RadarBangsa.co.id – Sejumlah pakar tampil dalam webinar yang digelar Political and Public Policy (P3S) yang bertajuk “Indonesia Terancam Krisis Pangan,” Senin (7/8/2020).
Saat berbicara di awal Webinar, Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanaian Suwandi mengatakan dalam menghadapi kemungkinan krisis pangan akibat pandemi Covid-19, Kementerian Pertanian (Kementan) terus berupaya menjaga ketersediaan stok pangan di Indonesia.
Lebih lanjut, dia mengatakan sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, Kementan sebagai salah salah satu garda terdepan dalam upaya penanganan Covid-19.
Dituntut melakukan langkah nyata untuk menjamin ketersediaan pangan terutama di masa pandemi ini.
Kementerian Pertanian (Kementan) menyiapkan berbagai langkah sebagai upaya meningkatkan ketersediaan pangan di masa pandemi corona.
Sedangkan pakar Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso menyoroti pentingnya sektor pangan ini dengan terkait stabilitas politik, kerusuhan sosial dan lain sebagainya.
Disebutkan Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) persoalan krisis pangan yang pernah terjadi saat rezim Presiden pertama RI Soekarno dan Presiden kedua RI Soeharto.
Di era Soekarno, tepatnya setahun setelah Indonesia merdeka, Dwi menjelaskan, pemerintah saat itu sempat membantu negara India memenuhi kebutuhan pangan.
Di mana saat itu RI mengekspor setengah juta ton beras ke India. Kemudian sekitar tahun 1950-an, lanjut Dwi, pemerintah mulai meningkatkan produksi pertanian hingga ke target swasembada pangan.
Tapi di akhir tahun 1950-an harga beras meroket, karena produksi beras menurun.
Selanjutnya terangnya, di sanalah krisis pangan mulai menghantui stabilitas politik saat itu. Dwi menyatakan, awal mula krisis pangan ini disebabkan produksi beras menurun, hingga akhirnya negara bergantung kepada impor.
“Kita jadi negara di akhir tahun 50-an atau menjelang 60-an, kita menjadi negara impor terbesar di dunia pada saat itu, dengan nilai impor 800 ribu ton sampai 1 juta ton per tahun. Dan ini relatif ironis, karena ketika setelah setahun merdeka kita ekspor,” jelasnya.
Ditambahkannya, food crisis terjadi di Indonesia sampai tahun 1964. Bahkan krisis pangan tersebut memicu terjadinya social unrest di banyak tempat di Indonesia.
“Lalu apakah ini sebenarnya kejadian yang memicu kejadian tahun 65? Kalau kesimpulan kami sih, karena food crysis sebelum tahun 65 ini menduduki posisi penting. Karena apa? Ketika masyarakat lapar segala hal bisa dilakukan,” ucap Dwi.
Hal serupa, disebutkan Dwi, terjadi pula saat rezim Soeharto berkuasa. Hal tersebut bisa dilihat di tahun 1997, di saat Indonesia mulai bergantung kepada impor untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
“Ini kalau kita lihat antara impor dan produksi, tahun 97 Indonesia mengalami kekeringan yang besar, lalu produksi turun relatif tajam, dan kemudian kita melakukan impor beras sepanjang sejarah pada tahun 98 sebesar 6,4 juta ton. Dan memicu krisis besar juga,” terangnya.
Melalui sejarah dua pemimpin tersebut, Dwi berkesimpulan, krisis pangan yang disebabkan produksi menurun dan berakhir kepada ketergantungan impor, membuat suatu rezim.
Tapi disisi lain, Prof Andreas mengungkapkan bahwa pangan Indonesia tetap aman dan terkendali tak akan terjadi krisis. Jadi tak perlu ditakuti.
Serta, mengantisipasi krisis pangan sebagaimana yang diperingatkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) akibat dampak pandemi covid 19.
Langkahnya seperti meningkatkan kapasitas produksi dengan mempercepat musim tanam II, mengembangkan lahan rawa dan upaya lainnya.
