Oleh : Satrio F. Damardjati
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan visinya usai dilantik MPR sebagai Presiden RI 2019 – 2024. Visi Jokowi yang terkait dengan ekonomi adalah di poin ke-5 yaitu tentang: Transformasi Ekonomi. Jokowi menyampaikan bahwa negara akan fokus pada upaya transformasi dari ketergantungan sumber daya alam ke daya saing manufaktur dan jasa modern yang mempunyai nilai tambah tinggi bagi kemakmuran bangsa. Jokowi menyampaikan mimpinya untuk membawa Indonesia keluar dari middle income trap atau jebakan pendapatan kelas menengah. Jokowi mengharapkan pada tahun 2045 masyarakat Indonesia bisa mengantongi pendapatan per kapita 320 juta rupiah per tahun atau 27 juta rupiah per bulan. Apakah mimpi Jokowi tersebut bisa terwujud? Mari kita lihat potensi ekonomi Indonesia di era ekonomi digital ini. Berdasarkan data dari THE PPRO PAYMENTS & E-COMMERCE REPORT tentang High Growth Market 2018, Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan pertumbuhan penjualan online (e-commerce) tertinggi di dunia yaitu sebesar 78 persen (%). Di tahun 2018 Indonesia memiliki PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita sebesar 3.300 USD per tahun atau sekitar 4 juta rupiah per bulan dan tingkat pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen (%), nilai penjualan online sebesar 7,2 miliar USD setahun. Penjualan online hanya menyumbang 2,4 persen (%) dari semua penjualan ritel, meskipun penetrasi Internet pada tingkat 40 persen (%). Ini menunjukkan ruang yang cukup untuk pertumbuhan penjualan online di Indonesia [1].
Kenyataan di atas menunjukan bahwa di tahun 2018 meskipun Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan pertumbuhan penjualan online (e-commerce) tertinggi di dunia namun penjualan online hanya menyumbang 2,4 persen (%) dari semua penjualan ritel. Hal ini berarti peluang besar bagi para pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) sebagai produsen di Indonesia. Mereka harus menggenjot pemasarannya via lapak online mengingat tingginya minat konsumen di Indonesia berbelanja secara online. Jangan sampai lapak online dengan target konsumen Indonesia justru dikuasai produsen online dari luar negeri.
Di sisi lain Pemerintah bakal menggali potensi pajak dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) guna mengejar setoran penerimaan pajak tahun 2020. Ini seiring dengan perkembangan UMKM dalam ekonomi digital khususnya e-commerce. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan saat ini UMKM sedang dalam tahap pertumbuhan, meski secara nominal penerimaan pajak penghasilan (PPh) final tidak sebesar PPh pasal 21 atau PPh Karyawan. Berdasarkan data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) periode November 2019 mencatat realisasi penerimaan PPh final mencapai Rp 107,45 triliun, tumbuh 6,73% secara tahunan. Adapun di tahun 2020 target penerimaan PPh final sebesar Rp 153,3 triliun tumbuh 17,6% dari target tahun lalu. Pemerintah meyakini jumlah penerimaan PPh final semakin meningkat karena jumlah UMKM kian menjamur, terlebih lewat e-commerce dan juga pada tahun lalu jumlah pembayar pajak UMKM meningkat 30% dibanding tahun 2018. Untuk tetap menjaga tingkat kepatuhan UMKM, Ditjen Pajak melakukan pembinaan melalui Business Development System (BDS) dan edukasi perpajakan terhadap pelaku UMKM [2]. Hal itu terlihat dari data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KemenkopUKM) yang melaporkan sepanjang tahun 2019 lalu terdapat 3,79 juta UMKM sudah memanfaatkan platform online dalam memasarkan produknya. Jumlah tersebut setara 8% dari total pelaku UMKM yang ada di Indonesia, yakni 59,2 juta.
Dari 64,2 juta UMKM berkontribusi pada 60,34% total Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, 97% total tenaga kerja, 99% total lapangan kerja, 14,17% total ekspor dan 58,18% total investasi. Apabila terdapat 2,5% UMKM naik kelas, akan terdapat kenaikan PDB nominal sebesar Rp 468 triliun sehingga PDB riil tahun 2018 seharusnya tumbuh 5,88%. Apabila terdapat 5% UMKM naik kelas, akan terdapat kenaikan PDB nominal sebesar Rp 936 triliun sehingga PDB riil tahun 2018 seharusnya tumbuh 6,59%. Apabila terdapat 10% UMKM naik kelas, akan terdapat kenaikan PDB nominal sebesar Rp1.872 triliun sehingga PDB riil tahun 2018 seharusnya tumbuh 8% [3]. Sektor UMKM nampaknya diharapkan Pemerintah bisa menjadi penggerak ekonomi Indonesia di samping sektor BUMN dan swasta. UMKM juga selama ini sudah menjadi solusi mandiri bagi masyarakat yang membutuhkan lapangan kerja. Pertumbuhan UMKM berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi ke level yang lebih tinggi. Kontribusi UMKM dalam perekonomian sangat signifikan.
Jumlah UMKM yang sangat besar ini akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia jika dikelola dengan maksimal dan mengedepankan prinsip bersih, transparan dan profesional. Yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah KemenkopUKM mengelola Koperasi dan UKM secara transparan? Mempertimbangkan profil sang Menteri yang merupakan pentolan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pegiat Antikorupsi, tentu kita berharap banyak terimplementasinya pengelolaan Koperasi dan UKM yang transparan di negeri ini.
Salah satu hal yang harus dikelola secara transparan adalah terkait pembiayaan bagi Koperasi dan UMKM yang bersumber dari APBN. Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan dana bergulir ini, KemenkopUKM membentuk Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (LPDB – KUMKM) yang bertugas melaksanakan pengelolaan dana bergulir untuk pembiayaan KUMKM antara lain berupa pinjaman dan bentuk pembiayaan lainnya yang sesuai dengan kebutuhan KUMKM, di mana ketentuan mengenai kriteria KUMKM di tetapkan oleh LPDB – KUMKM. Sebelum dibentuknya LPDB – KUMKM, pengelolaan Dana Bergulir untuk Koperasi dan UMKM dilaksanakan oleh Deputi-deputi lingkungan KemenkopUKM. LPDB-KUMKM dibentuk dengan Surat Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 19.4/Per/M.KUMKM/VIII/2006 tanggal 18 Agustus 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan UKM Republik Indonesia Nomor 11/Per/M.KUKM/VI/2008 tanggal 26 Juni 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KEP-292/MK.5/2006 Tanggal 28 Desember 2006 LPDB – KUMKM ditetapkan sebagai instasi pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK – BLU) [4]. Dengan dibentuknya LPDB – KUMKM diharapkan pengelolaan dana bergulir dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan dan menghasilkan manfaat berkelanjutan atas penyaluran dana bergulir kepada Koperasi dan UMKM.
Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 08 tahun 2018 tentang Penyaluran Pinjaman / Pembiayaan Dana Bergulir oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah pada Bab XI tentang Sistem Informasi Dana Bergulir pasal 19 menyatakan bahwa:
1. Penatausahaan dana bergulir dilakukan melalui sistem koneksi yang dibangun oleh LPDB – KUMKM.
2. Penerima Dana Bergulir menatausahakan penggunaan Pinjaman / Pembiayaan Dana Bergulir melalui koneksi antar sistem dengan LPDB – KUMKM.
3. Dalam hal sistem koneksi belum terbangun dan/atau Penerima Dana Bergulir belum mampu melakukan koneksi langsung antar sistem dengan LPDB – KUMKM, pertukaran data Penerima Dana Bergulir dengan LPDB – KUMKM dapat dilakukan secara manual.
Direktur Utama (Dirut) LPDB – KUMKM KemenkopUKM, menginformasikan bahwa pada tahun 2019 total dana bergulir yang disalurkan LPDB – KUMKM sejumlah 1,8 Trilyun Rupiah di seluruh wilayah Indonesia, dengan ketentuan dana yang diterima tiap Koperasi maksimal Rp 50 Milyar Rupiah. Dana tersebut dapat digunakan untuk pengembangan modal kerja maupun investasi. Untuk menjaga efektifitas penyaluran dana tersebut dalam peningkatan usaha koperasi dan UKM, menurut Dirut LPDB – KUMKM bahwa Koperasi harus menjaga good corporate governance (GCG) atau tata kelola Koperasi yang bersih, transparan dan profesional. Penyaluran dana harus diberikan kepada anggota Koperasi yang memiliki prospek bisnis yang bagus. Namun kenyataannya banyak Koperasi yang mengabaikan GCG. Dirut LPDB – KUMKM menyatakan selalu melakukan pembinaan terhadap Koperasi khususnya terkait tata kelola koperasi [5].
Melihat jumlah dana yang digulirkan ke para pelaku Koperasi dan UMKM relatif besar, sudah seharusnya dilakukan digitalisasi pada penatausahaan dana bergulir sesuai isi Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 08 tahun 2018 Pasal 19 Ayat 1. Karena Proses secara manual berpotensi dapat menimbulkan resiko penyalahgunaan dana. Sudahkah LPDB – KUMKM menerapkan proses digitalisasi pada pengeloaan dana bergulir bagi Koperasi dan UMKM?
Direktur Umum dan Hukum LPDB – KUMKM menyampaikan dalam menjabarkan TriSukses LPDB (Sukses Penyaluran, Sukses Pemanfaatan dan Sukses Pengembalian), LPDB mempunyai roadmap 2020-2024. Dalam roadmap tersebut, LPDB fokus pada empat pilar unggulan, yang pertama adalah pengembangan SDM, kedua pengembangan teknologi informasi (TI), ketiga pengembangan bisnis proses dan keempat pengembangan produk. Dalam pilar kedua di bidang IT, LPDB – KUMKM memiliki program Core Micro Financing System (CMFS). Program CMFS ini, akan mengarah pada proses digitalisasi layanan LPDB – KUMKM. Nantinya pengajuan proposal bisa online, seluruh data terintegrasi baik secara internal maupun eksternal [6]. Diharapkan bahwa dengan adanya CMFS ini LPDB – KUMKM memiliki big data yang kuat terkait erat dengan Koperasi dan UMKM di Indonesia khususnya yang sudah menjadi mitra LPDB – KUMKM serta memungkinkan LPDB – KUMKM bisa mengetahui perkembangan mitra – mitra yang telah mendapatkan pembiayaan dari LPDB – KUMKM.
Digitalisasi pengelolaan Koperasi dan UMKM idealnya tidak hanya menyentuh para pelaku Koperasi dan UMKM akan tetapi juga perlu dilakukan pada proses internal di KemenkopUKM sehingga terwujud tata kelola antara KemenkopUKM dengan para pelaku Koperasi dan UMKM yang bersih, transparan dan profesional (Good Corporate Governance). Kini kita sudah memasuki bulan Maret 2020, bagaimana dengan kabar implementasi digitalisasi tata kelola dana bergulir di LPDB – KUMKM KemenkopUKM dengan Program CMFS, mengapa belum ada kelanjutannya? Sungguh ironis jika seorang Teten mantan aktivis anti korupsi dan masyarakat transparansi menunda implementasi program yang bertujuan untuk mewujudkan tata kelola di KemenkopUKM dengan para pelaku Koperasi dan UMKM yang bersih, transparan dan profesional (Good Corporate Governance). Yang menjadi pertanyaan apakah KemenkopUKM tidak memiliki sumberdaya manusia (SDM) yang memiliki kapabilitas untuk membangun big data Koperasi dan UMKM atau apakah Menteri Teten takut dengan transparansi?
*Penulis adalah Ketua Umum PETANI dan Inisiator Petani Go Digital.
Sumber :
1. https://petani.id/benarkah-jokowi-menggadaikan-kedaulatan-digital-indonesia/
2. https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-berhadap-umkm-makin-banyak-yang-bayar-pajak?page=all
3. Presentasi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), “Kebijakan Strategis Bidang Koperasi dan UKM Tahun 2020-2024”.
4. http://lpdb.id/profile/sejarah.html
5. https://petani.id/apa-bagaimana-dan-mau-kemana-lpdb-kumkm/
6. http://lpdb.id/update/kabar-lpdb/2019/11/26/roadmap-lpdb-2020-2024,-wujud-perubahan-budaya-kerja-yang-cepat-dan-masif/