SGIE : Sorotan Debat Cawapres dan Penjelasan Pakar Ekonomi Unair

SGIE
1. Gibran Menanyakan Soal SGIE Kepada Cak Imin dalam Debat Perdana Cawapres 2024 (Foto: viva.co.id).

SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Istilah SGIE sedang marak diperbincangkan oleh sejumlah warga Indonesia pasca debat Cawapres Jumat (22/12/2023) kemarin. Cawapres Gibran Rakabuming Raka melontarkan pertanyaan kepada Cawapres Muhaimin Iskandar mengenai bagaimana meningkatkan peringkat Indonesia dalam SGIE.

Rupanya pembahasan Gibran mengenai SGIE di forum debat Cawapres itu sukses mengundang atensi seluruh kalangan masyarakat, termasuk Dr Imron Mawardi SP MSi, pakar Ekonomi Syariah dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Airlangga (FEB UNAIR).

Bacaan Lainnya

SGIE atau yang dikenal sebagai SGIER merupakan kepanjangan dari State Global Islamic Economy Report. Pakar Ekonomi UNAIR itu mengungkapkan bahwa SGIER merupakan report resmi yang dirilis oleh Dinar Standard, suatu lembaga riset asal Dubai. Menurut Imron, Dinar Standard kerap melakukan penilain terhadap perkembangan ekonomi syariah di dunia. Tercatat sekitar 80 negara yang masuk dalam penilaian SGIE Report.

Lebih lanjut, Imron menyebutkan terdapat enam parameter indikator dalam SGIE Report. Yaitu islamic finance (keuangan Syariah), halal food (makanan halal), halal vision, halal tourism atau moslem friendly tourism, halal pharmacy and cosmetic, halal media and recreation.

“Jadi ada enam indikator yang digunakan untuk memotret indeks ekonomi Syariah di berbagai negara. Terdapat sekitar 80 negara gitu yang dinilai oleh Global Standard atau yang disebut sebagai Global Islamic Economy Index (GIEI),” pungkas Imron.

Imron, selain menyebutkan laporan dari GIEI, juga menyoroti beberapa lembaga lain yang mengeluarkan laporan tentang perkembangan ekonomi syariah global. Islamic Financial Report, Thomson Reuters, dan beberapa lembaga lainnya termasuk di antaranya.

Prestasi Indonesia dalam SGIER

Imron memperhatikan posisi Indonesia dalam SGIER selama lima tahun terakhir. Menurutnya, Indonesia menunjukkan tren positif dengan peringkat yang terus meningkat secara konsisten.

“Pada tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 10, kemudian melonjak ke lima besar pada tahun 2019. Di tahun 2022, Indonesia berhasil mencapai peringkat empat dan pada tahun ini masuk ke tiga besar,” ungkapnya, merujuk pada pakar Ekonomi Syariah dari UNAIR.

Meski Indonesia menduduki peringkat tiga dengan skor indeks 68.5 pada SGIER 2023, Imron mengakui bahwa skor Indonesia masih jauh tertinggal dari Malaysia yang meraih 220 poin sebagai peringkat utama.

Menurut Imron, ketimpangan skor ini disebabkan oleh fokus Indonesia yang lebih pada pemasaran dibandingkan dengan produksi dalam ekonomi halal. “Dari penelitian Dinar Standard, tidak hanya pemasaran yang diukur, tapi juga dukungan suatu negara terhadap ekonomi halal,” tambahnya.

Peringkat Indonesia dalam Enam Indikator SGIER
Imron menyebut bahwa Indonesia memiliki peringkat bervariasi dalam SGIER pada enam indikator yang berbeda. “Visi halal Indonesia mendapat peringkat 3, makanan halal di peringkat 4, media dan rekreasi di peringkat 5, farmasi dan kosmetik halal, keuangan Islam, serta pariwisata ramah muslim di peringkat 6,” paparnya.

Dengan masuknya dalam peringkat 10 besar di setiap indikator, Imron berharap Indonesia dapat mengoptimalkan peluangnya dan tidak hanya terbatas sebagai pasar konsumen.

“Untuk mempertahankan prestasi, Indonesia seharusnya memaksimalkan potensinya. Misalnya, dalam bidang makanan halal. Dari sisi ukuran bisnis di pasar halal global, sekitar 62 persen adalah produksi makanan halal. Indonesia harus dapat meningkatkan kontribusinya sebagai produsen,” ungkap pakar Ekonomi Syariah UNAIR.

Tantangan dan Peluang bagi Ekonomi Indonesia

Selain membahas posisi Indonesia dalam SGIER, Imron menyarankan peningkatan infrastruktur dan penegakan regulasi untuk mendukung potensi ini.
“Meskipun Indonesia memiliki UU Jaminan Produk Halal (UU JPH), implementasinya belum optimal. Padahal, UU JPH ini penting untuk meningkatkan kapasitas produk halal Indonesia. Pemerintah perlu serius dalam menegakkan regulasi untuk mendukung kontribusi Indonesia dalam industri halal global,” jelas Imron.

Imron juga menyoroti pentingnya infrastruktur dalam mendorong Indonesia sebagai produsen produk halal global. Contohnya, produk berbasis daging yang masih kurang sertifikasi halal. Begitu juga dengan halal tourism yang memerlukan infrastruktur yang memadai untuk memudahkan akses wisata.

Selain itu, Imron menekankan pentingnya kerja sama dengan negara-negara Islam. Menurutnya, pemerintah dapat melakukan berbagai jenis kerja sama dengan negara-negara yang menghasilkan produk halal.
“Arab Saudi memiliki hubungan yang kuat dengan Indonesia karena kita adalah kontributor haji dan umrah terbesar. Sayangnya, Indonesia belum menjadi produsen produk halal di Arab Saudi, padahal kita memiliki potensi besar karena hubungan erat dengan negara tersebut,” ungkapnya.

Imron juga mencatat pertumbuhan pasar halal dunia yang terus meningkat setiap tahunnya. “Dari data Dinar Standard, sektor media tumbuh sebesar 92 persen, pariwisata naik sekitar 13,1 persen, dan makanan halal tumbuh 58,5 persen,” paparnya.

Imron juga menyoroti trend belanja umat Islam yang meningkat, dari 1,62 triliun dolar AS pada tahun 2022 menjadi 2,29 triliun dolar AS dalam sepuluh tahun. Imron melihat lonjakan ini sebagai potensi pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *