JAKARTA, RadarBangsa.co.id – Dunia media digital tengah menghadapi paradoks besar. Di satu sisi, jumlah kreator konten melonjak pesat berkat kemudahan akses teknologi dan platform daring. Namun di sisi lain, pendapatan dari konten justru kian menurun, menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana membiayai jurnalisme berkualitas di tengah ledakan produksi konten yang murah?
Isu tersebut mengemuka dalam Dialog Nasional Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) bertajuk “Media Baru vs UU ITE”, Selasa (28/10/2025). Dalam forum yang digelar menjelang Hari Pers Nasional (HPN) 2026 itu, Anggota Dewan Pers sekaligus Ketua Komisi Digital dan Sustainability, Dahlan Dahi, mengupas tuntas problem ekonomi yang kini menghantui ekosistem media digital.
“Makin banyak orang bikin blog, makin murah biaya advertising. Waktu itu publisher paling 100, sekarang bisa 1.000, 2.000, bahkan 3 juta orang,” ujar Dahlan di hadapan peserta yang hadir secara langsung di Kantor Pusat SMSI, Jakarta, dan melalui Zoom nasional.
Menurut Dahlan, fenomena ini bukan kebetulan. Ia menilai platform global memang mendorong sebanyak mungkin orang untuk memproduksi konten agar nilai iklan menurun dan margin keuntungan justru berpindah ke platform.
“Platform sengaja mendorong produksi konten massal agar harganya makin murah. Ini paradoks sekali. Makin banyak konten, makin murah. Platformnya makin kaya, tapi kreatornya makin miskin,” tegasnya.
Dahlan menggambarkan perubahan drastis yang dialami media konvensional di era digital. Jika dahulu pendapatan per page view masih tinggi, kini nilainya terjun bebas.
“Revenue per page view dulu bisa tinggi, sekarang sudah anjlok jauh. Dan tren ini masih akan turun karena pasar mulai jenuh,” jelasnya.
Fenomena serupa, lanjutnya, juga terjadi di platform video seperti YouTube.
“Audiens YouTube kami lebih besar daripada di website sekitar 42 juta video views per hari. Tapi itu tidak berarti pendapatan naik. Justru makin banyak views, makin sedikit pendapatannya,” katanya.
Kondisi ini, menurut Dahlan, memperlihatkan dua tantangan besar: profitabilitas jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang (sustainability). Media didorong untuk terus memproduksi konten sebanyak mungkin, tetapi dengan imbalan ekonomi yang semakin kecil.
Di tengah situasi tersebut, Dahlan menilai persoalan paling mendasar adalah keberlanjutan jurnalisme bermutu (high quality journalism).
“Demokratisasi informasi itu bagus semua orang bisa memproduksi dan menyebarkan informasi. Tapi bagaimana membiayai jurnalisme yang berkualitas di tengah kondisi seperti ini? Itu pertanyaan besar yang harus kita jawab bersama,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan agar masyarakat memahami perbedaan mendasar antara aktivitas jurnalistik dan praktik pers profesional.
“Siapa pun boleh mencari, mengolah, dan mendistribusikan informasi, itu hak asasi. Tapi begitu seseorang menyebut diri sebagai pers, ada syarat dan tanggung jawab yang melekat,” tuturnya.
Dialog nasional ini juga menghadirkan berbagai tokoh lintas bidang, antara lain Prof. Dr. Henri Subiakto (Guru Besar Unair), Anang Supriatna (perwakilan Jaksa Agung Muda Intelijen), dan Rudi S. Kamri (CEO Kanal Anak Bangsa TV). Diskusi dipandu Mohammad Nasir, mantan wartawan senior Kompas.
Ketua Umum SMSI, Firdaus, dalam sambutannya menegaskan pentingnya literasi hukum di kalangan pelaku media baru.
“Teman-teman media digital jangan sampai terjerat pasal UU ITE. Pahami aturannya agar bisa terus berkarya secara bertanggung jawab,” pesannya.
Acara ditutup dengan seruan bersama untuk memperkuat kolaborasi antara regulator, penegak hukum, dan pelaku media digital. Tujuannya, menciptakan ekosistem informasi yang profesional, beretika, dan berpihak pada kepentingan publik fondasi utama agar jurnalisme tetap hidup di tengah badai ekonomi digital.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin









