SIDOARJO, RadarBangsa.co.id – Maraknya kasus perundungan di satuan pendidikan menunjukkan bahwa pemahaman tentang gender responsif dan pencegahan kekerasan di sekolah masih perlu ditingkatkan. Banyak guru yang merasa takut menegur siswa yang melakukan perundungan karena khawatir dengan ancaman pidana akibat laporan orangtua terkait tindakan guru. Fenomena ini menunjukkan adanya kekosongan pemahaman tentang pentingnya penanganan yang tepat terhadap kasus perundungan dan kekerasan berbasis gender.
Komisi Perlindungan Anak (KPAI) merilis data yang mengkhawatirkan, yakni sekitar 3.800 kasus perundungan di Indonesia sepanjang tahun 2023. Angka ini mengalami lonjakan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, dengan 226 kasus di 2022, 53 kasus di 2021, dan 119 kasus di 2020. Ironisnya, kasus perundungan terus meningkat dari tahun ke tahun, menunjukkan bahwa penanggulangan masalah ini masih sangat dibutuhkan.
Menanggapi permasalahan tersebut, Ketua Pusat Studi Gender, Perempuan, dan Perlindungan Anak (PSGPA) Kemil Wachidah, yang juga menjabat sebagai Kaprodi PGSD Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), menekankan pentingnya membekali mahasiswa calon guru dengan pemahaman gender responsif sebagai upaya pencegahan terhadap perundungan. Hal ini menjadi fokus dalam Kuliah Umum Pembelajaran Gender Responsif yang diselenggarakan oleh Prodi PGSD Universitas Muhammadiyah Sidoarjo bekerja sama dengan Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) pada 2 Desember 2024, bertempat di Hall Nyai Walidah Kampus 3.
Kuliah umum ini diikuti oleh 520 mahasiswa dan masyarakat umum, baik secara daring maupun luring. Dalam acara yang dipandu oleh Kemil Wachidah, hadir tiga narasumber utama, yakni Indra Budi Setiawan, Penanggungjawab Kekerasan Seksual Tim Pencegahan Kekerasan Seksual Puspeka Kemendikbudristek; Nurokhmah Fitrani, Kepala SDN Karangtanjung Sidoarjo; dan Joan Wicitra, Gender and Child Protection Lead INOVASI. Kuliah umum ini berbentuk talkshow yang bertujuan untuk membuka wawasan mahasiswa calon guru mengenai konsep gender responsif di lingkungan pendidikan.
Indra Budi Setiawan dalam paparannya menjelaskan berbagai jenis kekerasan yang kerap terjadi di satuan pendidikan, terutama kekerasan berbasis gender, termasuk perundungan. Ia menegaskan bahwa tren kekerasan di lingkungan pendidikan menunjukkan peningkatan yang signifikan. Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 yang mengatur tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Peraturan ini diharapkan dapat menjadi payung hukum yang jelas untuk menangani dan mencegah kekerasan seksual, perundungan, serta diskriminasi dan intoleransi di sekolah.
Nurokhmah Fitrani juga menambahkan bahwa penerapan gender responsif di satuan pendidikan tidaklah mudah. Banyak siswa, orangtua, dan bahkan tenaga pendidik yang menganggap isu gender tidak penting. Namun, di SDN Karangtanjung, di mana Nurokhmah mengajar, ia berupaya untuk memperkenalkan konsep gender dengan cara yang lebih mudah dipahami, salah satunya melalui media pembelajaran yang menarik. “Saat saya mengajarkan materi pubertas, saya menggunakan media wayang untuk menjelaskan proses menstruasi. Hal ini bertujuan agar materi lebih mudah dipahami oleh seluruh siswa, baik laki-laki maupun perempuan,” ujar Nurokhmah.
Joan Wicitra, sebagai narasumber dari INOVASI, turut menyoroti berbagai bentuk kekerasan berbasis gender yang sering dianggap biasa dan dibiarkan begitu saja, seperti meremehkan perempuan sebagai pemimpin. Ia mengingatkan bahwa meremehkan perempuan dengan anggapan bahwa mereka tidak tegas atau tidak memiliki jiwa kepemimpinan adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang perlu dihindari. Joan juga menjelaskan bahwa kuliah umum ini dilaksanakan bertepatan dengan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang berlangsung dari 25 November hingga 10 Desember. Kampanye ini bertujuan untuk menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
“Melalui kuliah umum ini, kami berharap mahasiswa calon guru dapat lebih memahami bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender dan dapat mencegah kekerasan tersebut, baik di lingkungan kampus maupun di satuan pendidikan mereka nanti,” tegas Joan.
Pentingnya pemahaman tentang gender responsif dan pencegahan perundungan semakin disadari sebagai langkah krusial untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan. Diharapkan dengan adanya kuliah umum ini, mahasiswa calon guru dapat membawa pemahaman ini ke dalam kelas dan menerapkannya saat mereka menjadi pengajar di masa depan, menciptakan generasi yang lebih peduli terhadap isu-isu gender dan kekerasan, serta mampu menciptakan perubahan positif dalam dunia pendidikan.
Kegiatan kuliah umum ini juga dapat diikuti secara daring melalui laman YouTube Umsida1912 : https://www.youtube.com/live/_loOj1vBXck?si=mnlM05xmF_afWVC3 dan laman Youtube INOVASI : https://www.youtube.com/live/NrrFs2cW8dY?si=0XwhxdqAfm-zt0nz.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin