BOGOR, RadarBangsa.co.id – Tuberkulosis (TBC) telah menjadi indikator utama dalam pembangunan Kota Bogor, demikian yang disampaikan oleh Ara Wiraswara, SE, Kepala Bidang Pemerintah dan Pembangunan Pengembangan Manusia Bapperida, saat menghadiri kegiatan lokakarya advokasi Publik Private Mix (PPM) di Kota Bogor pada Rabu, 13 Maret 2024. Kegiatan ini merupakan langkah awal dari Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dalam meningkatkan kapasitas advokasi pemangku kepentingan PPM di Kota Bogor.
Trend global mengenai peningkatan kasus TBC menjadi dasar bagi Badan Perencanaan Pembangunan, Riset, dan Inovasi Daerah (Bapperida) Kota Bogor untuk menjadikan TBC sebagai indikator pembangunan. Berdasarkan data, diperkirakan Kota Bogor memiliki sekitar 8.324 kasus TBC pada tahun 2024.
Hingga Januari-Februari, telah dilaporkan 915 kasus TBC, dengan tingkat cakupan pengobatan sebesar 11%, tingkat keberhasilan pengobatan sebesar 34%, 19 kasus TBC-HIV, 154 kasus TBC pada anak, dan pemberian TPT sebesar 1%.
Untuk mencapai estimasi tersebut, dilakukan berbagai upaya melalui Aksi GEULIS (Akselerasi Gerakan Eliminasi TBC). Beberapa langkah termasuk pembentukan RAD TBC Kota Bogor, pembentukan Tim Percepatan Eliminasi TBC, pengembangan aplikasi Si Geulis, pembentukan RW siaga TBC, dan RS rujukan TBC Resisten Obat (RO).
“Kami telah merumuskan beberapa strategi ini, dan sekarang yang dibutuhkan hanyalah maksimalisasi kerja tim teknis di lapangan; dengan peningkatan anggaran, pekerjaan kami semakin efektif,” kata Ara Wiraswara, SE.
Menyikapi hal ini, Nurliyanti selaku Program Manager STPI menyoroti keberlanjutan program Aksi GEULIS yang belum terencana dengan baik.
“Meskipun semua camat dan lurah telah terlibat dalam program Si Geulis, namun sistem yang dibangun masih belum berkelanjutan. Oleh karena itu, diperlukan pengenalan yang berkelanjutan dan terintegrasi untuk memastikan aliran data lintas sektor dapat berjalan dengan lancar,” ungkapnya.
Dalam konteks lintas sektor, dr. Henry Diatmo, MKM, menyampaikan potensi pendanaan selain dari pemerintah untuk menjalankan program TBC dengan efektif.
“Pendanaan dapat berasal dari CSR perusahaan. Namun, tantangannya adalah mendekati perusahaan-perusahaan tersebut, mengingat setiap perusahaan memiliki fokus bidangnya masing-masing,” jelas dr. Henry.
Untuk mengatasi hal ini, penting untuk membuat program yang langsung berdampak bagi penerima manfaat, karena perusahaan cenderung enggan terlibat dengan pihak ketiga. dr. Henry juga berharap agar pelatihan advokasi di tingkat PPM ini dapat memberikan dampak langsung dalam penanggulangan TBC di Kota Bogor, sehingga target eliminasi TBC pada tahun 2030 dapat tercapai dengan lancar.