Pencalonan Denny JA untuk Nobel Sastra, Kisah Van Gogh dan 4 Babak Kontroversi Puisi Esai

- Redaksi

Jumat, 28 Januari 2022

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh : Yohanes Sehandi

Semasa hidupnya, Denny JA lebih beruntung dibandingkan pelukis legendaris Van Gogh. Inilah yang saya ingat ketika merenungkan empat momen kontroversi puisi esai dalam sastra Indonesia.

Kontroversi yang terakhir soal nominasi nobel sastra Denny JA.

Menjelang akhir tahun 2021 publik sastra Indonesia dihebohkan dengan berita besar pencalonan Denny JA untuk menerima hadiah Nobel Sastra tahun 2022.

Berita besar itu dipicu oleh Panitia Nobel, The Swedish Academy, yang mengundang komunitas puisi esai untuk mencalonkan sastrawan Indonesia mengikuti kompetesi merebut Nobel Sastra untuk tahun 2022.

Komunitas puisi esai mengirim nama Denny JA, penggagas dan pendekar puisi esai, sebagai kandidat.

Sebelumnya, sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer (1925-2006), pernah dicalonkan untuk menerima Nobel Sastra sekitar tahun 2004/2005, namun gagal.

Berita besar pencalonan Denny JA menerima Nobel Sastra menimbulkan kontroversi di dalam negeri Indonesia, khususnya kalangan publik sastra.

Ada yang mendukung, ada pula yang menentang. Bagi Denny JA, perihal pro-kontra adalah santapan hariannya. Berbagai berita dan opini sejak akhir 2021 sampai dengan awal 2022 ini terus bermunculan dan mewarnai berbagai media cetak dan media sosial Indonesia.

Apakah nanti Denny JA benar-benar menerima atau gagal menerima hadiah bergengsi itu, kita tidak tahu. Namun pada tahap awal pencalonannya saja sudah menimbulkan kehebohan.

Kehebohan ini bisa dianggap sebagai kekuatan Denny JA, bisa pula sebagai kelemahan. Semuanya bergantung pada Panitia Nobel.

Pencalonan Denny JA untuk Nobel Sastra tahun 2022 tentu saja tidak lepas dari puisi esai, yang digagas dan dipeloporinya. Merek dagang Denny JA dalam dunia sastra, tidak lain dan tidak bukan, adalah puisi esai.

Dalam perkembangannya, puisi esai Denny JA ini diklaim sebagai genre baru dalam sastra Indonesia. Dalam kenyataannya, yang kontroversi, tidak hanya puisi esai, tetapi juga Denny JA sebagai penggagas dan pendekarnya.

Dalam catatan saya, kontroversi puisi esai Denny JA, sudah memasuki Babak Keempat pada tahun 2021, pada saat pencalonan Denny JA menerima hadiah Nobel Sastra.

Sebelum membahas empat babak kontroversi puisi esai, saya ingin menguraikan kisah Van Gogh dalam dunia seni lukis.

Van Gogh adalah seniman besar yang karyanya ditolak oleh sesama seniman dan kolektor di zamannya. Bayangkan saja. Semasa hidupnya, ia menghasilkan lebih dari 800 lukisan. Namun hanya satu lukisannya yang laku dibeli orang lain semasa hidupnya.

Sebagaimana Denny JA, Van Gogh juga membawa aliran baru bagi dunianya saat itu. Sebagaimana Denny JA, gaya baru lukisan Van Gogh, juga personalitasnya dilecehkan, diremehkan, dan dihujat oleh banyak lingkungannya semasa hidup.

Van Gogh frustasi. Ia memotong kupingnya. Ia bunuh diri. Tapi kini gaya lukisannya dan lukisannya sendiri dianggap sebagai salah satu puncuk seni rupa.

Vincent Willem Van Gogh lahir di tanggal 30 Maret 1853 – 29 Juli 1890. Ia adalah seorang pelukis Pasca-Impresionis Belanda yang secara anumerta menjadi salah satu tokoh paling terkenal dan berpengaruh di sejarah seni Barat.

Dalam satu dekade, ia menciptakan sekitar 2.100 karya seni, termasuk sekitar 860 lukisan cat minyak, yang sebagian besar berasal dari dua tahun terakhir hidupnya.

