JAKARTA, RadarBangsa.co.id – Pengamat politik sekaligus eksponen gerakan reformasi, Ray Rangkuti menilai peran TNI sebelum tahun 1998 di masa Orde Baru terlihat sangat dominan dan hadir di hampir semua sektor.
Ia melihat TNI tidak hanya berfungsi sebagai alat negara untuk aspek pertahanan dan keamanan, tetapi menurutnya TNI turut menjalankan berbagai fungsi politik dan masuk ke ranah sipil.
“Bahkan mengambil alih berbagai fungsi yang menjadi tanggung jawab kepolisian,” kritik Ray Rangkuti melalui siaran pers tertulis, Kamis (30/3/2023).
Hal ini disampaikan Ray Rangkuti pada Diskusi Publik Imparsial dengan tema “Pembentukan Kodam untuk 38 Provinsi Tidak Urgen, Bertentangan dengan Amanat Reformasi TNI dan Memperkuat Politik Militer”.
Diskusi ini menyikapi kebijakan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang telah menyetujui rencana pembentukan markas Kodam untuk 38 Provinsi di Indonesia, termasuk di antaranya di Daerah Otonomi Baru (DOM) Papua.
Kebijakan penguatan postur militer matra darat tersebut bermula dari usulan yang disampaikan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung Abdurrachman dan berdasarkan pemberitaan di media yang juga telah disetujui oleh Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.
Ray Rangkuti berpendapat dominasi TNI dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu pertama, aspek historis, dimana popularitas TNI kian meningkat sejalan dengan peran besar TNI dalam berbagai urusan keamanan dalam negeri.
Kedua menurutnya adalah aspek politis, dimana adanya goals timbal balik antara kekuasaan Soeharto dan kekuatan postur TNI. Ia menganalisa TNI dijadikan alat untuk menopang kekuasaan Soeharto, sementara di sisi lain TNI diberikan porsi yang cukup dominan dalam bidang politik.
“Ketiga, adanya cara pandang yang terbentuk di kalangan masyarakat, dimana masyarakat menginginkan ketiadaan konflik dan TNI memainkan peran untuk meredam konflik tersebut,” bebernya.
Sedangkan peneliti dan pengamat pertahanan BRIN, Diandra Megaputri Mengko mengatakan restrukturisasi militer memang dibutuhkan. Ia berharap beberapa komponen militer seharusnya dikurangi dan hanya diperkuat di wilayah tertentu saja yang sarat akan ancaman eksternal.
“Sehingga wacana Kementerian Pertahanan untuk melakukan pembentukan Kodam baru untuk 38 provinsi perlu untuk dipertanyakan,” kata Diandra, panggilan karibnya.
Ia mengingatkan jika Kementerian Pertahanan menilai bahwa TNI membutuhkan kolaborasi dengan Pemerintah Daerah, hal ini bertentangan dengan apa yang tertuang dalam Undang-Undang TNI.
Pasalnya menurutnya, dalam UU itu disebutkan bahwa komponen militer merupakan alat pertahanan negara, bukan alat pertahanan daerah.
“TNI merupakan suatu institusi berskala nasional, sehingga apabila TNI terpencar dan tidak terpusat akan melahirkan berbagai persoalan baru,” serunya.
Diandra menambahkan untuk melakukan restrukturisasi TNI, dibutuhkan kajian mengenai pandangan dinamika ancaman, agar TNI dapat berfokus pada tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan keahliannya.
Perempuan yang tengah menyelesaikan studi Doktoralnya tentang pertahanan tersebut juga menambahkan, tidak ada postur ideal dari suatu komponen militer. Namun, ia memastikan terdapat dua hal yang dapat dijadikan indikator dalam agenda perluasan komando teritorial.
“Pertama, menilai aspek ancaman militer. Kedua, mempertimbangkan wacana penataan komponen militer dengan memperhatikan aspek hubungan antara sipil dan militer,” pungkasnya.