Untuk itu kata dia, dalam mendukung upaya lumbung pangan Kementan juga mulai menggarap metode pertanian pola integrated farming.
Dengan menerapkan zero waste yang belakangan ini banyak ditekuni petani untuk memenuhi berbagai kebutuhan pangan secara holistik dalam satu lahan.
Pola integrated farming ini merupakan pengelolaan pertanian terpadu, dimana dalam satu hamparan dibudidayakan banyak komoditas yakni padi, sayur, ayam, lele, sapi dan komoditas pangan lainnya.
“Dalam mewujudkan kemandirian pangan Kementan juga sangat mendukung petani dalam melakukan metode pertanian integrated farming dengan zero waste yang artinya penggunaan eksternal input diminimalisir, apa yang ada di dalam di institusinya diputar agar efisien di sisi input,” papar dia.
Kementan dipastikan sangat serius mendorong pengembangan pola integrated farming ini melalui pemberian bantuan KUR, bantuan bibit dan sarana produksinya lainya.
Pola ini menjadi model untuk dikembangkan di berbagai daerah, sehingga ketahanan pangan nasional didukung semua daerah dan terjadi peningkatan kesejahteraan petani secara holistik di seluruh wilayah Indonesia.
Mantan Menko Ekonomi di era Gus Dur, Rizal Ramli dalam kesempatan ini menjelaskan sejak dinyatakan pandemi, dirinya sudah mulai menyarankan pemerintah untuk melakukan realokasi anggaran strategis dalam penanganan Covid-19.
Dia menilai pemerintah tidak fokus dalam melakukan relokasi anggaran.
Menurutnya, ada tiga fokus yang seharusnya dilakukan pemerintah. Pertama anggaran untuk fokus melawan virus corona dari segi kesehatan secara besar-besaran, fokus pemberian bantuan bagi masyarakat yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, serta fokus peningkatan produksi pangan.
Untuk itu, Rizal menyaranlan agar peningkatan produksi pangan menjadi hal penting untuk memastikan ketersediaan pasokan komoditas di tengah pandemi. Sebab, pandemi juga mengancam terjadinya krisis pangan, sehingga perlu tindakan untuk memitigasinya.
Pertanian menjadi sektor yang memungkinan untuk terus berproduksi karena risiko terkena virus corona di perdesaan lebih kecil ketimbang perkotaan. Selain itu, produksinya tak butuh waktu lama sekitar 2 bulan hingga 4 bulan.
“Yang penting saat ini kita ada stok pangan yang cukup sehingga rakyat kita tidak kelaparan kalau nanti krisis ini berkepanjangan,” urainya.
Sayangnya, menurut Rizal, pemerintah tidak fokus pada ketiga hal tersebut. Melainkan, tetap meninginginkan banyak program dan proyek berjalanan beriringan, yang menurutnya itu malah membuat pandemi makin sulit teratasi.
“Tapi begitu saya lihat angka-angkanya, kagak nyambung, karena masih bikin proyek ini, proyek jalan, proyek ibu kota baru, macam-macam. Yah jelas enggak ada uang kalau mau semuanya. Padahal dalam krisis kita perlu prioritas, perlu fokus,” jelasnya.
Ditambahkannya, perlu belajar dari penanganan krisis ekonomi di tahun 1998, saat itu pengerjaan proyek-proyek besar dihentikan untuk semantara.
Kemudian, setelah dua tahun perekonomian kembali pulih barulah proyek-proyek tersebut dijalankan lagi.
Hal ini yang Rizal nilai perlu dilakukan pemerintah. Rizal mengatakan, jika pemerintah banyak mengerjakan program dan proyek dalam penangangan pandemi di tengah terbatasnya kapasitas fiskal, maka yang akan terjadi adalah terus dilakukan penambahan.
Dalam kesempatan ini Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menjelaskan terkait produksi beras Indonesia turun 2,63 kuta ton selama 2019 dan ini perlu diantisipasi.
Dia pun menyayangkan luas baku lahan pertanian di Indonesia tersisa 7,1 juta hektare pada 2018 pada menurut BPS sensus 2013 lahan kita seluas 7,75 juta hektare.
Disamping itu dia menyentil terkait penurunan produksi beras.
“Contoh di Jatim dan Jateng yang mana terjadi penurunan produksi beras terus terjadi pada 2018 di Jawa Tengah produksinya mencapai 10,4 juta ton pada 2018 dan turun menjadi 9,6 juta ton pada 2019. Jatim 10,2 pada 2018 turun 9,5 juta ton pada 2019 serta di provinsi lainnya,” jelas dia.
Jerry berharap pemerintah mencontoh Kota Sukabumi di saat pandemi corona dengan membangun kampung tangguh dan zona ketahanan pangan dalam menghadapi dampak pandemi Covid-19.
Kendati menurut dia, llahan pertanian terbatas 1.300 hektare dan hanya mampu memenuhi 35 persen warga Sukabumi.
Selain itu dia menjelaskan sistem pertanian 4.0 Vietnam dengan menerapkan sistem sawah ekologis. Dimana 7800 petani di Vietnam diberikan bibit.
“Bayangkan kampanye dan papan iklan pertanian membuat negara ini menjadi negara kedua terbesar di dunia pengekspor beras setelah India.
Ongkos produksi beras RI 2,5 kali lipat dari Vietnam,” ujarnya.
Tapi kata Jerry, dia optimis Kementan akan surplus 6 juta ton 2020. Tentunya ini perlu didukung.
Jerry pun mencontohkan Vietnam saat membuat kebijakan liberalisasi pasar pertanian, negara ini meningkatkan ekspor beras Vietnam sebesar 4,2 persen pada tahun 2019 dengan total pendapatan ekspor hampir 2,8 miliar dolar AS (sekitar Rp39 triliun).
“Sedangkan, Vietnam bisa menghasilkan beras dengan biaya produksi sebesar Rp 1.679 per kilogram. Biaya produksi beras di Indonesia juga lebih tinggi dari Filipina (Rp 3.224 per kilogram), Tiongkok (Rp 3.661 per kilogram), India (Rp 2.306 per kilogram), dan Thailand (Rp 2.291 per kilogram), ucap Jerry.
Saat berbicara webinar P3S Rektor Institut Pertanian Bogor atau IPB University, Prof Dr Arif Satria menjelaskan bahwa terdapat langkah-langkah yang dapat dilakukan guna mendorong kemandirian pangan disaat pandemi corona.
Solusi jangka pendek dapat dilakukan pertama, perlindungan petani seperti pertama kebijakan logistik agromaritim dan rantai pasok pangan yang melibatkan BUMN pangan, koperasi dan swasta.
Lebih lanjut Prof Arif menuturkan sistem logistik memerlukan inovasi berbasis teknologi 4.0 khususnya blokchain.
Kedua, memperluas akses petani, peternak dan nelayan pada jaringan pemasaran daring.
Ketiga, stimulus ekonomi khusus untuk pertanian dan pedesaan, dan keempat skema perlindungan dan jaring pengaman sosial.
Untuk jangka menengah solusinya perlu adanya gerakan produksi skala rumah tangga, adanya produk substitusi impor misalnya mie berbahan baku wortel, bayam, dan jagung.
Kemudian, adanya penyempurnaan sistem data dan informasi pertanian dan perikanan secara spasial diiringi pola pertanian presisi berbasis teknologi 4.0.
Selain itu perlu adanya reforma agraria dan pengendalian konversi lahan sebagai prasyarat kemandirian pangan dalam bentuk land refrom dan access reform. “Kemudian perlu mempercepat regenarasi petani melalui petani milenial. Rata-rata petani kita berusia 47 tahun, maka 5 sampai 10 tahun lagi mungkin ada krisis tenaga kerja sektor pertanian.
Oleh karenanya inovasi Pertanian 4.0 diperlukan. Perlu solusi mengatasi food loss dan food waste dan terakhir adalah inovasi pertanian 4.0,” kata Arif
Indeks pangan pangan global Indonesia ini saat ini masih berada di bawah negara-negara seperti Malaysia, Thailand dan juga Vietnam.
Kemudian di Global Hunger Indeks Score, Indonesia juga masih di bawah Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Disebutkan perlu waktu 10 tahun untuk mengejar agar setara dengan posisi Thailand saat ini.
“Jadi kalau 10 tahun lagi skor Global Hunger Index kita 9,7 mungkin Thailand sudah poin 5 atau 4 setara dengan posisi Jepang saat ini. Jadi kita dengan negara Asean sudah miliki ketertinggalan,” kata dia.
Begitu pula jika dilihat food sustainability index, Indonesia berada di bawah Zimbabwe dan Ethiopia. Padahal 20 tahun lalu jika mendengar kata Ethiopia maka yang terbesit adalah kelaparan.
Namun sekarang Ethiopia sudah bangkit dan memiliki food sustainability yang jauh lebih tinggi dari Indonesia.
“Saat saya bicara di FAO beberapa waktu lalu, ternyata Afrika punya strategi dahsyat sekali untuk rekontruksi pembangunan pertanian dengan teknologi terkini dan suksesnya sudah nyata saat ini,” urainya.
Mengenai ketersediaan pangan selain ada isu produksi juga tak lepas dari adanya masalah food loss dan food waste atau pangan yang terbuang dan pangan yang menjadi sampah. Indonesia sendiri jadi kontributor kedua terbesar di dunia sebagai kontributor food loss dan food waste setelah Arab Saudi.
“Kalau kita panen padi di sawah itu yang tercecer sampai 17%, kalau itu diselamatkan saja maka ketersediaan pangan kita sudah bisa teratasi. Apalagi ditambah dengan konsumsi tidak buang-buang makanan saat pesta pernikahan dan saat maka di rumah. Kalau konsumsi kita bisa tekan 4% waste-nya atau terbuangnya maka bisa meningkatkan ketersediaan pangan,”
Makanya jelas Arif, momentum untuk meneguhkan kemandirian pangan. Kondisi eksternal tidak kondusif untuk terima barang impor pada saat yang sama Indonesia harus percaya diri bahwa kemandirian pangan jadi keniscayaan.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi IV DPR Daniel Johan mengatakan, Presiden Jokowi perlu membuat kebijakan membeli produk pangan petani, kemudian diberikan kepada masyarakat secara gratis. “Pak Jokowi, tolong negara bisa membeli produk pangan petani dan berikan gratis ke rakyat,”
Dia menekankan, monopoli dan kartel adalah urusan negara.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah sebelum membuat kebijakan itu, pemerintah perlu membentuk Badan Pangan Nasional.
“Kalau pun tidak ingin membentuk badan baru, pemerintah bisa menjadikan Bulog sebagai badan pangan.
Artinya mengembalikan peran Bulog seperti zaman Orde Baru yang tugasnya menentukan harga eceran tertinggi,” demikian Daniel.
Oleh karena itu tegasnya, bila negara mampu membeli 1 juta ton gabah petani dengan harga Rp4.200 per kilogram (kg) maka pemerintah cukup menyiapkan anggaran sebesar Rp4,2 triliun. “Ini bisa menanggung perut 65 juta rakyat selama sebulan,” papar dia.
Ketua DPP PKB itu mengatakan, jika negara bisa membeli 3 juta ton gabah petani, pemerintah cukup menyiapkan anggaran Rp12,6 triliun untuk menopang kebutuhan beras 195 juta warga selama sebulan.
Dia berharap, anggaran untuk membeli gabah petani bisa dimasukkan dalam rencana penambahan anggaran yang nilainya mencapai Rp1.000 triliun. “Mohon dari rencana penambahan anggaran Rp1.000 triliun, selamatkan perut dan pangan rakyat,” ungkap dia.
(Ari)