Oleh : Fahris Badar
Dampak global pandemi Covid-19 menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah ini salah satu momen bersejarah ketika dunia berubah secara permanen.
Ketika keseimbangan kekuatan politik dan ekonomi bergeser dengan tegas, dan ketika bagi kebanyakan orang di sebagian besar negara kehidupan tidak akan kembali sama?
Sederhananya, apakah ini akhir dari dunia seperti yang kita ketahui? Dapatkah krisis kesehatan kali ini menandai awal yang baru?
Momen global yang sangat penting dan menentukan sebenarnya cukup langka. Namun, karena kita tidak mungkin kembali ke era pra pandemi Covid-19, ada banyak pertanyaan yang mengganggu tentang sifat perubahan yang akan terjadi dan apakah dunia akan menjadi lebih baik atau lebih buruk
Bagi individu dan keluarga yang tak terhitung jumlahnya, kehidupan normal telah berubah drastis dengan cara yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Namun, bagaimana pandemi akan memengaruhi perilaku masa depan negara bangsa, pemerintah, para pemimpin, serta hubungan satu sama lain yang seringkali tidak berfungsi? Akankah mereka bekerja bersama lebih erat atau akankah trauma kolektif ini semakin memecah belah mereka?
Pandemi virus corona (Covid-19) membuktikan bagaimana peran media dan kekuasaan bekerja di semua lapisan masyarakat. Propaganda bahaya virus itu masuk ke dalam relung paling privat kemanusiaan kita.
Ancaman kematian yang bisa merenggut siapa saja, masyarakat awam hingga ke lapisan paling bawah di dalam lingkungan pekerja (PNS, petani, suwasta dll), yang larut dalam propaganda Covid-19.
Sementara sejumlah media mainstream telah mengingatkan akan bahaya Covid-19, melalui pemberitaannya dari sejumlah negara yang sudah terjangkit virus ini. Media bahkan turut andil besar dalam menciptakan kondisi psikologis publik menjadi larut dalam ketakutan akan penyebaran virus.
Dampaknya, ribuan pasien yang di rumah sakit yang dinyatakan meninggal akibat Covid-19, tetapi ketika akan dimakamkan mendapat penolakan sebagian warga.
Ketakutan warga yang terus menerus tersebut menimbulkan ketakuan yang begitu mencemaskan ke tingkat paranoid atau suatu kondisi kejiwaan, yang diyakini bahwa orang lain, dapat membahayakan dirinya akhirnya terbukti dan terjadi di beberapa wilayah kita.
Media massa dalam dunia politik selalu berkaitan erat dengan upaya hegemoni penguasa. Sedangkan fungsi media massa sebagai alat pengontrol untuk mengawasi penguasa (pengritik) di masa sebelumnya, kini bergeser menjadi alat menyebarluaskan kekuasaan yang kemudian dapat diterima secara luas oleh masyarakat.
Media massa memengaruhi cara kita bertindak dan menciptakan model terbaik atau ideal di tengah masyarakat. Namun implementasi civil society pada satu pihak adalah dijauhkannya kekuasaan negara bersifat dominasi dan hegemoni dari ruang publik, sehingga pada pihak lain institusi sosial yang berada di ruang publik dapat menghadirkan dirinya secara otonom.
Sebaliknya, pemerintah juga juga tidak akan mampu bertahan dengan politik proktektif sedemikian rupa mengenai jumlah data korban semakin hari semakin bertambah.
Hingga akhirnya perkembangan mengenai data jumlah korban, makin terbuka dan diketahui publik secara luas. Meskipun resikonya tentu besar bagi penguasa.
Sebab, dengan semakin banyak jumlah korban jatuh tiap harinya, kredibilitas pemerintah dalam menangani kasus Covid-19 dipertanyakan banyak pihak.
Dalam situasi dan kondisi dimana Media tidak lagi sepenuhnya berfungsi sebagai instrument desseminasi informasi, hiburan, pendidikan dan kontrol sosial yang hakiki, melainkan juga sebagai sarana bisnis dan instrument politik para pihak yang berkepentingan.
Tidak mustahil Covid-19 ini juga dimanfaatkan untuk membangun opini publik yang bermuara untuk kepentingan bisnis, kelompok serta kepentingan kekuasaan tertentu.
Penulis adalah Wakil Ketua Formapas Malut Jabodetabek