JAKARTA, RadarBangsa.co.id — Gelombang dukungan terhadap Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, terus mengalir deras setelah viralnya tagar #BoikotTrans7 di media sosial. Publik ramai mengecam tayangan program “Xpose Uncensored” yang dinilai melecehkan martabat pesantren dan kiai sepuh KH Anwar Manshur.
Meski pihak Trans7 melalui Production Director Andi Chairil telah menyampaikan permohonan maaf pada Senin (13/10/2025), publik tampaknya belum sepenuhnya puas. Tayangan dengan narasi “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok?” dianggap menyinggung kehidupan pesantren dan menebar stereotip negatif terhadap komunitas santri.
“Acara pemberitaan seperti ini tidak etis. Disajikan tanpa riset dan wawancara, hanya membangun opini sepihak,” tulis salah satu pengguna X yang disukai ribuan akun.
Kecaman datang dari berbagai tokoh nasional, mulai dari Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), Ketua JKSN Kiai Asep Saifuddin Chalim, Ketua MUI KH Cholil Nafis, hingga anggota legislatif seperti Maman Imanulhaq dan senator DPD RI Dr. Lia Istifhama. Mereka menilai konten tersebut mencederai nilai-nilai pesantren dan melanggar prinsip etika penyiaran.
Senator Lia Istifhama menyebut gelombang dukungan terhadap Lirboyo sebagai bukti kekuatan modal sosial santri. “Solidaritas ini menunjukkan hasil pendidikan akhlak, ilmu, dan semangat hablum minannas yang tertanam kuat di pesantren,” ujarnya (15/10).
Menurutnya, kebersamaan santri dalam menjaga marwah pesantren menjadi angin segar menjelang Hari Santri Nasional 22 Oktober mendatang. “Santri adalah wajah Indonesia yang sehat, tangguh, dan cerdas dalam menyuarakan nilai positif di ruang digital,” tambah Lia.
Ia menilai, reaksi publik ini juga mencerminkan karakter bangsa yang berakar pada Humanisme Religius perpaduan nilai kemanusiaan dan religiusitas yang menjadi identitas Indonesia. “Ketika suara santri bersatu, kita melihat kekuatan moral bangsa yang menolak provokasi dan menjunjung kesantunan,” tegasnya.
Lia pun mengingatkan pentingnya menaati Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. “Penyiaran memiliki fungsi edukatif dan perekat sosial. Jika disalahgunakan untuk provokasi atau mencari sensasi, maka yang terjadi justru kontraproduktif,” ujarnya.
Sebagai sosok yang juga pernah nyantri semasa SMA, Lia mengaku paham betul nilai kehidupan di pesantren. “Budaya ro’an, makan bersama, hingga kedisiplinan spiritual membentuk karakter santri yang kuat dan rendah hati. Jadi, tidak pantas jika kehidupan pesantren disalahartikan secara dangkal,” ungkapnya.
Lia yang juga Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Banin wal Banat di Surabaya itu menutup pernyataannya dengan pesan reflektif:
“Santri bukan hanya penjaga nilai agama, tapi juga penjaga akal sehat bangsa. Dari pesantren, lahir peradaban Indonesia yang beradab dan berdaulat.”
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin