Tolak Raperda RTRW yang Dinilai Cacat Hukum, Mahasiswa Lamongan dan Aparat Terlibat Bentrok

(kanan) Mahasiswa dan Aparat kepolisian terlihat saling dorong

LAMONGAN, RadarBangsa.co.id – Ratusan mahasiswa Lamongan yang tergabungan dari PMII, HMI, GMNI, IMM, Forum Nasional Mahasiswa Lamongan (Fornasmala) terlibat aksi saling dorong dan bentrok dengan aparat kepolisian di depan Gedung DPRD Lamongan Jalan Basuki Rahmat, Kamis (23/07).

Bentrokan terjadi setelah keinginan mahasiswa untuk bertemu Bupati Lamongan dan pimpinan dewan dan menyampaikan protes Raperda RTRW yang tidak sesuai dengan peta wilayah tidak dipenuhi.

Bacaan Lainnya

Pantauan media ini aksi mahasiswa awalnya berlangsung damai pada pukul 09.00 di depan Gedung Pemkab Lamongan. Mereka membentangkan spanduk, poster dan orasi untuk menolak Raperda RTRW yang disebut cacat hukum. Mereka melakukan protes dan ingin Bupati Lamongan untuk turun menemuinya.

Keinginan para pendemo tidak terpenuhi, mereka bergerak menuju Gedung dewan yang berjarak kurang lebih satu kilo meter. Pendemo minta pimpinan dewan menemui mereka. Sehingga sejumlah pengunjukrasa merengsek maju hendak masuk gedung dewan. Namun upaya mereka dihadang barikade anggota Polres Lamongan yang berjaga di depan gerbang.

Aksi main dorong itu dipicu saat para mahasiswa memaksa untuk masuk gedung DPRD. Sementara petugas Kepolisian yang menjaga keamanan menghalau para pendemo yang hendak merengsek masuk ke Gedung dewan. Para mahasiswa yang terlibat aksi saling dorong diamankan untuk keluar dari konsentrasi massa.

Polisi kemudian bereaksi dan bergerak dengan menggunakan alat pelindung diri berupa tameng dan merangsek hingga membuat para mahasiswa kocar-kacir. Bentrokan tersebut membuat sejumlah mahasiswa dari PMII, HMI dan Forsmala mengalami luka di bagian kepala terkena pentungan.

Sementara itu menurut Ketua PMII Cabang Lamongan, Syamsudin dalam keterangan tertulisnya menjelaskan respon negatif dari pembangunan berkelanjutan adalah kerusakan alam, hilangnya budaya, dan konflik dibawah. Eksploitasi dan ambisius merauk untung matrial sebesar-besarnya sering kali memandang sebelah mata tentang ekologi dan kemanusiaan. Wilayah-wilayah strategis zona ekonomi masyarakat bawah tergusur dengan tawaran solusi akan ada serap tenaga kerja yang berujung harapan palsu hanya menjadi buah polemik kemiskinan berkepanjangan.

“Seperti halnya Raperda RTRW Lamongan yang memandang suatu wilayah hanya sebagai objek lahan yang diperuntukan untuk menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memperhatikan zona ekonomi masyarakat menengah kebawah dan ekologi,” katanya.

Dikatakanya pada dasarnya Rencana Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lamongan yang akan menjadi landasan hukum pembangunan selama 20 tahun kedepan terkesan tergesa-gesa dalam penyusunanya, untuk menghindari dampak negatif yang akan ditimbulkan dan harus disetiap prosesnya memperhatikan mekanisme pembuatanya, kebijakan spasial dan sektoral, masukan serta koreksi yang lebih detail dari para tokoh-tokoh masyarakat yang benar-benar mengetahui tentang potensi yang ada, supaya raperda RTRW ini bisa sesuai dengan kebutuhan Wilayah.

Selain itu, kata Syamsudin, Raperda RTRW dalam Pasal 25 pada ayat B, dijelaskan Tempat pengelolaan dan Penimbunan Akhir Limbah B3 berada di kecamatan Brondong, “Kami Jelas Menolak karena tidak memperhatikan tentang kondisi dan fisik wilayah, sosial kependudukan, ekonomi wilayah, lingkungah hidup, pengurangan resiko bencana, dan juga penguasaan tanah,” tegasnya.

Ada beberapa poin pertimbangan dalam penolakan tersebut yakni pertama subtansi pembahasan raperda ini masih belum memuat 50% lebih satu dari isi perda no 15 tahun 2011, yang semestinya status raperda ini adalah perubahan dari perda kemaren.

Kedua, mengingat Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan RAPERDA RTRW ini juga telah gagal dan cacat hukum karena tidak menyertakan Naskah Akademik yang berfungsi sebagai acuan untuk mengetahui kedudukan dan proses pembentukan RAPERDA.

Ketiga , RAPERDA RTRW memuat data yang tidak valid seperti halnya yang terdapat pada BAB VII Tentang penetapan kawasan rawan banjir yang meliputi kecamatan Sukorame, Sugio, Babat, Pucuk, Sukodadi, Lamongan, Tikung, Sarirejo, Deket, Glagah, Karangbinangun, Turi, Kalitengah, Karanggeneng, Sekaran, Maduran, Laren, dan Solokuro yang dimana kecamatan Sukorame dan Solokuro kalau dipandang dari sudut historis sama sekali tidak valid ketika dimasukan pada kawasan rawan banjir.

Kemudian dari kawasan- kawasan rawan bencana kekeringan yang juga tidak memasukan kawasan-kawasan yang memiliki historis berpotensi rawan bencana kekeringan.

Keempat data yang dimuat dalam lampiran RAPERDA RTRW tidak mencantumkan tahapan- tahapan dan target yang akan dicapai, tentu hal ini akan memberikan dampak negatif terhadap pembangunan akibat ketidakjelasan data yang dimuat.

Lebih lanjut, kata Syamsudin, selain RAPERDA RTRW, Rencana Induk Pembangunan Industri (RIPI) dimana RIPI merupakan hasil Turunan dari RAPERDA RTRW juga dinilai kurang teliti dalam penyusunanya yang dibuktikan dengan adanya data copy paste dan belum diedit dari data Kabupaten Sukoharjo.

“Yang Paling tidak Rasional adalah ketika naskah akademik yang kami terima tidak lebih hanya 30 Lembar, kami anggap ini tidak serius,” ungkapnya.

Syamsudin menegaskan bahwa Mahasiswa Lamongan Melawan yang terdiri dari Aliansi PMII, GMNI, HMI, IMM dan Fornasmala menyayangkan sikap DPRD Kabupaten Lamongan yang masih menerima dan membahas RAPERDA RTRW 2020 – 2040 yang terbukti cacat hukum dan memuat data tidak valid yang apabila dipaksakan untuk melanjutkan pemrosesan hanya akan menjadi petaka pembangunan bagi Kabupaten Lamongan selama 20 Tahun kedepan .

“Mencabut 3 RAPERDA yang Bermasalah (RTRW, RIPI, RDTR BWP paciran). Jangan biarkan lahan produktif menyempit, Gagalnya penataan wilayah daerah, Jangan biarkan Lamongan jadi lumbung racun, Pemkab pembohong publik,” pungkasnya

(Zain)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *