RadarBangsa.co.id – Saya menggunakan pilihan rezim untuk kembali mempertegas garis kewenangan penyelenggara pilkada. Ketika kita bicara pilkada, maka posisi KPU dan Bawaslu sangat jelas. Mereka adalah leading sector. Tentunya dengan dukungan pemerintah.
Ditengah seruan bny org yang menginginkan pilkada ditunda (dan pasca ketua KPU RI positif – ya saya sangat mengapresiasi keterbukaan beliau sebagai tokoh publik, yang langsung umumkan kondisi positif OTG nya saat itu juga, tidak perlu menunggu sembuh baru woro2. Karena itu adalah bagian dari kewaspadaan dan tracing mandiri bagi yang merasa dekat dengan beliau sebelumnya), saya mungkin termasuk bagian yang ingin mengatakan, kalau ditunda, trus kapan kita beradaptasi dengan kebiasaan baru???
Ah yang berteriak pilkada ditunda, toh dulunya juga ikut berteriak supaya sekolah dibuka seperti mall, yg berteriak pilkada ditunda, juga tidak benar2 berdiam diri dirumah. Beraktifitas seperti biasanya.
Mereka ada dikubu adaptasi atau kubu “dirumah saja” sesungguhnya??
Apakah kemudian kalau saya sepakat pilkada dilaksanakan di tengah pandemi, maka saya tidak peduli dengan kesehatan??
Poinnya adalah pada slogan adaptasi dan rezim pilkada. Sampai dengan proses pendaftaran kemarin, yang dikatakan adaptasi pun tidak dilakukan oleh penguasa rezim pilkada.
Bawaslu bahkan (sepertinya) tidak punya aturan yang tegas sebagai pengawas pelaksanaan pilkada.
Memang bawaslu baru efektif setelah penetapan, tapi setdknya sdh bisa memetakan dan mengantisipasi, menyampaikan bahwa jangan ada relawan yang datang.
KPU sebagai pelaksana juga bisa membuat komitmen bersama peserta dan pengawas bagaimana proses pendaftaran seharusnya berlangsung di masa pandemi. Toh akhirnya semua berjalan dengan kebiasaan lama seperti pandemi tak ada
KPU dan Bawaslu adalah penguasa rezim pilkada. Mereka harus jadi garda depan, bukan hanya dalam pelaksanaan, tapi diawali dengan aturan yang jelas. Dan tentunya sebagai pelaksana, berhak memberikan sanksi.
Bukan justru mengakomodir dengan santainya berkata konser boleh, tapi bagaimana “boleh” itu diatur dengan aturan yang sesuai dengan slogan adaptasi di masa pandemi.
Tantangan yang harus dijawab adalah adaptasi bukan hanya sekedar tagar kosong pencitraan belaka. Rezim pilkada harus mampu membuat aturan, mengimplementasikan, dan membuat komitmen bersama peserta untuk ditaati, kalau tidak ya harus siap dengan sanksi tanpa ada negosiasi, karena ini mengatasnamakan kepentingan rakyat di tengah pandemi.
Note :
Jika KPU sudah menyiapkan piranti regulasi untuk menjamin penyelenggaraan setiap tahapan pilkada dilangsungkan dengan protokol kesehatan yang ketat (termasuk dengan merancang TPS sehat), Bawaslu juga mestinya memiliki aturan bagaimana pengawasan “pilkada sehat” dilaksanakan.
Pilkada kali ini sepertinya tak butuh panggung deklarasi pilkada damai. Yang dibutuhkan adalah panggung deklarasi pilkada sehat.
Dan pilkada yang sehat, dimulai dari penyelenggara dan peserta yang sehat nalar, hati dan mulutnya.
(*)