LAMONGAN, RadarBangsa.co.id – Polemik mengenai dugaan ketidaksesuaian antara pendapatan retribusi dan parkir di Wisata Religi Makam Sunan Drajat Lamongan terus berkembang. Beberapa tokoh agama setempat menyuarakan keprihatinan dan meminta agar pihak berwenang, termasuk Polda Jatim, segera turun tangan mengusut masalah ini. Pasalnya, berdasarkan data yang beredar, ada selisih besar antara pendapatan yang dilaporkan dengan jumlah kunjungan wisatawan.
Menurut data yang diperoleh oleh media, pendapatan dari retribusi tiket di Makam Sunan Drajat pada tahun 2023 mencapai Rp 1,1 miliar. Namun, jumlah wisatawan yang tercatat sebanyak 1.724.870 orang. Dengan tarif retribusi Rp 2.000 per orang, seharusnya pendapatan mencapai Rp 3,4 miliar. Ini berarti ada selisih sekitar Rp 2,3 miliar yang belum dapat dijelaskan.
“Jika jumlah wisatawan sebanyak itu, penghasilan seharusnya mencapai lebih dari Rp 3 miliar. Tapi yang tercatat hanya Rp 1,1 miliar. Ini sangat mengherankan, dan harus ada penjelasan yang lebih transparan,” ujar aktifis Paciran, Sofwan kepada awak media pada Rabu (09/10/2024). Ia menambahkan, Polda Jatim perlu segera turun tangan menyelidiki selisih besar ini.
Tak hanya soal retribusi tiket, Sofwan juga menyoroti masalah parkir yang seharusnya turut menjadi sumber pendapatan signifikan. Tarif parkir di Makam Sunan Drajat untuk kendaraan roda empat sebesar Rp 15.000, untuk Elf Rp 20.000, dan bus Rp 25.000. Dengan jumlah kunjungan yang tinggi, pendapatan dari parkir seharusnya cukup besar, namun hal ini tidak tercermin dalam laporan pendapatan daerah (PAD).
“Parkir juga menjadi pertanyaan besar. Apalagi tarif untuk bus bisa mencapai Rp 100.000, sementara itu belum termasuk kendaraan lainnya. Harus ada audit menyeluruh terkait pengelolaan parkir ini,” tegasnya.
Seperti yang di beritakan sebelumnya, Sementara itu, H. Sukri, Ketua Paguyuban PKL Makam Sunan Drajat yang juga bertanggung jawab atas pengelolaan parkir dan retribusi, memberikan tanggapan yang berbeda. Saat dihubungi oleh media, ia tidak menjawab secara langsung mengenai dugaan selisih pendapatan tersebut. H. Sukri justru mengajak untuk berziarah dan mengenal lebih dekat kawasan makam tersebut.
“Ayok kolo-kolo (kala-kala) ikut ziarah, biar tahu langsung. Dulu tanah ini milik keluarga saya, dan kebanyakan kios di sini juga dikelola oleh keluarga. Orang yang usil itu seharusnya melihat sendiri situasinya,” ujarnya saat dihubungi awak media. Ketika ditanya lebih lanjut mengenai rincian pendapatan parkir, ia menolak untuk memberikan jawaban pasti, dan hanya mengajak untuk berbincang santai di lain waktu.
“Kapan-kapan ketemu saja mas, sambil ngopi,” tandas H. Sukri.
Selain dugaan ketidaksesuaian pendapatan retribusi dan parkir, masyarakat setempat juga mengkritisi kondisi Makam Sunan Drajat yang dianggap tidak sebanding dengan statusnya sebagai salah satu dari sembilan wali (Wali Songo).
“Dari segi kebersihan, makam Sunan Drajat termasuk yang paling kotor dibandingkan makam wali lainnya. Kami juga mempertanyakan kontribusi pembangunan fasilitas seperti toilet, apakah benar memberikan dampak terhadap kenyamanan pengunjung,” ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Permintaan agar Polda Jatim turun tangan dalam menyelidiki kasus ini semakin kuat, terutama mengingat pentingnya wisata religi tersebut sebagai salah satu sumber PAD Lamongan. Tokoh-tokoh agama berharap adanya transparansi dalam pengelolaan Makam Sunan Drajat dan penindakan tegas jika ditemukan pelanggaran.
“Ini bukan hanya soal uang, tapi juga soal kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan tempat suci ini. Polda Jatim harus segera bertindak, dan pemerintah daerah juga harus lebih transparan dalam pelaporan pendapatan,” tutup Sofwan.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin