Dhimam Abror Djuraid
Beberapa hari belakangan ini kosakata “action plan” banyak disebut orang, dan kelihatannya bakal menjadi diksi baru dalam kamus politik Indonesia.
Hal itu terungkap dalam sidang Jaksa Pinangki Sirna Malasari, yang didakwa terlibat dalam korupsi kasus pembebasan Djoko Sugiarto Tjandra.
Dalam sidang itu terungkap ada 10 action plan yang ditulis Pinangki dalam bentuk proposal, berisi tahapan-tahapan pembebasan Djoko Tjandra.
Dalam proposal itu Pinangki mengajukan anggaran 100 juta dolar AS, yang kemudian oleh Djoko Tjandra disetujui sebesar 10 juta dolar AS atau sekitar Rp 150 miliar.
Action plan ini menjadi heboh karena menyebut-nyebut nama para petinggi hukum di kejaksaan termasuk jaksa agung dan mantan ketua Mahkamah Agung (MA).
Tentu saja tuduhan dalam action plan ini dibantah. Meski demikian terminologi “action plan” langsung menjadi trending topic dan viral di medsos.
Netizen yang kritis mengecam action plan senilai ratusan miliar rupiah itu, sambil mengatakan bahwa ia pernah membuat action plan di level RT senilai Rp 1,5 juta untuk biaya agustusan, itupun tidak di-acc oleh Pak RT.
Action plan Pinangki itu mengungkap bahwa kasus-kasus korupsi besar selalu bersilang-sengkarut, melibatkan berbagai institusi hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Seperti air yang mengalir sampai jauh, korupsi juga mengalir sampai jauh dan sulit dilacak.
Beberapa waktu yang lalu ketika banyak kasus korupsi dibongkar oleh KPK, terungkap beberapa kata sandi yang dipakai oleh mereka yang terlibat.
Pada 2012 anggota DPR RI, Angelina Sondakh, divonis 12 tahun penjara setelah banding, ditambah denda Rp 500 juta karena terbukti menerima uang tidak sah.
Salah satu sandi yang dipakai Sondakh adalah “apel Washington” untuk menyebut pembayaran dengan mata uang dolar Amerika.
Sejak itu bermunculan kata-kata sandi yang kemudian banyak dipakai dalam pembicaraan umum dan menjadi kosakata dan diksi baru.
Misalnyan kata “meter” dipakai untuk menyebut “miliar”, karena singkatannya sama-sama huruf “M”. Sepuluh meter berarti sepuluh miliar.
Lalu ada kata “ton” untuk menyebut “triliun” karena awalannya sama-sama huruf “T”. Satu ton berarti satu triliun.
Ada juga action plan yang dibikin oleh pengurus sebuah organisasi mahasiswa di Surabaya yang juga bikin heboh dan membuat tertawa. Pasalnya, action plan dalam bentuk proposal itu kelasnya belasan juta saja, mungkin sekelas action plan untuk RW atau kelurahan.
Persoalan menjadi runyam karena anak-anak pembuat action plan ini kelasnya cuma kelas anak kos, jauh kalah canggih dari action plan Pinangki atau Angelina Sondakh yang sistematis dan profesional.
Action plan ini disebut mengajukan biaya untuk melakukan demo menghadang atau membubarkan deklarasi KAMI, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia di Surabaya. Tapi ternyata action plan itu kedaluarsa karena acara KAMI sudah berlangsung sebelum action plan diajukan.
Kecele dan malu gegara action plan itu bocor di medsos, ketua umum organisasi mahasiswa di Surabaya itu mengundurkan diri.
Langkah ini diapresiasi banyak kalangan karena dianggap sikap yang bertanggung jawab. Meskipun nilai action plan itu hanya belasan juta rupiah, tapi ketua organisasi itu memilih mundur sebagai bentuk tanggung jawab.
Kita tunggu akankah ada petinggi lembaga hukum negara yang mundur gegara action plan ratusan miliar Pinangki yang bocor itu. Sejauh ini yang terdengar adalah saling lempar dan saling bela diri dengan narasi-narasi normatif yang berbelit-belit.
Bahasa dan semiotika korupsi memang selalu rumit dan berbelit. Dr Aceng Abdullah, pakar komunikasi dari Universitas Padjadjaran, Bandung meneliti semiotika korupsi ini dalam disertasi doktoralnya berjudul “Komunikasi Korupsi: Studi Etnografi Komunikasi Tentang Bahasa yang Digunakan dalam Aktivitas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme” (2013).
Abdullah menemukan adanya bahasa isoterik yang hanya dipakai dan dipahami secara terbatas dan tertutup di kalangan pelaku korupsi.
Abdullah mengidentifikasi sedikitnya 11 istilah yang banyak dipakai untuk mengaburkan korupsi, misalnya uang lelah, uang bensin, dan bahkan shodaqah.
Studi terbaru dari Aspinall dan Berenschot (2019) “Democracy for Sale” juga menyoroti peliknya korupsi klientelisme yang melibatkan anggaran negara, melalui bagi-bagi proyek dari pejabat (patron) dan pengusaha (klien) sebagai imbalan dukungan politik.
Di tengah pelaksanaan pilkada serentak seperti sekarang, action plan untuk mendukung calon kepala daerah tertentu pasti berseliweran. Tujuannya adalah mendapatkan reward setelah nanti calon dukungannya sukses.
Korupsi patron-klien semacam ini selalu terselubung halus dan tidak gampang terendus, karena dilakukan dalam action plan yang lembut, profesional, dan canggih.
Kasus Djoko Tjandra dan Pinangki menjadi drama korea yang menegangkan dan kompleks, karena melibatkan institusi Kejaksaan dan Kepolisian. Drama menjadi sensasional karena ada bumbu yang melibatkan harta, takhta, dan wanita.
Gaya hidup jetset Jaksa Pinangki yang lebih mirip selebritas papan atas membuat banyak pihak menahan nafas menunggu ending drakor ini.
Ketika gedung Kejaksaan Agung terbakar, dan polisi mengendus indikasi kesengajaan maka kasus menjadi cerita suspens perpaduan drakor dan sinetron India.
Lakon sentral drakor ini adalah Pinangki yang menjadi kunci dan mahkota kasus ini. Di persidangan Pinangki tampil berhijab, mengundang komen nyinyir netizen.
Maklumlah. Sekarang banyak orang yang memonopoli hidayah dan merasa dirinya agen tunggal hidayah seperti agen pulsa atau elpiji. Mereka lupa bahwa agen tunggal hidayah adalah Allah Yang Mahakuasa, lewat jalan apa pun.
Nenek moyang kita zaman old mengingatkan akan bahaya “tiga ta”, harta, takhta, dan wanita.
Di zaman now godaan menjadi lebih besar dari “tiga ta”, karena ada harta, takhta, wanita, Jakarta, Toyota, balaikota, sepeda, jaksa…
(*)