SOLO, RadarBangsa.co.id – Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) IAIN Surakarta menggelar Seminar Nasional (Semnas) secara virtual yang berjudul “Nikah Sirri Saat Pandemi, Solusi atau Alibi?”. Acara yang dihadiri para pakar hukum, akademisi, politisi, mahasiswa, praktisi dan masyarakat umum dari seluruh Indonesia ini dipandu oleh Hafidz Nur Fauzi.
Seminar dibuka oleh Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta, R. Ahmad Muhamad Mustain Nasoha. Ia mengatakan, “Dengan adanya seminar ini, diharapkan akan menghasilkan rekomendasi dan solusi atas permasalahan nikah sirri yang merebak di Indonesia, khususnya di masa pandemi.”
“PUSKOHIS akan selalu mengawal kebijakan pemerintah, dan akan selalu memberikan usul, rekomendasi atau masukan kepeda Pemerintah, DPR maupun lembaga kehakiman tdemi memberikan kebahagiaan hokum bagi masyarakat semua,” ucap Pakar Hukum IAIN Surakarta ini. Kamis, (25/3/2021).
Setelah dibuka oleh Moderator, acara pertama adalah Keynote Speaker yang disampaikan oleh Pakar Hukum Islam, Ainun Yudistira. Ia mengatakan bahwa, latar belakang diangkatnya tema nikah siri saat pandemi solusi atau alibi antara lain, pihaknya melihat di awal-awal pandemi Covid-19 bulan April 2020, dimana semua aspek kehidupan terdampak, yang salah satunya tentang pernikahan.
Pada saat ini, lanjut Ainun, KUA selaku petugas pencatat perkawinan hanya melayani bagi pasangan pengantin yang mendaftar sebelum 1 April 2020. Setelah April 2020, dari pihak KUA belum bisa menerima dan melaksanakan pencatatan perkawinan.
Dengan adanya latar belakang masalah tersebut, kata Ainun, maka bagi pasangan calon pengantin yang mau menikah secara sah di hadapan KUA untuk mendapatkan keabsahan secara legal formal harus menempuh cara yang lain. Ada yang menunda untuk menikah ataupun tetap menikah tetapi nikah siri terlebih dahulu.
“Menurut hukum Islam, nikah siri diperbolehkan, asal syarat dan rukunnya terpenuhi,” imbuh Ainun Yudistira.
Sesi berikutnya adalah penyampaian materi, oleh pembicara pertama Pakar Hukum Perdata, Arsyad Aldyan. Ia mengatakan bahwa, nikah sirri telah terjadi baik di masa pandemi maupun di luar masa pandemi, menurutnya nikah sirri bukan solusi.
“Karena, ketika orang melakukan nikah sirri, maka ada dampak buruk. Misalnya tidak adanya pengakuan dari negara atas anak yang dilahirkan, sehingga anak tersebut nasabnya hanya bisa bersambung kepada ibunya saja,” tambahnya.
Menurut Ketua LPBH NU ini, “Jika orang melakukan nikah sirri, tidak ada instrumen hukum yang bisa dipakai ketika terjadi masalah hukum dalam berkeluarga,” ucapnya.
Acara dilanjutkan pembicara kedua Pakar Hukum Keluarga, Roykhatun Ni’mah. Ia mengatakan bahwa, faktor-faktor orang melakukan nikah sirri yakni :
1. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam perkawinan masih sangat kurang. Mereka masih menganggap bahwa, masalah perkawinan itu adalah masalah pribadi, dan tidak perlu ada campur tangan pemerintah / negara.
2. Adanya kekhawatiran dari seseorang akan kehilangan hak pensiun janda apabila perkawinan baru didaftarkan pada pejabat pencatat nikah.
3. Tidak ada izin istri atau istri-istrinya dan Pengadilan Agama bagi orang yang bermaksud kawin lebih dari satu orang.
4. Adanya kekhawatiran orang tua terhadap anaknya yang bergaul rapat dengan calon istri / suami, sehingga dikhawatirkan terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan, dan dikawinkan secara diam-diam serta tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama.
5. Karena sulitnya aturan berpoligami. Poligami liar dilakukan karena merasa sulit dan tidak nyaman mengurus ke pengadilan serta sulit untuk mendapatkan izin dari istri ketidakmampuan suami istri (keluarga) untuk membiayai pencatatan melalui Kantor Urusan Agama.
“Menurut Gusdur, dipicu oleh faktor sosial politik dan sosial ekonomi. Seseorang yang memiliki kedudukan politik yang tinggi dan ekonomi mapan akan mudah ditawari untuk melakukan pernikahan sirri,” sambung Roykhatun.
Seminar dilanjutkan pemaparan materi dari pembicara ketiga Pakar Hukum Islam, Fathurrahman Husein. Ia mengatakan, nikah sirri, jika dilihat dari perspektif fiqih, maka perlu dikontekstualkan dengan kondisi saat ini.
Sebab secara istilahnya saja, ujar Hussein, nikah sirri yang dimaksud dalam fiqih klasik (disebutkan dalam hadits kisah Umar bin Kattab) yaitu pernikahan yang tidak memenuhi rukun saksinya, yang demikian adalah terlarang. Sepakat jumhur ulama bahwa, pernikahan harus memenuhi rukun dan syaratnya.
“Lebih konkret, nikah sirri (dianggap memenuhi rukun dan syarat secara fikih klasik) dalam perspektif maqasid syariah yang ‘fresh ijtihad’ (meminjam istilah Prof. Amin Abdullah) maka ‘pencatatan nikah’ bisa masuk dalam kategori rukun atau syarat nikah, tentu dipertimbangkan dengan dalil-dalil terkait. Artinya, jika disepakati maka bisa dianggap tidak sah nikah sirri dalam pandangan fikih kontemporer,” tuturnya.
Diskusi diakhiri dengan tanya jawab antara peserta dan pembicara. Dan ditutup dengan penyampaian kesimpulan oleh Moderator.
Seminar Nasional ini mendapatkan dukungan penuh dari Rektor dan para Wakil Rektor serta Dewan Penasehat PUSKOHIS.
Rektor IAIN Surakarta, Prof Mudhofir Abdullah memberikan apresiasi dan dukungan atas acara terselenggaranya acara ini. Rektor berharap, di bawah kepemimpinan Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, maka PUSKOHIS IAIN Surakarta selalu produktif dalam melakukan kajian-kajian ilmiah khususnya di bidang konstitusi dan hukum.
(Ari)