Oleh : Apt Evelyn Devi Melinda, S.Farm
Pada Tanggal 25 September setiap tahunnya semua farmasis di seluruh dunia merayakan World Pharmacist Day. Tema serta isu yang diangkat oleh FIP (International Pharmacy Federation) sebagai induk organisasi apoteker dunia dalam WPD 2022 ialah “Pharmacy united in action for healthier world” untuk menunjukkan peran apoteker bersatu dalam suatu aksi untuk mewujudkan sustainable development goals (SDG’s) yaitu good health and wellbeing. Apoteker Bersatu dalam aksi menuju dunia yang lebih sehat.
Banyak aksi positif yang digelar untuk memperingati World Pharmacist Day (WPD) diseluruh dunia termasuk Indonesia serta Surabaya ditempat kami bekerja meliputi bakti sosial, edukasi masyarakat, pembuatan spanduk, serta semaraknya di dunia maya yang bisa kita temukan dengan twibbon WPD yang banyak tersebar.
Apoteker di seluruh penjuru dunia seakan ingin menunjukkan peran penting dan keberadaan profesi yang selama ini mungkin saja tidak begitu dikenal oleh masyarakat, padahal memegang peranan yang sangat penting dalam pengelolaan obat dan kefarmasian di bidang kesehatan.
Jikalau muncul pertanyaan siapakah seorang apoteker itu? Kalangan awam mungkin akan menjawab, seorang penjual obat, atau seseorang yang bertugas di apotek.
Padahal itu hanya pandangan luarnya saja dan tidak sepenuhnya benar, padahal bila kita merujuk pada PP 51/2009 yg disesuaikan dg UU 36/2014 dan UU 12/2012 tentang pendidikan tinggi, maka apoteker dapat didefinisikan sebagai seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan profesi apoteker, lulus Uji Kompetensi Apoteker Indonesia (UKAI) dengan memperoleh Sertifikat profesi yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi, telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker serta memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA) dengan kewenangan melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
Sehingga dapat dikatakan bahwa seorang apoteker tidak hanya seorang yang bertugas di apotek. Akan tetapi seorang apoteker bisa bertugas di fasilitas Kesehatan lain seperti : Rumah Sakit, pabrik Obat, Distributor obat dan di Puskesmas.
Lalu apa peran dan fungsi apoteker yang bisa dilakukan dalam mewujudkan Aksi Menuju Dunia Lebih Sehat sesuai tema World Pharmacist Day (WPD)? Terutama dalam hal menekan penyalahgunaan obat?
Jika kita merujuk pada Permenkes 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, pada pasal 3 ayat 1,2 dan 3 disebutkan sebagai berikut :
(1) Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi standar:
a. pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai; dan
b. pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. perencanaan;
b. pengadaan;
c. penerimaan;
d. penyimpanan;
e. pemusnahan;
f. pengendalian; dan
g. pencatatan dan pelaporan.
(3) Pelayanan farmasi klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. pengkajian Resep;
b. dispensing;
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
d. konseling;
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Dari jabaran isi pasal di atas maka dapat disimpulkan apoteker sangat berperan penting dalam rangkaian pelayanan obat kepada pasien. Seorang apoteker melakukan pelayanan klinik dimulai dari pengkajian resep yang telah dibuat oleh dokter. Kemudian dilanjutkan dispensing atau tahap penyiapan obat yang kemudian akan diserahkan kepada pasien.
Dalam tahap ini sangat penting peran seorang apoteker sangat dibutuhkan. Ketika kita lihat sering terjadi pembelian antibiotik yang tidak rasional, pembelian obat golongan Keras (K) dengan jumlah banyak. Serta ketidakhadiran apoteker ditempat pelayanan Kesehatan juga merupakan penyebab terjadinya penyalahgunaan tersebut.
Realita di lapangan, banyak oknum penjaga apotek yang menjual antibiotik secara bebas tanpa menggunakan resep (penjualan bebas). Hal ini sangat berdampak kepada peningkatan resistensi antibiotik yang saat ini menjadi fenomena yang menakutkan bagi kalangan medis oleh sebab tatalaksana yang akan susah.
Selama masa pandemi Covid-19, masyarakat seolah “panic buying” membeli semua obat yang diduga punya efek menyembuhkan. Termasuk anibiotik yang seharusnya digunakan sesuai petunjuk dokter.
Fenomena selanjutnya yang tidak kalah banyak terjadi adalah penyalahgunaan obat-obatan precursor. Yang termasuk obat golongan ini seperti sebagian besar obat Flu dan Batuk. Bisa kita lihat bahwa untuk memperoleh obat ini, sangatlah mudah. Bahkan toko kelontong yang menjual sembako pun bisa menjual obat ini.
Lantas apa peran apoteker untuk menekan penyalahgunaan obat? Kita harus kembali merujuk pada Sumpah Apoteker pasal 4
“Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.”
Seorang apoteker harus hadir dalam setiap pelayanan kefarmasian yang ditanggung nya. Baik di apotek, rumah sakit, klinik, puskesmas, bahkan industri obat.
Sehingga dengan kehadiran dan kesadaran akan Sumpah Apoteker yang telah diucapkan, maka pelayanan farmasi akan berjalan dengan baik. Masyarakat teredukasi dengan baik, sehingga angka penyalahgunaan obat akan menurun.
Perubahan paradigma dari drug oriented menjadi patient oriented, Apoteker pasti ikut berperan penting dalam mendukung patient safety. Apoteker wajib turut serta dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian yang langsung pada pasien.
Dengan adanya perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari drug oriented menjadi patient oriented tersebut, serta dibutuhkannya apoteker dalam mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, maka dipandang perlu apoteker sebagai tenaga profesi kefarmasian mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan kefarmasian yang baik dimasyarakat dan harus secara professional dengan memegang teguh iptek kefarmasian dan kode etik profesi sebagai apoteker.