SIDOARJO, RadarBangsa.co.id – Pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di wilayah Surabaya Raya, Jawa Timur, yang meliputi Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik dihentikan per Senin (08/6).
Selanjutnya, ketiga daerah tersebut akan memasuki masa transisi selama 14 hari menuju tatanan kehidupan baru atau new normal mulai Selasa (09/6) hari ini.
Sebelumnya, tiga kepala daerah di wilayah Surabaya Raya mengusulkan untuk tidak memperpanjang PSBB atas alasan ekonomi. Namun, usulan tersebut berbanding terbalik dengan pesatnya peningkatan kasus virus corona di wilayah tersebut.
Dalam dua hari terakhir, ada 39 orang meninggal, dan 478 kasus baru sehingga total kasus kumulatif 6.313 orang terpapar virus corona, peningkatan terbesar di Indonesia, yang sampai Senin (08/6) mencatat total kasus positif 32.033.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Gerindra, Rahmat Muhajirin mengatakan, keputusan yang diambil dalam mengakhiri PSBB Surabaya raya merupakan bentuk dari keputusasaan Pemerintah Daerah dalam menangani penyebaran Covid-19 yang semakin masif khususnya di Surabaya dan Sidoarjo.
“Penghentian PSBB di tengah peningkatan kasus tajam dan beban berat fasilitas kesehatan dalam menangani virus corona merupakan bentuk keputusasaan pemerintah daerah (Pemda), sementara masyarakat Surabaya Raya terpecah dalam menyikapi pemberhentian masa PSBB.
Ada yang ingin PSBB dihentikan karena berdampak bagi pekerjaan, namun ada yang ingin PSBB diperpanjang melihat kasus yang terus meningkat,” terang Rahmat. Seperti yang dilansir rri.co.id. Selasa, (09/6/2020)
Pemerintah pusat maupun daerah dalam menangani virus corona belum menggunakan pendekatan realisasi progresif dalam melindungi hak-hak asasi warga. Akibatnya, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap PSBB menjadi rendah dan tingkat kasus corona tidak kunjung menurun.
Rahmat Muhajirin menambahkan, dalam penerapan New normal pada daerah yang masih tinggi tingkat penyebaran Covid-19, secara tidak langsung Pemerintah Daerah melakukan pembiaran agar masyarakat terpapar virus corona.
“Walau dengan protokol kesehatan yang ketat, namun pemerintah tidak memenuhi hak-hak dasar warga seperti kebutuhan pokok, jaminan kesehatan dan pekerjaan termasuk penyaluran beberapa program bantuan Covid-19 yang hingga saat ini masih menjadi polemik,” tutup Rahmat.
(Jan/Ari)