Perguruan Tinggi, Kritik, dan Budaya Paternalisme

- Redaksi

Senin, 17 Februari 2020

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Wanda Ilham Ramadhan

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Ponorogo, Wanda Ilham Ramadhan

Oleh : Wanda Ilham Ramadhan
 
Relasi antara mahasiswa dengan dosen dan birokrat kampus cenderung berada pada posisi yang asimetris. Dosen dan birokrat kampus dianggap sebagai pihak yang lebih pandai, lebih mengetahui, dan lebih mampu dalam mengatasi permasalahan-permasalahan kampus, termasuk yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan mahasiswa.

Apapun yang dilakukan oleh birokrat kampus terhadap mahasiswa selalu dilihat sebagai pillihan yang terbaik dan merupakan bentuk kepedulian terhadap anak didiknya. Kemudian muncul implikasi berupa anggapan bahwa birokrat kampus merupakan pihak yang selalu benar, harus dihormati dan dipatuhi oleh para mahasiswa, layaknya seperti hubungan antara bapak dengan anaknya.

Maka dari itu dianggap tidak tepat dan tidak sopan ketika mahasiswa mengkritik kebijakan kampus, menuntut adanya transparansi uang kuliah, mempertanyakan fasilitas kampus yang tak memadai, memprotes gaya mengajar dosen, ataupun hanya sekedar komplain terhadap jadwal kuliah yang diganti secara sepihak dan tiba-tiba.
 
Wacana tersebut terus direproduksi ulang oleh birokrat kampus dalam berbagai kesempatan. Seperti dalam beberapa audiensi yang dilaksanakan, melalui argumen-argumen moralis birokrat kampus mencoba mengelak dari banyak keluhan yang disampaikan mahasiswa terkait pelayanan dan kebijakan kampus.

Alih-alih berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, dengan nasihat-nasihat moralis dan evasif justru birokrat kampus (layaknya seperti seorang bapak) seakan-akan ingin berkata kepada mahasiswa: “Bersabarlah, jangan banyak menuntut, dan maklumi kondisi yang ada”.

Ancaman berupa nilai yang tidak dikeluarkan dan surat peringatan juga diberikan kepada mahasiswa yang berani mengkritik untuk menunjukan bahwa birokrat kampus merupakan pihak yang paling benar dan tak pantas untuk dikritik.
 
Budaya paternalisme merupakan budaya organisasi yang memandang bahwa atasan merupakan pihak yang selalu benar dan harus dipatuhi, sedangkan bawahan merupakan pihak yang berfungsi sebagai alat untuk menjalankan perintah atasannya.

Paternalisme muncul dari budaya mayarakat feodal yang bersifat hierarkis, tertutup, dan mengagungkan penguasa sebagai pihak yang harus dihormati. Bawahan memiliki keharusan untuk menempatkan diri dan berlaku sopan terhadap atasan.

Dalam pola relasi ini, bawahan tidak memiliki posisi tawar yang cukup kuat terhadap atasan. Birokrasi menjadi terlampau sentralistis dan akhirnya menutup ruang-ruang partisipasi.

Budaya paternalisme tidak hanya terjadi dalam relasi internal birokrasi saja, melainkan juga terjadi pada relasi eksternal antara birokrasi dengan masyarakat sebagai pengguna jasa.

Budaya paternalisme menyebabkan masyarakat pengguna jasa cenderung diam dan abai meskipun mendapatkan pelayanan yang tidak memuaskan.

Masyarakat dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” dan dilarang untuk ambil bagian dalam proses dan transformasi pelayanan publik. Budaya paternalisme dimensi eksternal ini juga terjadi dalam konteks perguruan tinggi.

Birokrat kampus cenderung ditempatkan sebagai atasan yang berhak mengatur dan membuat kebijakan, sedangkan mahasiswa berada pada posisi bawahan yang harus menaati semua peraturan yang ada.
 
Dalam pendidikan, budaya paternalisme ini juga sejalan dengan apa yang disebut Paulo Freire sebagai pendidikan gaya bank. Murid diibaratkan sebagai “bejana kosong” yang harus diisi melalui transfer informasi oleh guru sebagai subyek yang aktif.

Murid diwajibkan untuk menelan dan menghafalkan informasi yang diberikan tanpa adanya pembacaan kritis sebelumnya. Dari proses transfer tersebut diharapkan akan tercipta duplikasi “manusia-masusia berkualitas” sebagai hasil dari investasi pendidikan.

Murid ditempatkan sebagai obyek pasif yang terpisah dari realitas. Hal tersebut juga sering terjadi dalam proses kebijakan kampus. Mahasiswa dilihat sebagai anak yang tidak tahu apa-apa dan cenderung pasif menerima kebijakan yang dibuat.

