Mahasiswa dan Gerakan Petani : Sebuah Propaganda Revolusioner

M. Rizqi Senja Virawan

Dalam arti sempit, mahasiswa seringkali mengadvokasikan permasalahan-permasalahan sosial, ekonomi, dan hukum masyarakat kecil dengan melakukan aksi-aksi sosial dengan turun ke jalan secara langsung ataupun melalui propaganda-propaganda media. Dalam arti yang lebih luas, gerakan mahasiswa ini merupakan salah satu bentuk ultimatum terhadap kebobrokan sistem kapitalisme yang telah mengakar di Indonesia serta yang mengakibatkan masih banyaknya ketimpangan sosial dan ekonomi masyarakat. Bagi mahasiswa yang sadar dan peka, tentu permasalahan-permasalahan ini merupakan permasalahan struktural, kultural, dan ideologis. Pembenahan atas ketimpangan akibat sistem kapitalisme tersebut pun perlu ditinjau dari aspek terkait. Mahasiswa sebagai tonggak yang akan mengisi ruang-ruang pembangun negeri ini, perlu kiranya membawa negeri ini kepada sistem yang lebih adil bagi kaum-kaum miskin dan tertindas. Gerakan mahasiswa yang dibangun demi merealisasikan maksud tersebut memerlukan perspektif dan pola gerakan tertentu yang dapat mengorganisir segala kaum dan kepentingan masyarakat banyak.

Bacaan Lainnya

Gerakan mahasiswa perlu dibangun secara radikal dan revolusioner. Mengutip Bung Karno di dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, bahwa gerakan-gerakan nonkooperatif yang dibarengi dengan sikap radikal—radikal dalam semangat, pikiran, dan sepak terjang dalam segala sikap lahir dan batin—dapat menyalakan massa aksi dan membentuk kekuatan massa, atau yang biasa Bung Karno sebut sebagai machtvorming. Maka dalam hal ini, perubahan secara revolusioner dapat terwujud dengan menyeluruh.

Kebimbangan gerakan mahasiswa berangkat dari massa aksi yang terkesan formalitas dan tidak terorganisir secara radikal dan revolusioner. Gerakan-gerakan massa aksi terkotak-kotak dan dan terpecah-belah dalam implementasinya. Sehingga, seringkali gerakan-gerakan tersebut menjadi lemah dan terkesan formalitas saja sebagai reaksi atas ketimpangan sosial dan ekonomi yang secara insidental terjadi. Selain itu, propaganda-propaganda yang dilakukan di dalam gerakan massa aksi seringkali disepelekan akibat kurangnya keseriusan massa aksi dalam mengultimatum pemegang kekuasaan. Aksi massa yang terjadi seringkali hanya digunakan sebagai media hiburan di dunia maya dengan membuat propaganda tulisan yang “menggelitik perut” sehingga tidak menimbulkan ketakutan bagi pemegang kekuasaan ketika melihatnya. Selain itu, apalagi ketika aksi massa hanya digunakan untuk kepentingan eksistensi dan validasi kritisisme saja oleh beberapa massa aksi. Hal ini dipengaruhi oleh orientasi aksi massa yang bukan dilandasi oleh kesadaran ketimpangan sosial-ekonomi, melainkan karena kebutuhan validasi atas eksistensi dan kritisisme tersebut.

Massa aksi memerlukan kesadaran kolektif atas nasib dan perjuangan yang sama dalam melawan sistem kapitalisme. Melihat situasi per hari ini, seringkali mahasiswa dan kaum buruh menjadi garda terdepan untuk mengadvokasi kebijakan melalui aksi sosial seperti demonstrasi di jalan. Apabila ditilik lebih dalam, subjek revolusi tidak hanya berputar di mahasiswa dan kaum buruh saja, tetapi masih terdapat subjek lain yang lebih memiliki kuantitas mayoritas masyarakat, yakni kaum petani. Kaum petani seringkali dianggap sebagai kaum yang apatis dan cenderung menerima nasib yang ada. Pandangan ini berangkat dari logika mistik yang seringkali masih melekat di dalam pikiran kaum petani, karena biasanya kaum petani merupakan masyarakat yang hidup di desa dan sangat religius. Sehingga segala nasib yang menimpanya dianggap sebagai keniscayaan tanpa dianalisis hulu dan hilir permasalahannya. Dalam perspektif marxis ortodoks, kelas revolusioner sebagai subjek utama revolusi adalah kaum proletar atau buruh. Sementara itu, kaum petani dianggap masih segaris dengan kaum borjuis—walaupun tertindas—karena memiliki alat produksi sebagaimana borjuis diklasifikasikan.

Meminjam pandangan Lenin—tokoh revolusioner Rusia dan pencetus Marxisme-Leninisme—dalam bukunya Sosialisme, Petani, dan Kaum Miskin Desa, kaum petani tak serta-merta dianggap borjuis, karena banyak pula petani yang dipekerjakan atau tergolong proletariat. Sehingga Lenin berpandangan bahwa kaum petani bersifat tidak homogen dan tidak dapat digeneralisasi hanya satu kelas saja. Lenin membagi kaum petani menjadi empat kelas, yakni petani kaya, petani menengah, petani semi proletar, dan petani proletar. Petani kaya memiliki ciri utama mempekerjakan petani lain untuk menggarap sawahnya dan memiliki lahan yang besar. Petani menengah berada dalam taraf hidup menengah, kadangkala menyewa buruh, pun kadangkala digarap sendiri. Ketika panen, hasilnya pun tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Petani semi proletar memiliki lahan yang kecil, sehingga mereka tidak dapat bergantung pada hasil mereka sendiri, jadi petani semi proletar lebih banyak menjadi buruh harian di bawah petani kaya dan petani menengah. Terakhir, petani proletar adalah mereka yang tidak memiliki lahan, penghasilan mereka berasal dari pekerjaan buruh harian.

Dalam hal ini, kaum petani merupakan kaum yang memiliki kuantitas besar sebagai subjek revolusi. Selain itu, kaum petani yang menjadi mayoritas di negeri ini merupakan kaum yang paling terdampak dan tertindas. Bagaimana cara mengorganisir mereka menjadi kekuatan yang besar dan revolusioner? Mengutip Lenin dalam buku yang sama, Lenin membagi revolusi dari gerakan petani menjadi dua tahap, tahap pertama yakni proses mengajak petani menengah dan petani kaya untuk bergabung ke dalam barisan revolusioner dalam melawan kaum borjuis dan tuan tanah untuk melepaskan diri dari ikatan feodalisme. Tahap kedua, kaum tertindas melakukan revolusi terhadap ketertindasan mereka dengan dasar perjuangan kelas. Perjuangan kelas ini diwujudkan dengan pertarungan kaum tertindas melawan semua kalangan borjuasi.

Dalam mewujudkan revolusi tersebut, tentu tak serta-merta mudah dilakukan, Lenin menyadari bahwa perlu ada sosok intelektualis dalam membangun gerakan massa di tiap daerah. Dalam hal ini, gerakan mahasiswa sebagai patron dan pelopor intelektualis dapat terjun ke masyarakat dan memberikan edukasi secara progresif dengan menyadarkan kaum miskin desa bahwa penyebab utama ketertindasan mereka adalah ketimpangan kelas. Analisis-analisis perjuangan kelas dapat menjadi pisau utama dalam meruntuhkan borjuasi dan sistem kapitalisme yang menindas mereka.

Dengan perjuangan kelas tersebut, cita-cita menumbangkan borjuasi akan lebih dekat. Karena peran mahasiswa dan petani yang begitu sentral. Mahasiswa sebagai roda yang mengembangkan zaman dan petani sebagai penyedia kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder menjadi titik utama. Dunia akan “berhenti” apabila mereka mogok bekerja.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *