Pilkada di berbagai daerah kerap menjadi ajang kontestasi politik yang sengit. Seiring dengan memanasnya suhu politik menjelang pemilihan kepala daerah, fenomena “lapor dan lapor” mulai marak terjadi. Para kandidat dan tim sukses berlomba-lomba melaporkan dugaan pelanggaran lawan politiknya, baik melalui media sosial, media massa, hingga jalur hukum formal. Pertanyaannya, apakah strategi lapor ini merupakan solusi efektif untuk memenangkan Pilkada, atau justru dapat berakhir menjadi senjata makan tuan?
Di satu sisi, lapor-melapor memang menjadi salah satu mekanisme demokrasi yang sah. Ini bisa menjadi instrumen kontrol dalam menjaga agar proses Pilkada tetap bersih dan adil. Melalui pelaporan, dugaan pelanggaran seperti politik uang, penyalahgunaan wewenang, atau kampanye hitam dapat diusut tuntas, sehingga masyarakat memperoleh informasi yang lebih jernih dalam memilih pemimpin. Dengan demikian, lapor dan lapor seolah menjadi solusi taktis untuk menciptakan persaingan politik yang sehat.
Namun, di sisi lain, fenomena ini tak jarang menjadi alat untuk saling menjatuhkan, bahkan sering kali berdampak negatif terhadap calon yang melakukannya. Ibarat pedang bermata dua, strategi ini bisa saja malah merugikan pelapor. Ketika laporan yang diajukan terbukti tidak berdasar atau terlalu dipaksakan, kredibilitas pelapor justru bisa jatuh di mata publik. Terlebih lagi, masyarakat cenderung mudah melihat siapa yang bermain “kotor” dalam pertarungan politik.
Tidak jarang, upaya saling lapor hanya menambah keruh suasana Pilkada. Publik yang awalnya antusias menyambut pesta demokrasi malah merasa jenuh dan kecewa melihat para calon lebih sibuk mengurusi serangan terhadap lawan ketimbang memaparkan visi dan misi yang konkret. Akibatnya, strategi lapor ini berpotensi menjadi senjata makan tuan bagi mereka yang terlibat.
Selain itu, taktik lapor-melapor sering kali juga membawa risiko hukum bagi pelapor. Jika laporan yang diajukan terbukti tidak benar atau mengandung unsur fitnah, calon yang melaporkan bisa terjerat kasus pencemaran nama baik. Bukan hanya itu, pihak lawan juga dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk balik melaporkan, menciptakan lingkaran setan yang tak berujung. Pada akhirnya, proses Pilkada yang seharusnya berjalan damai malah berubah menjadi ajang permusuhan personal yang diperpanjang melalui jalur hukum.
Lalu, bagaimana sebaiknya para calon dan tim sukses menyikapi situasi ini? Solusi terbaik tentu adalah mengedepankan etika politik yang sehat. Ketimbang terjebak dalam lingkaran lapor dan lapor, calon sebaiknya lebih fokus pada kampanye yang substantif dan dialog langsung dengan masyarakat. Visi dan misi yang jelas, serta program-program yang menyentuh kebutuhan rakyat, akan jauh lebih efektif dalam menarik simpati publik ketimbang serangan-serangan politik melalui laporan hukum yang sering kali tidak membawa manfaat konkret.
Pada akhirnya, kemenangan dalam Pilkada tidak semata ditentukan oleh siapa yang paling banyak melaporkan pelanggaran lawan. Masyarakat semakin cerdas dalam menilai mana kandidat yang benar-benar mampu membawa perubahan positif. Jika strategi lapor hanya dipakai sebagai taktik menjatuhkan, tanpa dibarengi dengan gagasan-gagasan konkret untuk pembangunan, maka calon tersebut justru bisa kehilangan dukungan.
Fenomena lapor dan lapor ini mengajarkan kita bahwa strategi politik yang tidak beretika cenderung akan berbalik menjadi senjata makan tuan. Oleh karena itu, mari kita jaga agar Pilkada tetap menjadi ajang yang bersih dan penuh gagasan, demi masa depan yang lebih baik.
Penulis : Satiyo