Dalam proses perumusan kebijakan, mahasiswa hanya dilibatkan dalam partisipasi semu berupa sosialisasi yang bersifat satu arah. Dengan dalih kebaikan bersama dan juga aturan-aturan birokratis yang ada, kebijakan kampus seolah-olah menjadi kedap akan kritik dan aspirasi dari mahasiswa.
 
Lantas bagaimana bisa kampus sebagai institusi pengetahuan berjalan tanpa adanya kritik? Kampus sepatutnya menjadi ruang dialektika antar unsur yang ada di dalamnya, termasuk mahasiswa dan dosen.

Baik diskusi di ruang kelas ataupun dalam proses pembuatan kebijakan kampus, sudah seharusnya terdapat partisipasi aktif yang bersifat dialogis di antara unsur yang ada.

Hal itu terbangun tidak dengan hubungan asimetris dan sikap anti kritik berdasarkan pola paternalisme. Proses yang dialogis dibutuhkan untuk dapat mengenali dan memahami realitas untuk selanjutnya dapat tercipta transformasi ilmu pengetahuan.

Tranformasi tidak dapat terlaksana apabila birokrat kampus masih beranggapan bahwa mahasiswa merupakan “bejana kosong” yang tidak dapat menentukan pilihannya sendiri.
 
Kedua belah pihak harus menyadari bahwa relasi antar keduanya tidak didasarkan pada pola hubungan paternalisme. Birokrat kampus sesunggunya merupakan aparatur yang berkewajiban dalam menyediakan pelayanan publik yang berkualitas dan mengakomodasi kepentingan dari masyarakat pengguna jasa.

Sedangkan mahasiswa sebagai masyarakat pengguna jasa berhak menjadi kontrol sosial dalam proses pelayanan publik. Terlebih Freire menawarkan solusi berupa “problem posing education” dengan adanya hubungan demokratis yang saling menguntungkan. Keduanya menjadi subyek aktif yang berpikir, bertindak, dan saling memanusiakan.

*Penulis adalah Mahasiswa Fisip (Ilmu Komunikasi) Angkatan 2016 Universitas Muhammadiyah Ponorogo.

Referensi :
 
[1] Freire, Paulo, 2007, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.

[2] Yogyakarta: Read Book dan Pustaka Pelajar. 2008, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: LP3ES.

Berita Terkait

Renungan : Kebaikan Kelihatan, Keburukan Ketahuan ‘ Becik Ketitik Olo Ketoro’ | RadarBangsa Lamongan
Suhu Politik Pilkada Mulai Memanas, Lapor dan Lapor – Solusi atau Senjata Makan Tuan |RadarBangsa
Pelanggaran Masif & Berlanjut
ASN Terlibat Mendukung Paslon Bisa Disanksi
Wujudkan Persatuan Melalui Olahraga Ditengah Perbedaan dalam Pilkada
Jejak Kironggo Seorang Tokoh Adat dan Prajurit Ulung Legendaris Sejarah Bondowoso
Menjelang Pilkada 2024 : Strategi Pemain Lama dan Baru dalam Politik
Menilik Unsur Pidana Ketua KPU yang Dipecat Menurut UU TPKS, ‘Kau yang Berjanji, Kau yang Mengingkari’
Tag :

Berita Terkait

Senin, 7 Oktober 2024 - 08:55 WIB

Renungan : Kebaikan Kelihatan, Keburukan Ketahuan ‘ Becik Ketitik Olo Ketoro’ | RadarBangsa Lamongan

Minggu, 6 Oktober 2024 - 08:05 WIB

Suhu Politik Pilkada Mulai Memanas, Lapor dan Lapor – Solusi atau Senjata Makan Tuan |RadarBangsa

Minggu, 22 September 2024 - 22:22 WIB

Pelanggaran Masif & Berlanjut

Jumat, 20 September 2024 - 07:32 WIB

ASN Terlibat Mendukung Paslon Bisa Disanksi

Rabu, 18 September 2024 - 07:21 WIB

Wujudkan Persatuan Melalui Olahraga Ditengah Perbedaan dalam Pilkada

Berita Terbaru

Politik - Pemerintahan

Pemkab Lamongan Gelar Rakor Persiapan Musim Tanam I

Selasa, 26 Nov 2024 - 04:38 WIB

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Lamongan, Sugeng Widodo, dalam acara Detik Jatim Awards 2024 di Dyandra Convention Center, Surabaya.(IST)

Politik - Pemerintahan

Pemkab Lamongan Terima Penghargaan atas Penurunan Angka Pengangguran

Selasa, 26 Nov 2024 - 04:26 WIB

Politik - Pemerintahan

Pemkab dan DPRD Lamongan Setujui APBD 2025 dengan Pendapatan Rp 3,26 Triliun

Senin, 25 Nov 2024 - 22:12 WIB

Peristiwa

KPU Sidoarjo Rampungkan Pendistribusian Logistik Pilkada 2024

Senin, 25 Nov 2024 - 21:47 WIB