Oleh : Mayjend TNI (Purn) Saurip Kadi
Secara universal, agama apapun mengajarkan hakikat kehidupan manusia adalah untuk mencapai tiga keutamaan hidup atau “Tri-Brata” yaitu mencari “kesenangan diri, kekuasaan dan makna hidup”.
Dan karenanya maka diperlukan aturan main yang dapat menjaga keseimbangan sosial agar dalam mencapai kesenangan diri tidak boleh menyusahkan orang lain, dalam menjalankan kekuasaan tidak menindas orang lain dan dalam mewujudkan makna hidup dalam arti berketuhanan tidak mengklaim benar sendiri dan apalagi menyalahkan keyakinan orang lain.
Stempel Pancasila.
Dalam kaitan NKRI sebagai wadah bersama, keberadaan Pancasila sebagai kesepakatan luhur sekaligus sebagai tujuan dan cita-cita bersama serta dasar negara, justru menjadi kekuatan yang mampu mengintegrasikan, merekatkan dan menyatukan bangsa yang begitu majemuk.
Memang dari realitas yang tergelar saat ini, ternyata diusia NKRI yang menjelang 75 tahun, sebagai bangsa kita belum mampu membangun pranata sosial yang mampu menjamin segenap anak bangsa bisa menjalankan “Tri-Brata” kehidupan tersebut diatas, secara merdeka.
Bangsa yang begitu majemuk dalam prakteknya berulang kali terlibat kasus tirani mayoritas maupun minoritas yang berlatar belakang SARA.
Adalah fakta tak terbantahkan kalau di negeri ini, kalau sekedar mendirikan dan atau renovasi rumah ibadah disebuah kota kecil saja bisa berubah menjadi persoalan yang begitu pelik untuk diselesaikan.
Lebih aneh lagi, sebagai negara dilimpahi berkah Tuhan Yang Maha Esa berupa sumber daya yang melimpah ruah, ternyata rakyatnya dalam jumlah yang cukup besar dililit kemiskinan.
Mereka miskin bukan karena pemalas, tapi karena negara salah kelola. Dan bicara tata kelola negara, sudah barang tentu sangat ditentukan oleh faktor yuridis formal yang berlaku.
Sementara itu, Pancasila sendiri dalam kedudukannya sebagai ideology belumlah sempurna, karena ia baru sebatas nilai-nilai luhur yang sifatnya filsafati atau intriksik.
Dan dalam prakteknya sejak berdirinya NKRI hingga kini, Pancasila belum pernah dijabarkan secara utuh dan menyeluruh menjadi nilai-nilai oprasional yang tertuang dalam pasal-pasal batang tubuh UUD kita.
Disanalah maka dalam praktek yang dilaksanakan selama ini, elit bangsa ini tidak sedikit yang begitu saja mengambil “tool” dari paham lain tanpa disesuaikan dengan budaya bangsa terlebih dahulu, dan sebagian lagi baru sebatas gagasan elit tanpa pernah diuji validitas kebenarannya baik secara keilmuan maupun dalam praktek, dan kemudian distempel Pancasila.
Manifestasi Pancasila.
Karena realita dalam kehidupan bernegara “The Show Must Go On”, maka belum siapnya aturan main yang benar-benar didasarkan Pancasila sesungguhnya bisa diatasi, yaitu manakala perilaku bangsa terlebih elitnya mengedepankan logika atau akal sehat, etika dan estetika.
Bangsa ini terus dilanda turbulensi elit akibat belenggu realitas masa lalu yang begitu besar, maka menjadi sangat rasional kalau pada periode pertama Presiden Jokowi mengutamakan “Program Pro Rakyat” dan infra struktur yang merata seluruh wilayah Indonesia. Dan dalam periode yang keduanya menempatkan peningkatan kwalitas Sumber Daya Manusia sebagai prioritas.
Begitu pula tentang norma etika, semestinya harus dijunjung tinggi terlebih oleh elit bangsa ini, khususnya terhadap hal-hal yang belum diatur dalam perundang-undangan.
Yang terjadi sebaliknya, sebagian elit negeri ini malah memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Pengabaian terhadap persoalan etika, telah mengantar bangsa ini terjebak praktek oligharki kekuasaan oleh pemegang capital dan Pengurus Partai.
Disanalah pentingnya “political will” dan “keberanian” Presiden Jokowi dalam menyilahkan lembaga penegak hukum untuk membongkar praktek Mafia dan Mega Korupsi, tidak pandang termasuk terhadap anggota kebinetnya sendiri. Hal yang sama juga masalah estetika, terlebih terhadap perbuatan yang merusak legitimasi dan citra lembaga pemerintahan negara.
Padahal sesungguhnya tanpa harus perang dengan siapapun, sepanjang bangsa ini mengedepankan manajemen yang berbasis pada IT dalam arti utuh dan menyeluruh, persoalan bobroknya moral birokrasi yang ditandai dengan masivenya praktek mafia, mega korupsi berjamaah dan apalagi persoalan Pungli serta sejenisnya, otomatis bisa diakhiri.
Agenda Yang Disarankan.
Berangkat dari fakta dimana Bung Karno maupun Pak Harto sewaktu berkuasa begitu gencar melakukan sosialisasi Pancasila, namun diujung kekuasaannya negeri ini dilanda krisis nasional yang begitu dasyat yang membuat dirinya “lengser keprabon” dan rakyat pun harus membayar biaya politik yang sangat mahal.
Maka, bicara tentang Pancasila kedepan yang utama sama sekali bukanlah persoalan sosialisasi nilai-nilai Pancasila kepada masyarakat luas.
Akan tetapi bagaimana Pemerintah segera membangun harapan dan kepercayaan rakyat dengan membuat terobosan untuk mengawal program-program mulia yang telah dijadikan kontrak sosial dalam Pemilu oleh Presiden Jokowi.
Dan karena realitanya dilapangan banyak praktek yang menyimpang jauh dari niat dan tujuan dari kebijakan termaksud, maka perlu pengawalan khusus dengan membentuk “task force” sekalipun.
Disamping itu bangsa ini perlu menempuh kebijakan “retooling aparatur negara” sebagai program prioritas untuk melakukan perubahan mendasar mulai dari jiwa, semangat, orientasi, struktur dan manajemen segenap kelembagaan pemerintahan negara tak terkecuali pada jajaran lembaga peradilan.
Dengan demikian, tanpa kebijakan “potong generasi” bangsa ini niscaya akan bisa menyudahi penyakit birokrasi warisan masa lalu.
Dan agar bangsa ini kedepan segera mempunyai “tool” yang didasarkan dan dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dalam arti yang sebenar-benarnya, maka agenda Amandemen UUD-1945 ke 5 untuk penjabaran nilai-nilai luhur Pancasila kedalam pasal-pasal UUD menjadi sangat “urgent”.
Dengan demikian, kita segera mempunyai UUD yang lebih sempurna sebagaimana yang diamanatkan Bung Karno yang disampaikan pada Pidato Pengesahan UUD-1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, didepan Sidang PPKI.
*Penulis adalah Purnawirawan TNI AD dengan pangkat terakhirnya Mayor Jenderal, Alumni Akademi Militer tahun 1973 – seangkatan dengan Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan Mantan Pangkostrad Agus Wirahadikusumah.