PEKANBARU, RadarBangsa.co.id — Presiden Jokowi segera merealisasikan komitmennya melestarikan budaya dan adat melayu Riau saat pidato penganugerahaan gelar adat Datuk Seri Setia Amanah Negara yang diberikan oleh Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau pada Desember 2018.
Setia Amanah Negeri bermakna pemimpin puncak yang mengemban amanah untuk melindungi, mengayomi, dan menyejahterakan masyarakat.
“Saat saya pertama membaca arti dari gelar adat ini saya teringat pada saat saya dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia.
Bagian dari sumpah seorang Presiden Republik Indonesia adalah
berbakti kepada Nusa dan bangsa,” kata Presiden Jokowi.
“Setiap Presiden Republik Indonesia sudah diberikan amanah untuk menjaga dan memenuhi cita-cita kemerdekaan Indonesia yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta dibebankan pula amanah untuk melestarikan budaya Indonesia.”
“Paska Jokowi mendapat gelar adat korporasi justru gencar mengkriminalisasi masyarakat adat, menebang kepungan sialang, merampas hutan tanah masyarakat adat juga merusak dan mencemarkan sungai yang bersebati dengan masyarakat adat, termasuk lambannya kebijakan pemerintah pusat dan daerah mempercepat RUU Masyarakat Adat dan Perda tentang pengukuhan masyarakat adat,” kata Made Ali Koordinator Jikalahari.
Sepanjang 2018-2021, masyarakat adat di Riau terus dikriminalisasi oleh korporasi HTI.APP grup (Sinarmas Grup) melalui anak usahanya PT Arara Abadi mengkriminalkan masyarakat adat Sakai Bongku bin Jelodan.
Bongku dipenjara 1 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah karena dilaporkan PT Aara Abadi ke polisi. Bongku dituduh menebang 20 batang eukaliptus dan menanam ubi di tanah yang diklaim oleh PT Arara Abadi berada di konsesinya.
Anehnya, PT Arara Abadi mengatakan tidak ada wilayah adat Sakai di Bengkalis. Lalu pada 27 April 2021, sekitar 200-an sekuriti PT Arara Abadi mendatangi peladangan masyarakat adat Suku Sakai
yang terletak di Dusun Suluk Bongkal untuk merobohkan pondok dan mencabut tanaman yang telah di tanam masyarakat Suku Sakai. Sekuriti PT Arara Abadi tiba-tiba melakukan tindak kekerasan di
Wilayah Adat Sakai di Bengkalis hingga mengakibatkan 7 orang Masyarakat Adat sakit terluka.
Di Pelalawan Asia Pulp and Paper (Sinarmas Grup) melalui anak usahanya, pada Desember 2020, PT Arara Abadi Distrik Nilo, menumbang 23 pohon sialang di Kepungan Sialang Ampaian Todung milik
Bathin Hitam Sungai Medang.
Hasil investigasi Jikalahari bersama Datuk Batin dari Lembaga Adat
Melayu Riau Kabupaten Pelalawan melihat langsung Kepungan Sialang Ampaian Todung yang telah ditumbang oleh PT Arara Abadi seluas 2 ha.
Dari informasi Batin, dalam Kepungan Sialang ini terdapat 27 batang pohon sialang yang berumur ratusan tahun (jenis kayu Kompe , Kulim, Keriung) yang menjadi tempat lebah bersarang, namun sekarang hanya tersisa 4 batang pohon sialang. Padahal itu menjadi sumber ekonomi masyarakat adat berupa madu yang berasal dari lebah yang hidup khusus di pohon sialang.
April Grup (Royan Golden Eagle Grup), melalui anak usahanya PT Asia Pacific Rayon, belum memiliki AMDAL sudah beroperasi di dalam komplek PT RAPP di Pelalawan, membuang limbah yang berdampak pada masyarakat adat di Pelalawan.
Saat musim hujan maupun musim kemarau bau menyengat mempengaruhi pernapasan warga. Juga PT Nusantara Wana Raya yang terlibat mengusir masyarakat adat gondai dari wilayah adat mereka.
Wilayah kerja APP dan APRIL yang menguasai 2,1 juta hektar kawasan hutan adalah wilayah adat di Riau seperti Suku Sakai, Suku Bonai, Suku Talang Mamak, Suku Petalangan, Suku Akit, Suku Anak Rawa, Pesisir, Suku Laut dan Suku Hutan.
Bukan saja korporasi swasta, korporasi milik negara PTPN V juga mengkriminalisasi Masyarakat Adat Desa Pantai Raja di Kampar.
PTPN V melalui Direktur PTPN V, Jatmiko K Santosa juga melayangkan
gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Bangkinang dan melaporkan masyarakat ke Direskrimsus Polda Riau setelah ratusan warga Pantai Raja menduduki areal afdeling 1 Kebun Sei Pagar, selama hampir satu bulan dengan mendirikan tenda, menutup akses mobil tangki minyak mentah untuk menuju pabrik dan menghalangi aktivitas kebun lainnya pada Agustus 2020.
Kehadiran kembali ke Riau pada 19 Mei 2021,”juga menunaikan janjinya melestarikan budaya melayu dan masyarakat adat yang itu juga berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat adat,” kata Made Ali.
(MD)