JAKARTA, RadarBangsa.co.id – Anggota MPR RI dari unsur DPD RI Jawa Timur, Lia Istifhama, menegaskan perlunya memandang keberlangsungan bangsa secara menyeluruh, mulai dari pendidikan, demokrasi, hingga kesepakatan publik terkait arah pembangunan nasional.
Dalam pandangannya, perjuangan politik maupun sosial tidak semata-mata untuk hasil instan, melainkan untuk masa depan generasi berikutnya.
“Perjuangan tidak selalu untuk hasil saat ini, melainkan untuk generasi mendatang,” ujar Lia, Rabu (13/8), dalam diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia MPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan.
Perempuan yang akrab disapa Ning Lia itu mengutip inspirasi dari RA Kartini. Menurutnya, perjuangan Kartini di bidang pendidikan perempuan bukan untuk dinikmati pada zamannya sendiri, melainkan untuk generasi 10, 20, bahkan 30 tahun kemudian. “Itu yang saya tangkap, bagaimana ketika kita memiliki posisi sebagai keterwakilan rakyat, kita memahami hakikat demokrasi dan nilai musyawarah dalam Pancasila,” jelasnya.
Lia juga menyoroti dinamika isu publik yang kerap memunculkan pro dan kontra, termasuk pada kebijakan Presiden Prabowo Subianto. Ia mengaitkannya dengan teori siklus disintegrasi bangsa dari pemikir Islam, Ibnu Khaldun, yang mengingatkan bahwa ketimpangan dan rasa termarjinalkan, jika tidak dikelola, dapat memicu krisis kepercayaan di tengah masyarakat maupun terhadap pemerintah.
Mengenai wacana MPR kembali menjadi lembaga tertinggi negara, Lia menyebut respons publik beragam. Namun, ia meyakini wacana itu bukan bentuk ambisi politik, melainkan upaya menjaga keberlangsungan bangsa sesuai sejarah konstitusi nasional.
“Perubahan konstitusi bisa terjadi karena konsensus rakyat maupun mekanisme formal. Tantangannya adalah memberi edukasi publik agar memahami pentingnya kesepakatan bersama,” kata senator yang juga dikenal sebagai novelis Berkisah Tentang Hati tersebut.
Lia turut menekankan pentingnya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai panduan pembangunan jangka panjang. Ia menilai generasi muda perlu memahami istilah dan konsep politik agar merasa memiliki peran dalam proses demokrasi. Karena itu, Lia mendorong revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 guna memperkuat ketetapan MPR, yang menurutnya memiliki nilai eksternal lebih tinggi dibanding sekadar peraturan atau keputusan MPR.
Di penghujung pernyataannya, Lia mengajak generasi muda melihat proses politik secara utuh, termasuk penerapan otonomi daerah yang berkeadilan antara pusat dan daerah.
“Jangan sampai keadilan hanya dirasakan di satu sisi, tapi di mata publik justru terlihat timpang. Generasi muda harus merasa menjadi bagian penting dalam kajian dan praktik demokrasi,” tutupnya.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin