Sejarah mencatat kemiskinan telah mengubah dunia. Revolusi Prancis terjadi karena para petani dimiskinkan oleh struktur hegemonik tak berprikemanusiaan. Di Amerika para imigran dari benua Afrika menuntut kesetaraan hak dalam politik melawan ketimpangan yang dicipta oleh sistem kapitalistik.
Ledakan reformasi di Indonesia tak jauh beda pemicunya. Para pejuang kesetaraan nasib tak sabar ingin segera mengubah taraf kehidupannya. Dari miskin terbelakang menjadi kaum berpendidikan. Dari kaum pinggiran menjadi kelas menengah dengan pendapatan berlimpah.
Akhir-akhir ini kemiskinan kembali dipergunjingkan dalam ruang-ruang publik. Bukan kemiskinan level standar, tapi kemiskinan dalam tingkatan paling ekstrem. Parameternya satu: siapapun yang berpendapatan dibawah 400 ribu maka ia masuk kualifikasi miskin ekstrem.
Bagi saya, parameter 400 ribu ini agak ganjil. Rasanya sulit ditemukan di zaman sekarang. Buruh tani sebagai kelas sosial berpendapatan paling rendah, sekali bekerja menanam benih padi dibayar 70 ribu-an. Jadi untuk satu kali musim tanam saja pendapatan mereka bisa jutaan. Anak-anak merekapun punya motor dan henpon. Bisa sekolah dan beli pulsa.
Demikian pula bangsa ini telah merdeka selama 77 Tahun. Negara ini telah diperintah oleh 7 orang presiden. Trilyunan anggaran dialirkan untuk dan atas nama pengentasan kemiskinan. Puluhan triliun dana desa diserap oleh ribuan desa di tanah air. Belum lagi rapat atau seminar yang digelar untuk membahas penangkal kemiskinan ini pun tak terhitung lagi jumlahnya. Tapi tetap saja, tak ada obat tolak miskin yang benar-benar ampuh dan manjur.
Pasca pandemi covid-19, negara-negara di dunia berupaya bangkit memulihkan perekonomian ditengah situasi tak menentu akibat perang dan bencana alam. Hal ini acapkali membuat orang gagal fokus. Kemiskinan dianggap lahir dari ruang hampa sejarah. Tanpa melihatnya dari perspektif kausalitas. Konteksnya pun Tahun 2023 yang sering disebut sebagai tahun politik.
Oleh karena itu, analisis gencarnya pergunjingan ihwal kemiskinan di tahun politik ini sulit dilepaskan dari anasir yang disembunyikan dibalik eksploitasi angka kemiskinannya sendiri. Akan terbaca bahwa motif dibalik teks itu berjalin kelindan dengan aspek politik. Jadi, bukan semata kritik sosial demi bangsa dan perjuangan rakyat jelata.
Saya pikir tak satupun manusia bercita-cita hidup miskin. Tak satupun ingin dilahirkan sebagai insan tak berpunya. Tapi sekeras apapun upaya, kosa kata kemiskinan ternyata tetap mengada. Jangan-jangan, ini bukan karena kita kalah melawan kemiskinan tapi karena kita gagal melenyapkan kerakusan.