Oleh : Andik Setiawan
Masih hangat di telinga kita bahwa, tragedi penembakan Laskar FPI yang dilakukan dalam operasi senyap aparat kepolisian menewaskan 6 orang Laskar. Kejadian ini menimbulkan tanda tanya besar bagi banyak kalangan.
Termasuk tokoh-tokoh politik, Ormas Islam seperti Muhammadiyah, pakar hukum dan beberapa tokoh lain di Republik ini. Tragedi ini tentu menjadi sorotan oleh banyak pihak, dimana banyak yang kemudian memberikan pendapat bahwa, tragedi ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Negara. Dalam hal ini instrumen Negara yang digunakan adalah aparat kepolisian.
Pernyataan terbuka dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol M. Fadil Imran disampaikan bahwa, benar penembakan atas 6 orang laskar FPI dilakukan oleh aparat kepolisian.
Inilah yang kemudian menjadi polemik bahwa, Negara terkesan sangat resisten kepada kelompok yang vokal mengkritisi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.
Lemahnya penegakkan HAM di Indonesia
Tragedi km 50 menjadi pemantik untuk mengingatkan kita atas tahun tahun kelam pengakkan HAM di Indonesia. Belum jauh misalkan jumlah kematian petugas pemilu serentak tahun 2019 yang jumlah kematian penyelenggara pemilu lebih dari 700 orang, kasus Siyono, tewasnya aktivis HAM Munir Said Thalib dan pelanggaran HAM yang lain.
Dimana kejadian demi kejadian tersebut sampai hari ini tidak mendapatkan titik terang, ujungnya adalah seringkali ini dibiarkan berlalu tanpa ada tindakan lebih lanjut.
Sehingga, harapan atas penegakkan HAM di Indonesia kian hari kian menjadi pudar. Tentu bukan tanpa alasan bahwa, publik menjadi sangat marah atas kejadian tersebut.
Banyak pakar hukum yang menyayangkan tragedi penembakan ini terjadi. Terlebih penembakan atas Laskar terjadi dini hari menjelang Shubuh dan dilakukan di jalan tol.
Tentu menjadi pertanyaan oleh banyak kalangan, dimana ini jelas sangat bertentangan daripada tujuan bernegara sendiri yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dahulu kala, ketika awal-awal Negara dibentuk, hanya untuk tujuan menjaga keamanan dan keselamatan warga negaranya, maka isu HAM pun digunakan untuk melindungi Hak-hak Asasi manusia berdasarkan Hukum Alam (Natural Law), yaitu Hak Kehidupan (Life) kemudian berkembang pada Hak Kebebasan (Liberty) dan Hak Mendapatkan Kebahagiaan (Pursuit of Happiness) atau yang dimaterikan menjadi Hak Kepemilikan (Property).
Pemikiran-pemikiran Filsuf Yunani hingga Thomas Aquinas sampai pada John Locke dan tokoh-tokoh pemikir kenegaraan terkemuka lain-lainnya mewarnai Eropa Barat yang awalnya sangat mengagungkan ajaran “Laissez Faire” (Negara tidak perlu ikut campur urusan pribadi warga negaranya).
Pada era ini, terjadi pemisahan yang tegas antara “rakyat sipil” (civil society) dan “Negara” (state), dimana HAM pada saat itu merupakan Hak Sipil / Hak Politik warga Negara yang harus dijaga oleh Negara dan tidak boleh diintervensi apalagi dirampas oleh negara.
Oleh karenanya, penembakan atas 6 orang laskar FPI sendiri tentu menjadi bertentangan dengan Declaration of Human Right yang telah di ratifikasi oleh negara negara Demokrasi yang menjunjung tinggi HAM termasuk Indonesia.
Kemerosotan Demokrasi
Indonesia sebagai negara peganut sistem demokrasi tentu harus menghormati prinsip-prinsip dari demokrasi itu sendiri dengan mengakui keberagaman, kebebasan individu dan masyarakat, kebebasan berpendapat dan berserikat.
Dimana hal ini juga telah dituangkan dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat 3, yang memiliki arti bahwa Negara tidak boleh melanggar atas apa yang telah diperbolehkan di dalam konstitusi itu sendiri.
Sepanjang tahun 2019 dan 2020 menjadi tahun-tahun politik yang kian memanas. Pasca pilpres 2019 kemudian memunculkan oposisi bagi pemerintahan yang berlangsung.
Dimana dalam sistem demokrasi oposisi menjadi satu konsekuensi yang harus diterima sebagai bagian dari demokrasi. Tentu oposisi yang konstruktif dalam memberikan kritik dan masukan terhadap pemerintah.
Sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua ini, telah terjadi beberapa aksi demontrasi sebagai perwujudan penyampaian pendapat di muka publik yang dilakukan oleh berbagai macam elemen baik oleh aktivis mahasiswa, buruh, LSM dan aktivis HAM yang menyoroti banyak kebijakan pemerintah yang dirasa tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Demontrasi telah menjadi bagian penting dalam perjalanan bangsa kita sebagai negara yang menganut sistem demokrasi. Tidak terkecuali di Indonesia beberapa negara luar juga banyak terjadi demonstrasi termasuk di Hongkong misalnya. Menjelang akhir tahun 2019 sampai 2020, demontrasi dilakukan besar-besaran di Hongkong hingga menutup sekolah dan kampus.
Berawal dari Inggris yang mengembalikan pengelolaan Hongkong ke Pemerintah China pada tanggal 1 Juli 1997 berdasarkan Deklarasi Bersama China-Inggris 1984 dan diperluas lagi dalam Hukum Dasar yang berfungsi sebagai konstitusi Hongkong.
Dokumen-dokumen ini menguraikan apa yang kemudian dikenal sebagai kerangka kerja “satu negara, dua sistem”. Semua istilah yang tercantum dalam Deklarasi Bersama dan Hukum Dasar tetap tidak berubah selama 50 tahun, artinya hingga 1 Juli 2047 tidak akan ada perubahan.
Pasal 5 Hukum Dasar Hongkong menyatakan, “Sistem sosialis dan kebijakan tidak akan dipraktikkan di Wilayah Administratif Khusus Hongkong, dan sistem kapitalis sebelumnya serta cara hidup tidak akan berubah selama 50 tahun”.
Faktanya, dalam satu dekade terakhir, masyarakat Hongkong merasakan penurunan kondisi demokrasi dan hak asasi manusia berbarengan dengan meningkatnya campur tangan pemerintah China dalam urusan lokal.
Berbagai insiden yang mencerminkan kemunduran demokrasi muncul di Hongkong seperti kegagalan polisi melindungi para demonstran prodemokrasi, memenjarakan para pemimpin gerakan demonstrasi, pengusiran anggota legislatif yang menentang keputusan pemerintah China untuk mengevaluasi kembali pengaturan pengambilan sumpah untuk anggota parlemen, penahanan oleh otoritas China terhadap penduduk Hongkong dan diangkut ke China, interpretasi oleh pemerintah China terhadap Hukum Dasar tentang pengadilan Hongkong dan serangan terhadap media, jurnalis dan pemilik media yang kritis terhadap China.
Masyarakat Hongkong akhirnya menjadi sangat vokal terhadap memburuknya kondisi demokrasi dan ketidakadilan. Langkah mundur terbesar bagi demokrasi di Hongkong adalah RUU Ekstradisi yang mengizinkan pemerintah Hongkong melakukan ekstradisi ke setiap yurisdiksi yang sebelumnya tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hongkong, termasuk China.
Demonstran menuntut untuk memilih Ketua Eksekutif dan Anggota Dewan Legislatif secara demokratis dan adil untuk memastikan bahwa struktur politik Hongkong telah mencerminkan kepentingan semua kelas di masyarakat, bukan hanya kelas yang memiliki hak istimewa.
Kembali pada kasus demontrasi yang terjadi di Indonesia. Banyak para aktifis ditahan dan kemudian menjadi tersangka, banyak demonstran yang luka luka bentrok dengan aparat, dan pelanggaran lain yang dilakukan oleh aparat yang justru bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi itu sendiri.
Sehingga salah satu indikator dari Negara demokrasi adalah ada penjaminan perlindungan atas penyampaian pendapat yang dilakukan oleh masyarakat. Pada akhirnya hanya menjadi slogan dan jargon semata. Inilah yang kemudian menjadi kemerosotan daripada demokrasi di Indonesia.
Dalam penerapan demokrasi konstitusional dimana pemerintah dianggap demoktaris ketika pemerintah yang terbatas kekuasaanya tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.
Kekuasaan negara dibagi sedimikian rupa, hal tersebut dilakukan sebagai upaya agar penyalahgunaan diperkecil, yaitu dengan cara tidak memusatkan pada satu pemerintahan atau satu badan saja.
Perumusan yuridis dan prinsip-prinsip ini terkenal dengan istilah Negara Hukum (Rechtsstaat) dan Rule of Law. Dengan demikian negara sebagai institusi politik tertinggi haruslah menjadi naungan dari demokratisasi yang baik untuk dijalankan tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar dari Hak Asasi Manusia.
Sistem Presidensial yang dianut oleh Indonesia memberikan konsekuensi terhadap Presiden Sebagai mandat Rakyat baik sebagai kepala Negara maupun kepala Pemerintahan harus mampu menjalankan kedua fungsi dengan seadil-adilnya.
Artinya bahwa, Presiden sebagai simbol sekaligus sentral dari berjalannya pemerintahan dan sistem kenegaraan yang baik harus mampu menunjukkan posisi yang ada di tengah tidak boleh berat sebelah. Hukum harus diletakkan secara adil sebagai perwujudan dari Demokrasi Konstitusional tidak tebang pilih dan pilih kasih.
“Penulis adalah Mahasiswa Mata Kuliah Perbandingan Politik Pascasarjana Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia.