GRESIK, RadarBangsa.co.id – Alur Alun Tanjidor 1952-2019 (AAT). Buku yang membahas sejarah dan perkembangan Tanjidor di Desa Lembor-Brondong-Lamongan, akhirnya dibedah pada hari Jum’at (17/1/2020).
Bertempat di Sanggar Pasir, Desa Banyuurip-Ujungpangkah-Gresik. Bedah buku ini dihadiri oleh A.H.J Khuzaini, salah satu penulis. Nurel Javissyarqi, dan Rakai Lukman yang didapuk sebagai pembedah serta dimoderatori oleh Shafif.
Setelah moderator membuka acara, dia segera meminta A.H.J Khuzaini untuk berbagi proses kreatifnya, “Saya berbicara sekaligus mewakili saudari Roudlotul Immaroh yang tidak bisa hadir. Beliau ada acara keluarga ke Tuban. Oh iya. Kalau bilang proses kreatif sih nggak. Karena yang saya kerjakan biasa-biasa saja.”
Dia kemudian menjelaskan dorongan khusus dirinya untuk mendokumentasikan kesenian Tanjidor, “Saya begitu menyukai kesenian musik tradisional, tapi tidak bisa memainkannya. Jadi ya, saya lampiaskan dengan mendokumentasikan.”
Setelah A.H.J Khuzaini membagi pengalaman seputar proses pendokumentasian. Moderator memberi kesempatan pembedah pertama, Nurel Javissyarqi guna memberikan pandangannya.
“Saya suka dengan buku ini. Namun secara obyektif harus saya katakan. Setelah baca beberapa bab, saya menemukan cukup kekeliruan dalam catatan kaki, terutama yang diakses dari sumber internet. Agar tidak terkesan penyomotan asal-asalan. Djenar (sapaan penulis. Red) semestinya bisa lebih berhati-hati, dan jujur dalam berkarya.” Setelah penyair-esais yang mengelola laman www.Sastra-Indonesia.com mencukupkan pandangannya, dia lalu menyerahkan kembali pada moderator.
Rakai Lukman, pembedah kedua, turut pula memberikan pandangannya. “Buku ini ditulis terdiri beberapa bab. Saya lebih tertarik dengan sub-bab yang dibuka pertanyaan, semisal ‘Tanjidor di Desa Lembor, darimana kau datang?’ Kalau bicara tentang Tanjidor, pasti rujukannya Jakarta atau Suku Betawi dalam hal ini. Namun jika memperhatikan alat musik dan seni pertunjukannya, Tanjidor di Lembor seolah berdiri sendiri, berbeda dengan alat musik sekaligus penampilannya. Tanpa berkiblat pada Tanjidor Betawi. Sehingga local wisdom (kearifan lokal), dan in genius peoplenya semakin tangguh dan percaya diri.”
Lebih lanjut, Lukman mengatakan “Kalau saya tinjau lebih jauh. Buku ini bisa lebih baik, bila penulis mampu keluar dari kerangkeng penyusunan skripsi. Kemudian menambahkan data-data yang diperlukan sebagai petunjuk hadirnya Tanjidor di desa Lembor,” ucapnya di hadapan sekitar 30 peserta yang berasal dari berbagai Komunitas Teater, Komunitas Pecinta Sastra dan Pemuda Karangtaruna.
Memasuki sesi tanya jawab, Iskandar salah satu peserta diskusi, menanyakan kiat-kiat penulisan dan hal lain yang tidak dimasukkan dalam buku. Pertanyaan langsung dijawab oleh Djenar.
“Saya tidak cukup berani membagi kiat, karena seperti menulis ini rasanya kerasukan. Ada banyak hal yang tak saya masukkan dalam tulisan. Terutama yang ada kaitannya dengan darah, dan ketakutan pada tahun 1965, dan tahun 1980-an. Serta sejarah Lembor sebagai salah satu Kademangan kerajaan Majapahit.”
Buku AAT ditulis oleh Roudlotul Immaroh dan A.H.J Khuzaini sudah tiga kali mengalami naik cetak. Sejak cetakan pertama bulan September 2019, baru sekali ini didiskusikan melalui bedah buku. Dan kegiatan diskusi bedah buku ini dimulai pukul 14:30., diakhiri pada pukul 17:00 WIB. (JK)