SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Secara etimologis, politik hukum merupakan terjemahan dari istilah hukum Belanda, yakni rechtpolitiek. Dalam hal ini, hukum dianggap sebagai tujuan dari politik agar ide-ide hukum atau rechtsidee seperti kebebasan, keadilan, kepastian, dan lain sebagainya dapat ditempatkan di dalam proses kebijakan dan pemerintahan yang merupakan tujuan dari proses politik. Selain itu, hukum pula digunakan sebagai alat dari politik.
Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia. Padmo Wahjono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.
Sementara itu, menurut Soedarto, politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk nengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pengertian dari Soedarto ini mencoba menggiring kepada pemahaman mengenai pentingnya eksistensi kekuatan negara demi mewujudkan cita-cita kolektif masyarakat.
Pembentukan peraturan atau proses legislasi perundang-undangan tidak terlepas dari proses politik di masyarakat. Untuk memahami hubungan antara politik dan hukum di negara mana pun, perlu dipelajari latar belakang kebudayaan, ekonomi, kekuatan politik di dalam masyarakat, keadaan lembaga negara, dan struktur sosialnya, selain institusi hukumnya sendiri.
Dimensi nilai pada hukum yang dibentuk harus selaras dengan perkembangan nilai yang ada di dalam masyarakat, sehingga tujuan dari hukum untuk mencapai damai sejahtera dapat tercapai. Apabila peraturan perundang-undangan yang telah dibuat tidak diiringi dengan perkembangan masyarakat, akibatnya nilai-nilai yang merupakan tujuan yang akan dicapai dari masyarakat tidak terpenuhi dan berpengaruh pada penegakan hukum itu sendiri.
Peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk berperan dalam tujuan negara, apabila dikaitkan dengan susunan masyarakat dan nilai-nilai dimulai dengan pilihan-pilihan mengenai nilai-nilai apa yang harus diwujudkan oleh hukum, pilihan nilai-nilai sangat ditentukan oleh politik hukum yang berkuasa.
Konsep dasar tentang politik hukum selalu berangkat dari asumsi dasar bahwa hukum merupakan produk politik yang melihat hukum sebagai formalisasi dari kehendak-kehendak politik penguasa, dalam konteks negara, yang saling berinteraksi dan berkomunikasi untuk menemukan konsensus politik bersama.
Marhaenisme merupakan ideologi yang berfokus perjuangan harkat hidup kaum Marhaen yang miskin secara ekonomi. Kaum Marhaen melingkupi golongan proletar, petani kecil, pedagang kecil, dan rakyat lainnya yang tertindas oleh sistem kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. Secara esensial, Marhaenisme merupakan ideologi perjuangan yang terbentuk atas konsep sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan Bung Karno.
Sosio-nasionalisme disusun oleh kata sosio dan nasionalisme, yang berarti nasionalisme masyarakat. Konsep dasar sosio-nasionalisme berangkat dari pemikiran Bung Karno mengenai nasionalisme dengan model yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Konsep nasionalisme Bung Karno sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ernest Renan, sastrawan dan filsuf asal Prancis, yang pada intinya nasionalisme berangkat dari keinginan dan kemauan untuk menjadi satu dengan dilandasi oleh riwayat yang sama serta tidak memandang suku, budaya, ras, ataupun budaya.
Pada konsep nasionalisme Bung Karno, penekanan utamanya adalah pada kesadaran akan nasib yang sama. Bung Karno ingin agar ada perubahan nasib dari bangsa yang masih tertindas menjadi bangsa yang merdeka.
Sosio-demokrasi disusun oleh kata sosio dan demokrasi, yang berarti demokrasi masyarakat. Secara konsep, sosio-demokrasi bukan hanya dimaksudkan untuk melingkupi demokrasi secara politik yang menitikberatkan fokusnya pada kekuasaan saja, tetapi juga melingkupi bidang ekonomi yang menekankan bahwa tiap orang memiliki hak, kewajiban, dan perlakuan yang sama di bidang ekonomi.
Pada dasarnya, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi tidak dapat dipisahkan. Sosio-demokrasi timbul dari sosio-nasionalisme, dan kedua konsep tersebut yang akan membebaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan dan kesengsaraan. Selain dari kedua konsep tersebut, konsep terakhir adalah Ketuhanan yang Berkebudayaan. Konsep Ketuhanan Bung Karno dipergunakan sebagai pondasi awal dalam menjamin keberlangsungan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Artinya, Ketuhanan menjadi ide atau orientasi awal yang dapat membuat sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi berjalan.
Sebagai ideologi atau sudut pandang berpikir, Marhaenisme menegaskan harus ada demokrasi secara ekonomi yang menekankan adanya kebebasan dan partisipasi rakyat dalam ekonomi. Sehingga, dalam hal ini, masyarakat miskin pun seharusnya diberikan kebebasan dan partisipasi untuk mengembangkan potensinya secara optimal dari segi poilitik maupun ekonomi. Masyarakat miskin yang masih tertindas walau memiliki alat produksi dapat tertolong dengan adanya perlakuan yang sama dalam ekonomi, sehingga mereka dapat mengembangkan potensi mereka sendiri tanpa adanya ketertindasan.
Dalam menerapkan politik hukum di Indonesia, barang tentu secara ideal kita menggunakan pendekatan-pendekatan Marhaenisme sebagai acuan awalnya. Politik hukum bersendikan perspektif Marhaenisme merupakan kebijakan tentang hukum yang menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum dalam rangka mencapai tujuan sosial tertentu/tujuan negara dengan mengedepankan aspek-aspek kemasyarakatan berdasarkan sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Dalam hal ini, segala aspek politik hukum tersebut haruslah memakai perspektif atau pendekatan Marhaenisme dengan tujuan untuk mengangkat ketertindasan masyarakat miskin di Indonesia.