RadarBangsa.co.id – Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di Indonesia telah memicu reaksi keras dari masyarakat. Media sosial seperti Twitter dan TikTok ramai dengan seruan boikot konsumsi sebagai bentuk protes terhadap kebijakan ini. Langkah pemerintah tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) No. 7 Tahun 2021, menimbulkan pertanyaan: apakah ada cara lain untuk menyeimbangkan kebutuhan fiskal tanpa memberatkan masyarakat?
PPN merupakan pajak berbasis konsumsi yang bersifat proporsional, dikenakan pada semua barang dan jasa kecuali yang termasuk dalam daftar negatif (negative list). Dalam Pasal 7 ayat (3) dan (4) UU HPP, tarif PPN dapat diatur antara 5% hingga 15%, memberikan ruang fleksibilitas bagi pemerintah. Namun, kenaikan tarif ini kerap kali berdampak langsung pada daya beli masyarakat, khususnya kelompok ekonomi lemah.
Sebagai pajak atas konsumsi, PPN memiliki karakteristik multi single levy, di mana pajak dikenakan pada setiap tahap produksi hingga konsumsi akhir. Hal ini berarti peningkatan tarif akan langsung dirasakan oleh konsumen akhir, yang berpotensi menurunkan tingkat konsumsi masyarakat. Dampak ini menjadi perhatian serius karena konsumsi masyarakat memegang peranan penting dalam struktur perekonomian Indonesia. Penurunan konsumsi dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pengumuman kenaikan PPN ini mendapat tanggapan negatif dari masyarakat. Di media sosial, seruan untuk memboikot konsumsi menjadi bentuk resistensi terhadap kebijakan ini. Boikot konsumsi merupakan strategi yang kerap digunakan untuk menunjukkan ketidakpuasan publik, meskipun efektivitasnya dalam memengaruhi kebijakan fiskal masih menjadi perdebatan. Media sosial memainkan peran besar dalam memperkuat suara masyarakat, yang memungkinkan isu ini mendapatkan perhatian luas dalam waktu singkat.
Sebelumnya, protes masyarakat berhasil mengembalikan beberapa barang dan jasa ke dalam daftar negatif PPN, seperti jasa pendidikan yang sempat dihapus dari pengecualian dalam UU HPP. Hal ini menunjukkan bahwa aspirasi publik dapat memengaruhi kebijakan jika disampaikan secara kolektif dan terorganisir. Namun, protes yang efektif memerlukan keberlanjutan, strategi yang jelas, dan dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat.
Pengalaman negara lain memberikan pelajaran berharga dalam mengelola kebijakan PPN. Di Jepang, kenaikan PPN dari 5% menjadi 8% pada 2014 diikuti dengan penurunan tajam dalam konsumsi masyarakat, seperti yang dicatat oleh Cashin dan Unayama (2016). Hal ini mendorong pemerintah Jepang untuk memberikan kompensasi berupa subsidi dan program sosial bagi kelompok rentan. Selain itu, pemerintah Jepang juga meluncurkan kampanye edukasi publik untuk menjelaskan alasan kenaikan tarif dan bagaimana masyarakat dapat mengelola dampaknya.
Di Uni Eropa, banyak negara memberlakukan tarif PPN beragam untuk barang dan jasa tertentu guna melindungi daya beli masyarakat. Sebagai contoh, beberapa negara menerapkan tarif PPN rendah atau nol untuk kebutuhan pokok, seperti makanan dan obat-obatan. Kebijakan ini dapat menjadi referensi bagi Indonesia untuk mengurangi dampak kenaikan PPN. Melalui penerapan tarif diferensial, negara-negara ini berhasil menjaga konsumsi domestik tetap stabil meskipun ada kenaikan tarif untuk barang-barang non-esensial.
Kenaikan tarif PPN seringkali dianggap sebagai solusi cepat untuk meningkatkan pendapatan negara, terutama di tengah tekanan ekonomi global. Namun, kebijakan ini harus diimbangi dengan langkah-langkah mitigasi yang efektif. Pemerintah perlu mempertimbangkan program kompensasi, seperti bantuan sosial atau subsidi untuk kelompok ekonomi lemah, guna mengurangi dampak negatif terhadap daya beli. Selain itu, pemerintah dapat mengembangkan kebijakan fiskal lain yang lebih inovatif dan tidak sepenuhnya bergantung pada peningkatan tarif pajak.
Selain itu, diversifikasi sumber pendapatan negara juga dapat menjadi solusi jangka panjang. Peningkatan efisiensi dalam administrasi perpajakan dan pengurangan kebocoran pajak dapat memberikan tambahan penerimaan tanpa harus meningkatkan tarif pajak. Di sisi lain, pemerintah dapat memanfaatkan teknologi untuk memperluas basis pajak, misalnya dengan mengintegrasikan data transaksi digital untuk memastikan pembayaran pajak yang lebih akurat dan efisien.
Pemerintah dapat mempertimbangkan insentif untuk sektor-sektor tertentu yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Misalnya, dengan memberikan insentif pajak kepada usaha kecil dan menengah (UMKM) untuk mendorong pertumbuhan bisnis lokal. Langkah ini tidak hanya meningkatkan pendapatan negara secara tidak langsung, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi domestik.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% membawa dampak yang kompleks bagi perekonomian dan masyarakat. Sebagai pajak berbasis konsumsi, kebijakan ini berpotensi menurunkan daya beli dan memicu reaksi sosial yang signifikan. Namun, pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa kebijakan ini dapat dikelola dengan lebih baik jika disertai dengan langkah-langkah mitigasi yang efektif.
Kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada perlindungan kelompok rentan menjadi kunci untuk menjaga stabilitas fiskal tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat. Dengan pendekatan yang tepat, pemerintah dapat menemukan keseimbangan antara kebutuhan fiskal dan perlindungan terhadap konsumsi domestik, memastikan keberlanjutan perekonomian dalam jangka panjang.
Penulis : Achmad Hilmy Syarifudin, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Indonesia