Oleh : Burhanuddin Saputu
Presiden Jokowi terus maju untuk mengetatkan penanganan dan penanggulangan penyebaran virus corona / Covid-19.
Selasa (26/5), Presiden meninjau kesiapan fasilitas umum di Jakarta dan Kota Bekasi yang akan dioperasikan dalam apa yang disebut sebagai New Normal. Yaitu suatu tatanan baru kehidupan yang akan dijalani masyarakat dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Langkah tersebut dikritik oleh beberapa kalangan termasuk tokoh sekaliber Amien Rais. Alasannya, New Normal tersebut bisa mengelabui masyarakat mengenai fakta yang terjadi.
Tentu yang dimaksud adalah terkait dengan dampak diberbagai bidang kehidupan terutama di sektor ekonomi yang menderita paling parah terkena wabah Covid-19.
Lepas dari kritikan Amien Rais, sesungguhnya Presiden Jokowi sangat konsen untuk menyelamatkan keterpurukan negeri ini akibat terjangan Covid-19.
Keseriusan tersebut ditunjukkan dalam berbagai kebijakan yang dikuatkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2020 dan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Percepatan Penanganan Corona Virus atau Covid-19.
Yakni dengan melakukan realokasi anggaran kementerian dan lembaga hingga Rp 62,3 triliun. Sedangkan pemerintah daerah bisa menyisihkan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Kas Daerah.
Jokowi juga menginstruksikan pemberian insentif sebesar Rp 5-15 juta dan santunan kematian sebesar Rp 300 juta bagi para tenaga kesehatan di wilayah berstatus darurat Covid-19.
Selain itu juga telah melakukan beberapa langkah strategis dengan mengubah Wisma Atlet Kemayoran Jakarta menjadi Rumah Sakit Darurat Corona yang berkapasitas tiga ribu pasien, lalu mengimpor alat kesehatan seperti alat rapid test.
Selain itu juga melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan yang terkini akan menerapkan tatanan kehidupan baru (New Normal) yang melibatkan aparat TNI dan Polri guna menegakkan protokol kesehatan, seperti penggunaan masker dan physical distancing dalam perlawanan terhadap Covid-19.
Ini yang dimaksudkan Presiden Jokowi sebagai berdamai dengan Covid-19. Dalam arti untuk mematikan virus Corona dan bukan sebaliknya.
Mengapa? karena bila kita berdiam diri di rumah secara terus-menerus, maka perlahan roda ekonomi akan berhenti dan peluang masyarakat untuk mendapatkan penghasilan dari aktivitas yang dilakukan pasti tertutup.
Hal ini yang membedakan dengan persepsi Jusuf Kalla (mantan Wapres) yang menganggap berdamai dengan Corona adalah berdampingan lalu kompromi untuk mencari solusi, sebagaimana pengalaman perdamaian dalam menyelesaikan konflik sosial di Poso dan di Aceh misalnya. Menurutnya, berdamai mesti 2 belah pihak. Sementara dalam hal ini, Covid-19 tak bisa diajak berdamai.
Apa yang dimaksud Presiden Jokowi dengan metode tatanan baru yang didalamnya ada unsur berdamai dengan Covid-19 adalah bagian dari strategi atau siasat, namun secara tidak langsung juga mematikan virusnya.
Dalam arti membunuh musuh yang tak tampak dalam peperangan guna mengurangi kematian manusia. Itulah esensi dari hidup berdampingan dengan Covid-19 dalam tatanan hidup baru ala Jokowi.
Di titik ini, langkah Jokowi sangatlah humanis. Strategi atau siasat mematikan musuh/lawan yang tak tampak tetapi terus-menerus menyerang dan bertujuan mematikan manusia dapat dipandang sebagai pengetahuan baru dalam ilmu politik.
Susunan tatanan baru dari Presiden Jokowi ini secara kasat mata simpel tetapi maknanya cukup mendalam bila dilihat dari sudut pandang ilmu politik.
Sebuah teori melawan dan memusnahkan musuh yang tak “tampak” tapi bisa mematikan. Dan pada akhirnya manusialah yang memenangkan peperangan itu.
Penulis adalah Alumnus Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI)