Pertentangan Pemikiran Tokoh-Tokoh Nasional dalam Menuju Indonesia Merdeka

Sebagai seorang mahasiswa, kesempatan untuk mempelajari ideologi yang menjadi pilar-pilar penyangga kemerdekaan Indonesia sangatlah terbuka dan penting untuk diketahui. Jangan sampai mahasiswa sebagai generasi muda sekaligus generasi penerus bangsa tidak memahami sejarah peradaban yang merupakan identitas serta jati diri bangsa yang sesungguhnya. Melalui tulisan ini, saya berharap seluruh mahasiswa Indonesia dapat mengkaji dan memahami pemikiran-pemikiran awal masa pergerakan nasional yang merupakan cikal bakal menuju Indonesia Merdeka. Hal ini dapat saya lakukan tidak terlepas dari ilmu dan pengetahuan yang tersedia di Fakultas Hukum Universitas Airlangga melalui buku-buku yang sangat lengkap dan langka mengenai pemikiran tokoh-tokoh dunia.
 
Kemerdekaan suatu bangsa yang hakiki tidak dapat dicapai tanpa adanya persatuan nasional. Hampir seluruh perlawanan yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia pada masa pra pergerakan nasional tidak mampu membuat para penjajah angkat kaki dari bumi Nusantara. Selain itu, perbedaan pandangan dan paham yang dianut oleh tiap-tiap tokoh nasional justru menghambat dan menimbulkan perang saudara sehingga angan-angan Indonesia-Merdeka semakin jauh dari realita. Melalui tulisannya, Bung Karno berupaya merubah serta membongkar segala kesalahpahaman yang sudah mengakar di bumi Indonesia sebagai salah satu wujud dari praktik divide et impera yang bertujuan untuk mencegah tercapainya Indonesia-Merdeka. Secara garis besar, Bung Karno membagi tiga golongan dalam masa pergerakan nasional.
 
Pada prinsipnya, Nasionalisme berupaya mementingkan bangsa, Islamisme pada hakekatnya tiada bangsa, dan Marxisme dengan materialismenya mengajar perbendaan. Lalu bagaimana cara untuk menyatukan ketiga pemikiran tersebut?
 
Harus kita ingat bahwa antara pergerakan Islamisme dan Marxisme dengan Nasionalisme yang terjadi di Indonesia semuanya mempunyai “keinginan hidup menjadi satu” dalam mencapai Indonesia-Merdeka. Akan tetapi, Bung Karno juga menjelaskan bahwa bukanlah pula maksud tulisan ini membuktikan bahwa perselisihan antara ketiga gelombang itu tidak bisa terjadi. Jikalau sekarang mau berselisih, tak sukarlah mendatangkan perselisihan itu sekarang juga. Banyak kaum nasionalis yang lupa, bahwa orang Islam yang sungguh-sungguh menjalankan ke-Islam-annya memiliki kewajiban atas keselamatan orang-orang  negeri yang ditempatinya. Jadi baik orang Arab maupun India, jikalau berdiam di Indonesia wajib pula bekerja untuk keselamatan Indonesia itu. Inilah yang dikatakan Bung Karno sebagai Nasionalisme Islam!Hampir semua kaum nasionalis, baik evolusioner maupun revolusioner, berkeyakinan bahwa agama itu tidak boleh dibawa-bawa ke dalam politik.

Sebaliknya, kaum Islam yang “fanatik”, menghina politik kebangsaan dari kaum Nasionalis yang sempit, menghina politik kerezekian dari kaum Marxis yang kasar. Sempurnalah perselisihan paham antara ketiga golongan ini!Mereka kusut paham, kata Bung Karno. Bukan Islam, melainkan pemeluknya yang salah. Rusaknya kebesaran nasional, rusaknya sosialisme Islam bukanlah disebabkan oleh Islam sendiri, melainkan rusaknya budi pekerti orang-orang yang menjalankannya. Islam yang sejati tidaklah mengandung asas anti-nasionalis; Islam  yang sejati tidaklah bertabiat anti-sosialis. Selama kaum Islamis memusuhi paham-paham Nasionalisme yang luas-budi dan Marxisme yang benar, selama itu kaum Islamis tidak berdiri di atas Sirothol Mustaqim; selama itu tidaklah Ia bisa mengangkat Islam dari kenistaan dan kerusakan tadi.

Bacaan Lainnya

Kuburkanlah nasionalisme, kuburkanlah politik cinta tanah air, dan lenyapkan politik keagamaan, begitulah seakan-akan perjuangan kaum Marxis yang kita dengar. Bukankah Marx dan Engels mengatakan, “kaum buruh itu tak mempunyai tanah air, komunisme itu melepaskan agama” yang tertulis dalam Manifes Komunis.Begitu pula sebaliknya, pihak Nasionalis dan Islamis tak berhenti-henti mencaci maki pihak Marxis. Pergerakan yang “bersekutu” dengan orang asing, pergerakan yang mangkir akan Tuhan, asasnya sudah terbukti tak dapat melaksanakan cita-citanya yang memang suatu utopi. Begitulah tuduh-menuduh antara yang satu dengan yang lain. Hal ini kemudian dijelaskan oleh H.G. Wells, penulis Inggris termasyhur yang tak memihak siapa juga, bahwa umpamanya kaum bolshevik itu “tidak dirintang-rintagi” barangkali mereka bisa menyelesaikan suatu percobaan yang maha-besar faedahnya bagi peri-kemanusiaan. Sesungguhnya taktik Marxisme yang sekarang sudah berlainan dengan yang dulu. Taktik yang dulu sikapnya begitu sengit anti kaum kebangsaan dan anti kaum keagamaan, sedangkan sekarang berbalik menjadi persahabatan dan penyokong.

Adapun teori Marxisme sudah berubah pula dan memang seharusnya begitu. Marx dan Engels bukanlah nabi-nabi yang bisa mengadakan aturan-aturan yang bisa terpakai untuk segala zaman. Hal inilah yang dinamakan revisionisme, bahwa suatu teori haruslah dirubah sesuai dengan perubahan dunia. Marx dan Engels sendiripun mengerti dan sering menunjukkan perubahan paham tersebut seperti perbedaan “Teori Verelendung” pada Manifes Komunis dan Das Kapital.
 
Berdirinya bangsa Indonesia sebagai negara yang merdeka tidak terlepas dari kemampuan pendiri bangsa dalam mempersatukan seluruh elemen masyarakat yang terdiri dari beraneka ragam suku, ras, agama, serta pemikiran. Hal ini dapat dan memang seharusnya terjadi karena rasa senasib sepenanggungan serta keinginin hidup menjadi satu, yaitu satu nusa dan satu bangsa dirasakan oleh seluruh tumpah darah Indonesia.Pertentangan antar golongan sangatlah dapat dikesampingkan demi terwujudnya cita-cita luhur bangsa Indonesia yang termaktub dalam UUD NRI 1945 yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Sehingga penting adanya tiap insan memiliki pikiran serta paham yang dianut, akan tetapi kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan harus diletakkan diatas segalanya.

Tantangan kedepan dalam berbangsa dan bernegara sangatlah berat dalam menjaga persatuan, kesatuan, serta keutuhan Republik Indonesia. Adanya upaya disintegrasi, perpecahan akibat perbedaan politik, serta kemelaratan akibat cengkraman kaum Kapitalis yang semakin hari semakin merongrong kaum Marhaen merupakan hal-hal yang harus dilawan dan diperjuangan oleh generasi penerus bangsa.Sudah saatnya kita bersatu melawan Neo-Imperialisme dan Neo-Kapitalisme demi terwujudnya Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *