegiatan Pengabdian Kepada Masyarakat (PKM) mengenai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN-RI) di aula gedung pertemuan Fakultas Hukum UBK, Rabu (29/3/2023), dimulai pukul 09.30-12.30 WIB.
Kegiatan PKM ini mengusung tema “Peranan Kelembagaan Perlindungan Konsumen dalam Pengembangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di Era Konvensional dan di Era Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE)” yang mendapat dukungan dan apresiasi positif dari segenap Civitas UBK Jakarta.
Sebagai narasumber dari Komisi IV BPKN yang membidangi kelembagaan dan kerjasama yakni, Drs. Muhammad Said Sutomo dan Drs. Radix Siwo Puwono, M.S. Selain itu narasumber kegiatan ini adalah Dosen FH Dr. Russel Butarbutar, S.H., M.H., dan Dekan UBK Jakarta, Dr. Puguh Aji Hari Setiawan, S.H., M.H.
Muhammad Said Sutomo dalam pemaparannya menjelaskan bahwa subjek hukum UUPK itu ada tiga, yaitu pelaku usaha, konsumen dan Pemerintah sebagai regulator.
Said, panggilan karibnya, lantas menjelaskan siapa yang dimaksud pelaku usaha, konsumen dan Pemerintah sesuai yang diterangkan di dalam UUPK Pasal 1.
“Yang paling penting adalah memahami batasan konsumen. Karena yang dimaksudkan konsumen dalam UUPK adalah konsumen akhir, bukan konsumen antara,” paparnya.
Pria yang juga menjabat Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Jatim menguraikan karena batasan konsumen yang dapat perlindungan hukum nomatif di dalam UUPK adalah masyarakat konsumen sebagai konsumen akhir, yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
“Kata-kata tidak untuk diperdagangkan ini, menurut saya perlu digarisbawahi dengan garis tebal,” ujarnya mengingatkan.
Pasalnya sambung Said, karena kalau ada orang membeli barang apapun tapi untuk tujuan diperdagangkan lagi, maka dia bukan konsumen akhir, tetapi dia adalah pedagang atau pelaku usaha.
Ia kemudian memberikan contoh kalau ada orang membeli tiket jasa pertunjukan atau jasa transportasi, tetapi dijual lagi untuk mendapatkan keuntungan, maka dia bukan konsumen akhir, namun disebut calo tiket dan termasuk pelaku usaha.
“Kalau ada orang transaksi pinjam uang ke jasa keuangan perbankan, kemudian uangnya diputar lagi untuk dipinjamkan orang lain dengan bunga lebih tinggi, maka dia bukan konsumen akhir, tetapi disebut rentenir dan termasuk pelaku usaha,” jelas Said memberikan ilustrasi yang termasuk pelaku usaha.
Selanjutnya ia juga mencontohkan yang termasuk konsumen antara, seperti seseorang memberi kendaraan bermotor dengan kredit, tetapi untuk tujuan driver online atau disewakan, maka menurut Said, dia bukan konsumen akhir, tetapi digolongkan konsumen antara.
“Perlindungannya bukan dengan UUPK, tapi dengan peraturan Perundang-undangan lainnya yang mengatur hubungan business to business (B2B),” tandasnya.
Jadi UUPK jelas Said dibuat untuk melindungi konsumen akhir, bukan konsumen antara. Oleh karena itu, Said mengutarakan kewajiban konsumen akhir dengan kewajiban pelaku usaha pada pra transaksi atau pemasaran mempunyai kewajiban normatif yang simetris.
Ia mengingatkan konsumen berkewajiban beritikad baik dalam melakukan transaksi barang dan/atau jasa sesuai UUPK Pasal 5b.
“Sebaliknya, pelaku usaha juga berkewajiban beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan UUPK Pasal 7a,” tuturnya.
Said menjabarkan itikad baik dalam hukum ada dua asas, yaitu pertama itikad baik subyektif dan itikad baik obyektif.
Itikad baik subyektif menurutnya adalah sesorang yang menjadi subyek, haruslah jujur dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Artinya kata Said, sikap batin seseorang haruslah menunjukkan niat baik berupa kejujuran.
“Itikad baik ini adalah market conduct pra-transaksi yang wajib dimiliki konsumen maupun pelaku usaha secara semetris,” rincinya.
Sedangkan itikad baik obyektif papar Said adalah pelaksanaan suatu perjanjian sebagai obyek harus didasarkan pada norma-norma kepatutan dan norma-norma yang berlaku di masyarakat yang artinya perjanjian oleh kedua belah pihak wajib sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Di dalam UUPK lanjut Said, lembaga yang mempunyai wewenang pengawasan atau penilaian terhadap isi suatu perjanjian itu sesuai atau tidak dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat maupun UUPK adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat BPSK yang berkedudukan pada Kabupaten dan Kota setiap wilayah Pemerintahan Provinsi di seluruh Indonesia.
“Tugas, pokok dan fungsi BPSK diatur di dalam UUPK Pasal 49 sampai dengan Pasal 58,” imbuhnya.
Said menyatakan jika ada pelaku usaha tidak mempunyai itikad dalam standar itikad baik subyektif maupun itikad baik obyektif, maka pelaku usaha dapat dikualifikasikan melanggar UUPK.
“Jika pelanggaran UUPK itu dapat dibuktikan, maka pelaku usaha yang melanggar UUPK dapat dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam UUPK Pasal 60 dan dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UUPK Pasal 61-64,” serunya.
Ia berkeyakinan secara filosofis UUPK sesungguhnya lahir bersamaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di alenia empat yang berbunyi “Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan melindungi seluruh tumpah darah Indonesia”.
Jadi ia memastikan lahirnya UUPK bukan karena desakan IMF (Internasional Monetary Fund) yang hadir ke Indonesia pada zaman di Pemerintahan Suharto.
“Tapi kalau IMF mempercepat kelahiran UUPK mungkin iya,” pungkasnya.