Oleh : Jerry Massie (Direktur Eksekutif Political and Public Policy Studies)
Gerindra kurang kaderisasi. Partai ini mirip PDIP. Padahal diantara keduanya punya kader-kader potensial.
Sejak Gerindra didirikan maka tampuk kekuasaan tak pernah lepas dari Prabowo. Bagi pemilih tradisional tak masalah tapi rasional atau terpelajar paling akan beda.
Lihat Demokrat kemdati agak terlambat tapi SBY telah melepaskan ketua pada anaknya Agus Yudhoyono.
Barangkali kepemimpinan single figther modelnya seperti ini. Kendati bayak kader tapi tak mau melepas kepemimpinannya. Padahal, “Leadership is not a position but an action” (kepemimpinan bukanlah posisi tapi suatu tindakan).
Sejauh ini jika Geridra masih mengandalkan kepemimpinan tunggal maka mereka belum berhasil menciptakan generasi kedua.
Saya nilai ini bisa berdampak pada Pilpres 2024. Tapi sisi elektoral bisa berdampak buruk.
Padahal publik ingin melihat Gerindra memiliki pemimpin baru dan barangkali menjadi ketua dewan pembina. Jadi Ketum bak ketua harian.
Harus ada terobosan dan inovasi baru. Kalau Prabowo publik bahkan lawan politik sudah mengetahui ke arah mana Gerindra akan di bawah bahkan strategi partai ini. Kalau yang baru pasti mereka akan sulit menebak.
Memang planning Prabowo masih mengendalikan Gerindra setidaknya akan ikut kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Tapi bisa jadi personal branding and branding image dia tak cemerlang seperti 2019 lalu.
Sebetulnya, kalau Prabowo legowo dan berani melepas jabatannya serta memberikan kesempatan pada kader terbaiknya seperti Menteri KKP Edhy Prabowo, Suhmi Dasco Ahmad ataupun Sekjen Ahmad Muzani. Paling tidak akan lain ceritanya.
Tapi semua tergantung dari Prabowo. Dengan kurang gebrakannya maka otomatis membuat kredibilitasnya menurun. Padahal jika Gerindra oposisi saya jamin partai ini sulit ditaklukan. Tapi dengan dengan gaya saat ini maka Prabowo akan sulit bersaing dengan para rising star.
Opini kolumnis ini adalah tanggungjawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggungjawab Redaksi RadarBangsa.co.id