JAKARTA, RadarBangsa.co.id – Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) Badan Kebijakan Fiskal Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Selasa (18/10/2022), mengundang lintas Kementerian dan Lembaga Negara, termasuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI) dalam rangka Konsultasi Publik Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK), terkait topik Edukasi dan Perlindungan Konsumen (EPK).
Konsultasi Publik ini dipimpin oleh Kepala Departemen Sekretariat Dewan Komisioner dan Hubungan Kelembagaan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) dilaksanakan secara hybrid, yaitu online dan offline dimulai sejak pukul 13.00-15.30 WIB. Undangan yang hadir secara offline bertempat di Ballroom Hotel The Rits-Carlton Jakarta, Mega Kuningan. Sedangkan undangan yang hadir secara online antara lain, BPKN RI diwakili oleh Drs. Muhammad Said Sutomo, Anggota Komisioner BPKN RI Komisi IV yang membidangi Kelembagaan dan Kerjasama, Ketua Harian YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi dan Guru Besar Hukum Universitas Katolik Parahyangan (FH Unpar), Prof. Dr. Johanes Gunawan.
Undangan itu dilaksanakan sehubungan dengan telah disampaikannya draf RUU P2SK dari Ketua DPR RI kepada Presiden Republik Indonesia melalui surat nomor B/16687/LG.01.01/9/2022 tanggal 20 September 2022. Sesuai dengan ketentuan dalam UU mengenai pembentukan peraturan Perundang-Undangan, maka perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh Pemerintah.
Selanjutnya dalam rangka penyusunan DIM tersebut, Pemerintah perlu melaksanakan konsultasi publik untuk mendapatkan pandangan dan masukan dari masyarakat sebagai bagian dari meaningful participation (partisipasi yang lebih bermakna).
DIM RUU P2SK : Market Conduct (tata cara dan perilaku pelaku jasa keuangan dalam mendesain produk/layanan keuangan dan melakukan penawaran kepada masyarakat)
Pada kesempatan pertama, Ketua Harian YLKI, Tulis Abadi menyampaikan masukannya bahwa akhir-akhir ini selama dalam tahun 2020-2022 terutama selama masa pandemi COVID-19 keluhan masyarakat konsumen fintech (teknologi financial) semakin tahun semakin meningkat terhadap pinjaman online (pinjol) yang dalam RUU P2SK disebut sebagai Pelaku Usaha Sektor Keuangan (PUSK) atau disebut Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (PLPMUBTI).
Umumnya papar Tulus, tingkat profesionalitas cara usaha atau kerja penagihan PUSK maupun PLPMUBTI kepada konsumennya sangat rendah, baik yang ilegal maupun yang legal. Artinya lanjut Tulus, yang illegal dan yang legal sama-sama tidak profesional, sejak pada saat pra-transaksi, proses-transaksi sampai pada pasca-transaksi.
Oleh karena itu, Prof. Dr. Johannes Gunawan menegaskan bahwa DIM RUU P2SK yang menjadi bahasan masukan ini harus ditekankan pada penguatan pada pelaksanaan Pengawasan Perilaku atau Market Conduct para PUSK maupun PLPMUBTI.
Dalam hal ini Muhammad Said Sutomo sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Tulus Abadi dan Prof. Dr. Johanes Gunawan. Said, panggilan karibnya, secara gamblang menyebut dalam praktiknya para PUSK maupun operator PLPMUBTI tidak mematuhi Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) Nomor 50 Tahun 2017 Tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (STRANAS PK) yang terdiri atas penguatan tiga pilar yaitu pertama, peningkatan peran Pemerintah, kedua, peningkatan keberdayaan konsumen dan Ketiga, peningkatan kepatuhan pelaku usaha yang sekarang dalam proses penyempurnaan di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YYLPK Surabaya Jawa Timur ini menilai kepatuhan pelaku usaha terhadap norma-norma perlindungan konsumen, baik pada saat pra transaksi, proses transaksi sampai pada saat pasca transaksi, terutama di kalangan PUSK maupun di PLPMUBTI masih sangat rendah.
Terbukti kata Said, masih terus mengalir dan terus meningkat volume pengaduan kerugian konsumen PUSK maupun PLPMUBTI yang oleh para konsumen baru disadari pada pasca transaksi.
“Baik pengaduan yang disampaikan ke BPKN RI, maupun melalui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di daerah-daerah, seperti YLKI di Jakarta Pusat, YLP2K Semarang dan YLPK Surabaya,” bebernya.
Hal ini menurut Said terjadi dikarenakan masih belum terpenuhinya hak-hak konsumen PUSK maupun konsumen PLPMUBTI dalam pra-traksaksi yang salah satunya ditegaskan di Pasal 4 huruf c, UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yaitu hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa.
Ia menguraikan secara simetris, hak informasi bagi konsuman pra transaksi itu menjadi kewajiban pelaku usaha atau PUSK maupun PLPMUBTI seperti ditegaskan di Pasal 7 huruf b UUPK yakni Kewajiban pelaku usaha adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
Atas nama BPKN RI, Said mengingatkan kepada semua PUSK, KUPMUBTI, maupun para Profesi Sektor Jasa Keuangan dalam menawarkan jasa keuangannya secara elektronik wajib patuh memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur sebagimana yang diatur dalam Pasal 65 Juncto Pasal 115 UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Republik Indonesia.
“Karena jika PUSK maupun PLPMUBTI terbukti melanggar, ancaman sanksinya sangat berat, yaitu diancam pidana penjara paling lama 12 (Dua belas tahun) dan atau pidana denda paling banyak Rp. 12.000.000.000,00 (Dua belas milyar rupiah),” tegasnya.
Said juga sependapat dengan pendapat Prof. Dr. Johannes Gunawan yang menekankan bahwa masukan DIM RUU P2SK ini diutamakan dalam rangka untuk penguatan Market Conduct bagi PUSK maupun PLPMUBTI dan lainnya. BPKN RI kata Said berharap pengawasan perilaku PUSK atau PLPMUBTI dengan Market Conduct tentu tidak hanya pada pra transaksi saja, tapi juga pada saat proses transaksi berjalan dengan konsumen yang telah disiapkan perjanjian baku secara sepihak oleh PUSK, PLPMUBTI atau semacamnya, baik secara online maupun offline.
Pasalnya menurut Said saat proses transaksi berlangsung ada hak-hak konsumen yang wajib diakomodasi. Salah satunya yaitu Pasal 4 huruf d, f dan g, UUPK yaitu hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau jasa yang digunakan, dan hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen, serta hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur tidak diskriminatif.
“Secara simetris hak-hak konsumen itu menjadi kewajiban pelaku usaha pada umumnya atau PUSK maupun PLPMUBTI pada khususnya sebagaimana ditegaskan di Pasal 7 huruf a, c, d dan e, yaitu kewajiban pelaku usaha beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku, serta memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan,” tandasnya.
Dalam hal ini Prof. Dr. Johannes Gunawan dan Muhammad Said Sutomo sependapat bahwa konsumen sebelum menandatangani dokumen pejanjian baku yang umumnya sudah disiapkan oleh PUSK maupun PLPMUBTI, konsumen wajib diberi kesempatan untuk mempelajari klausula-klausula baku yang tertera di dalam dokumen perjanjian baku dalam waktu tertentu, tiga hari atau tujuh hari. Dengan demikian sambung Said bahwa perjanjian baku yang umumnya berisi klausula-klausula eksonerasi (Jebakan Batman) dapat dihindari oleh konsumen, sehingga kesempatan yang diberikan kepada setiap konsumen ini akan dapat menghindari terjadi sengketa konsumen di pasca transaksi antara kedua belah pihak.
Pilih BPSK atau LAPSPI-OJK
Ketika konsumen PUSK maupun konsumen PLPMUBTI mengalami masalah pada waktu pasca transaksi, maka Said menerangkan konsumen tetap mempunyai hak untuk memilih lembaga dalam upaya menyelesaikan masalahnya sebagaimana diatur di dalam UUPK Pasal 4 huruf e, yaitu hak konsumen adalah hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak memilih ini kata Said juga diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UUPK yang menegaskan bahwa setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang berfungsi penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang ada di lingkungan peradilan umum. Dan penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu, Said memastikan konsumen jasa keuangan yang bersengketa dengan PUSK maupun PLPMUBTI dapat memilih bebas lembaga penyelesaian sengketanya tidak hanya dibatasi oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Perbankan Indonesia (LAPSI) di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang berdirinya hanya berdasarkan Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan, bukan berdasarkan UU sebagaimana keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di bawah Pemerintahan Provinsi yang keberadaannya atas amanah UU berdasarkan UUPK dan UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Said mengingatkan, LAPSPI tidak bisa mengklaim berdasarkan Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali (asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum), sehingga mengesampingkan keberadaan BPSK dalam memfasilitasi sengketa “konsumen akhir.”
Legal standing BPSK menurut Said adalah memfasilitasi penyelesaian sengketa “konsumen akhir” yang dirugikan oleh pelaku usaha, bukan “konsumen antara” atau konsumen umum seperti pengertian konsumen yang tertera di dalam RUU P2SK dan Peraturan OJK. Said berpendapat “konsumen akhir” yang dimaksud dalam UUPK Pasal 1 angka 2 adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, sehingga batas titik tolaknya pengertian “konsumen akhir” adalah pada poin “tidak untuk diperdagangkan”.
Ia lantas memberikan contoh dan ilustrasi. Manakala ada orang membeli tiket, tapi untuk diperdagangkan lagi, maka orang itu bukan “konsumen akhir” tapi calo. Jika ada orang membeli minuman dan atau makanan tapi untuk diperdagangkan lagi, maka orang itu bukan “konsumen akhir” tapi pedagang. Kemudian manakala ada orang meminjam uang ke PUSK maupun via PLPMUBTI baik melalui online maupun offline kemudian uangnya diperdagangkan lagi dengan bunga-berbunga, maka orang itu bukan “konsumen akhir”, tapi usaha pelaku rentenir.
Oleh sebab itu, Said menegaskan sepanjang “konsumen akhir” dirugikan oleh pelaku usaha dan ada kerugian materiil, ada pelanggaran atau ketidakpatuhan pelaku usaha terhadap UUPK, maka BPSK berhak menjadi pilihan konsumen akhir tersebut dalam menyelesaikan sengketanya, bukan pada pilihan LAPSPI di OJK.
Dia meminta RUU P2SK perlu disinkronkan dengan UUPK yang mana setidak-tidaknya UUPK dijadikan konsiderans (pertimbangan yang menjadi dasar penetapan keputusan, peraturan, dan sebagainya). Said mewanti-wanti jangan sampai isinya RUU P2SK nantinya bertentangan dengan UUPK, sehingga membingungkan masyarakat konsumen.
Said mengingatkan wacana penyelesaian sengketa konsumen melalui Online Disputer Resolution (ODR) perlu dipikirkan landasan hukumnya, terutama dalam penanganan dan penyelesaiannya harus terukur waktunya, tidak bertele-tele dan terlalu lama. Ia juga menghimbau kepada para pelaku usaha yang melakukan penawaran dan atau perdagangan melalui sistem elektronik wajib mematuhi lebih dulu terhadap aturan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PSME), seperti memberikan kejelasan informasi tentang identitas pelaku usaha yang bertanggungjawab maupun legalitas perusahaanya secara benar, jelas dan jujur.
UU Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan Pasal 65 menurut Said telah mengatur sanksinya manakala tidak memberikan informasi data identitas dan legalitas pelaku usaha secara benar, jelas dan jujur. Said menguraikan jika para pelaku usaha platform online dan mitra kerjanya tidak memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur maka ketika terjadi dispute (perselisihan/sengketa), sistem aplikasi ODR akan kesulitan memprosesnya.
“Sangat perlu realisasi Perpres RI Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen menjadi aksi nasional: peningkatan peran efektif Pemerintah, peningkatan keberdayaan dan kesejahteraan konsumen, dan peningkatan kepatuhan pelaku usaha,” pungkasnya.