Satu-satunya lukisan yang umumnya dianggap telah dijual di masa hidupnya adalah Kebun Anggur Merah di Arles (The Vigne Rouge). Lukisan ini sekarang tersimpan di Museum Seni Rupa Pushkin di Moskow.

Tapi kini, pada tahun 1990 “Potret Dr. Gachet” miliknya terjual dengan harga rekor dunia $82 juta. Jika dinilai dengan rupiah, harga lukisan Dr. Gachet ini sekitar 1,2 triliun rupiah.

Hal pertama yang harus dikatakan tentang berbagai karya Van Gogh bahwa, ia membawa gaya seni yang revolusioner. Ia menciptakan jenis seni baru.

Ia menyatukan kumpulan objek, yang dilukis dengan sapuan kuas berapi-api dalam warna-warna bercahaya tinggi. Lukisannya mengekspos tonjolan impasto tebal di beberapa tempat dan suasana kosong di tempat lain. Ini dapat mengungkapkan keadaan jiwa seseorang benar-benar baru.

Van Gogh adalah pencetusnya. Proses kreatifnya bermula ketika ia pindah ke Arles pada Februari 1888.

Van Gogh menemukan jenis seni baru yang kemudian disebut ekspresionisme. Namun, ia ditolak hebat di masa hidupnya. Semua itu membuat Van Gogh di masa hidupnya sempat masuk rumah sakit jiwa.

Denny JA lebih beruntung dibandingkan Van Gogh. Walau kehadirannya di dunia sastra ditentang hebat, bahkan dilecehkan, namun semasa hidupnya, inovasi puisi esai Denny JA diakui oleh sastrawan lain dan mendapatkan penghargaan dari dalam dan luar negeri.

Personalitas Denny JA juga sangat kokoh. Jika hati Van Gogh ciut dan merana, Denny JA justru menikmati kontroversi itu. Ia acap mengatakan, hatinya ada di puncak gunung. Ia tak terganggu dengan keriuhan suasana pasar di lereng gunung.

Di bawah ini, empat babak kontroversi puisi esai.

Babak Pertama terjadi pada tahun 2012, pada waktu peluncuran buku puisi esai pertama karya Denny JA yang berjudul Atas Nama Cinta (Jakarta, Renebook, 2012). Kontroversi Babak Kedua terjadi pada tahun 2014, pada waktu peluncuran buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jamal D. Rahman, dkk, Jakarta, KGP, 2014) yang memasukkan nama Denny JA sebagai salah satu tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.

Kontroversi Babak Ketiga terjadi pada tahun 2018, pada waktu Denny JA dan para pendukungnya menyelenggarakan program nasional penulisan 34 judul buku puisi esai pada 34 provinsi di Indonesia, yang melibatkan 5 orang penulis puisi esai setiap provinsi.

Paparan berikut ini mengedepankan kontroversi puisi esai Denny JA pada Babak Pertama 2012, Babak Kedua 2014, dan Babak Ketiga 2018.

Awal kontroversi puisi esai Denny JA pada tahun 2012, yang saya sebut sebagai Babak Pertama. Yaitu pada waktu peluncuran buku puisi esai pertama Denny JA yang berjudul Atas Nama Cinta (Jakarta, Renebook, 2012).

Usai peluncuran, pro-kontra merebak di kalangan publik sastra Indonesia. Ada yang mendukung, ada yang menentang. Di samping puisi esai, nama Denny JA juga dipersoalkan karena tiba-tiba masuk dalam panggung sastra Indonesia modern.

Sadar atau tidak, kontroversi ini justru yang membantu nama Denny JA terangkat ke panggung nasional dunia sastra.

Sebelumnya memang nama Denny JA sudah dikenal luas, namun bukan di dunia sastra, tetapi di dunia politik, terkait kiprahnya di lembaga survei politik, Lingkaran Survei Indonesia (LSI).

Sebelum tahun 2012, yang dikenal di Indonesia hanya jenis karangan puisi dan esai, bukan puisi esai. Menggabungkan puisi dan esai dalam satu jenis karangan menjadi puisi esai yang kemudian mengklaimnya sebagai genre baru dalam sastra Indonesia, menyulut perdebatan seru dan panas di berbagai kalangan.

Di tengah seru dan panasnya perdebatan puisi esai Denny JA, para pendukung puisi esai mulai giat menulis karya sastra jenis baru tersebut. Alhasil, puluhan judul buku puisi esai terbit antara tahun 2012-2014.

Kehebohan puisi esai Babak Kedua terjadi pada 2014. Pemicunya adalah terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jakarta, KGP, 2014) yang disusun Tim 8 dengan koordinator penyair Jamal D. Rahman.

Salah satu dari 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh dalam buku itu adalah Denny JA. Oleh Tim 8, Denny JA dinilai berpengaruh karena sebagai penggagas dan perintis penulisan puisi esai di Indonesia. Denny JA layak disejajarkan dengan tokoh-tokoh sastra Indonesia lain, seperti Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, H. B. Jassin, Arief Budiman, dan Rendra.

Bahkan pengaruh Denny JA oleh Tim 8 menggeser pengaruh puluhan tokoh sastra lain yang sudah dikenal luas, seperti Sitor Situmorang, Umar Kayam, Budi Darma, Danarto, Ahmad Tohari, dan lain-lain. Ini yang membuat para penentang puisi esai dan Denny JA panas dan meradang.

Kehebohan puisi esai meningkat tajam pada tahun 2018. Ini yang saya sebut sebagai Babak Ketiga. Kehebohan baru ini dipicu Denny JA dan para pendukungnya yang menyelenggarakan gerakan nasional penulisan puisi esai 2018.

Gerakan ini melibatkan lima orang penulis puisi esai setiap provinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Hasil dari gerakan ini terbit 34 buku seri antologi puisi esai karya 170 penulis puisi esai yang berisi potret batin dan isu sosial yang menonjol dan krusial di masing-masing provinsi.

Akhir tahun 2018 diluncurkan 34 buku puisi esai di Jakarta dan dilanjutkan program meresensi 34 buku puisi esai itu yang diikuti ratusan peserta.

Tidak hanya itu, ratusan puisi esai dari berbagai provinsi itu digubah ke layar lebar menjadi film yang mengundang banyak decak kagum karena bertolak dari kenyataan.

Sejumlah nama sastrawan dan kritikus/pengamat sastra terlibat berkarya dalam gerakan puisi esai Denny JA tahun 2018, antara lain Jamal D. Rahman, Narudin Pituin, Satrio Arismunandar, Fatin Hamama, Sastri Sunarti, Ahmad Gayus, Nia Samsihono, Heri Mulyadi, Aspar Paturusi, Anto Narasoma, Denok Kristianti, Teguh Supriyanto, Isbedy Stiawan ZS, Anggoro Suprapto, Bambang Irawan, Isti Nugroho, FX Purnono, Pinto Janir, Imam Qalyubi, Bambang Widiatmoko, Muhammad Thobroni, Hamri Manopo, Anggia Budiati, dan lain-lain.

Gerakan Denny JA dan kawan-kawan ini mendapat perlawanan. Para penentang puisi esai bereaksi keras menghadang gerakan ini.

Awal 2018 mereka membuat Petisi penolakan program penulisan puisi esai nasional Denny JA. Mereka mengusung slogan: “Menolak puisi esai, menghapus nama Denny JA dari sastra Indonesia, menolak pembodohan sejarah sastra Indonesia, bebaskan sastra Indonesia dari racun manipulasi.”

Petisi itu ditandatangani ratusan penyair, terutama para penyair muda, yang dikoordinasi Ramon Apta. Petisi dikirim ke berbagai intansi, antara lain Kemendikbud, Kemenristekdikti, Kementerian Pariwisata, Badan Bahasa, Hiski, Komite Buku Nasional, Perpustakaan Nasional, dan Ikapi.

Di samping penolakan dalam bentuk petisi, kelompok kontra juga membentuk gerakan berskala nasional bernama GAS (Gerakan Anti Skandal Sastra).

Gerakan ini menerbitkan buku antologi artikel opini berjudul Skandal Sastra Undercover yang memuat puluhan artikel opini yang berisi penolakan terhadap puisi esai Denny JA.

GAS dikordinasi penyair Sosiawan Leak dari Jawa Tengah dengan tim pendukungnya, antara lain Sofyan RH. Zaid, Dedy Tri Riyadi, Ahmadun Yosi Herfanda, Dino Umahuk, Sihar Ramses Simatupang.

Namun pendukung puisi esai secara berkala setiap bulan menyelenggarakan diskusi puisi esai di Jakarta. Pada 16 Februari 2018, berlangsung perdebatan panas di Yayasan itu antara Narudin Pituin (pihak pro) vs Saut Situmorang (kontra) dan Kamerad Kanjeng (pro) vs Eko Tunas (kontra).

Pada 9 Maret 2018 berlangsung diskusi berikutnya di tempat yang sama dengan melibatkan Denok Kristianti, Rasiah, dan Sastri Sunarti, tanpa dihadiri pihak kontra.

Pada 6 April 2018 berlangsung diskusi puisi esai yang melibatkan penyair D. Kemalawati (Aceh), Heri Mulyadi (Jambi), Anggia Budiarti (Papua), Muhammad Thobroni (Kalimantan), Hamri Manopo (Sulawesi), dan Teguh Supriyanto (Jawa).

Diskusi puisi esai ke-3 ini juga tanpa dihadiri pihak kotra.

Sementara itu, pihak kontra terus membombardir gerakan puisi esai lewat berbagai diskusi, antara lain terjadi di Bandung pada 13 Maret 2018 dimotori harian Pikiran Rakyat dengan tema menohok “Membongkar Kebohongan Angkatan Penyair Puisi Esai.”

Para pembicara adalah Ahda Imran, Hikmat Gumelar, Ari Purwawidjana, Heru Hikayat, dan Yana Risdiana. Penolakan pihak kontra puisi esai semakin keras karena pada tahun 2018 pihak pendukung puisi esai Denny JA mengklaim sudah lahir Angkatan Puisi Esai dalam sastra Indonesia.

Sadar atau tidak, kontroversi puisi esai Denny JA di Indonesia, sejak Babak Pertama 2012, Babak Kedua 2014, Babak Ketiga 2018, dan Babak Keempat 2021, memberi inspirasi dan memicu spirit baru yang menggairahkan bagi para sastrawan Indonesia dalam berkarya sastra.

Kita belum tahu nasib puisi esai ke depan, terutama ketika Denny JA sudah tak ada. Inovasi lukisan Van Gogh justru berkibar jauh lebih hebat ketika Van Gogh tak ada. Bagaimana dengan inovasi puisi esai Denny JA?

Penulis adalah Pengamat dan Kritikus Sastra dari NTT.

Berita Terkait

Renungan : Kebaikan Kelihatan, Keburukan Ketahuan ‘ Becik Ketitik Olo Ketoro’ | RadarBangsa Lamongan
Suhu Politik Pilkada Mulai Memanas, Lapor dan Lapor – Solusi atau Senjata Makan Tuan |RadarBangsa
Pelanggaran Masif & Berlanjut
ASN Terlibat Mendukung Paslon Bisa Disanksi
Wujudkan Persatuan Melalui Olahraga Ditengah Perbedaan dalam Pilkada
Jejak Kironggo Seorang Tokoh Adat dan Prajurit Ulung Legendaris Sejarah Bondowoso
Menjelang Pilkada 2024 : Strategi Pemain Lama dan Baru dalam Politik
Menilik Unsur Pidana Ketua KPU yang Dipecat Menurut UU TPKS, ‘Kau yang Berjanji, Kau yang Mengingkari’

Berita Terkait

Senin, 7 Oktober 2024 - 08:55 WIB

Renungan : Kebaikan Kelihatan, Keburukan Ketahuan ‘ Becik Ketitik Olo Ketoro’ | RadarBangsa Lamongan

Minggu, 6 Oktober 2024 - 08:05 WIB

Suhu Politik Pilkada Mulai Memanas, Lapor dan Lapor – Solusi atau Senjata Makan Tuan |RadarBangsa

Minggu, 22 September 2024 - 22:22 WIB

Pelanggaran Masif & Berlanjut

Jumat, 20 September 2024 - 07:32 WIB

ASN Terlibat Mendukung Paslon Bisa Disanksi

Rabu, 18 September 2024 - 07:21 WIB

Wujudkan Persatuan Melalui Olahraga Ditengah Perbedaan dalam Pilkada

Berita Terbaru