Oleh : Usman Hamid dan Naufal Rofi
“Tuhan, berapa kamis yang KAU punya?
Empat ratus Kamis sudah kulalui
Berapa kamis lagi harus kutempuh?
Tak kunjung ia kujumpa”
Baris-baris itu adalah penggalan puisi yang menarasikan film pendek berjudul “Kutunggu di Setiap Kamisan” (Every Thursday Will I Await Your Return). Diambil dari puisi esai Denny JA, film ini dirilis selang dua hari sebelum Aksi Kamisan yang ke-625, pada 5 Maret 2020 lalu.
Menggabungkan narasi puisi, animasi, dan adegan nyata, karya audiovisual ini mengangkat cerita seorang istri bernama Lina yang menanti keadilan atas suaminya yang hilang. Karya ini menambah daftar film pendek yang mengangkat Aksi Kamisan, antara lain Payung Hitam (2011) karya sutradara Chairun Nissa, Kamis Ke-300 (2014) karya Happy Salma, dan Kamis (2017) karya sutradara M. Irfan Ramli.
Tulisan ini akan coba meninjau pesan apa yang terkandung dalam film-puisi “Kutunggu di Setiap Kamisan (2020)”. Dengan membentangkan terlebih dahulu kisah Lina, tulisan ini akan memberikan catatan-catatan atas karya ini sekaligus pentingnya kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu diungkapkan.
Kisah Lina
Film-puisi ini bercerita tentang Lina, berdomisili di Yogyakarta, ditinggal suaminya ke Jakarta pada Mei 1998. Tanpa memberikan kepastian kapan, ia memberitahu Lina untuk menunggu di hari Kamis, entah minggu ini, bulan depan, atau tahun berikutnya.
Suaminya, dipanggil Kang Mas, tak hanya berpisah dengan Lina, tapi juga calon anak yang masih di dalam kandungan sang istri.
Setiap Kamis, Lina menunggu, tapi Kang Mas tak pernah pulang. Minggu ketiga di bulan Mei 1998, banyak berita mencuat: kerusuhan di mana-mana, pusat perbelanjaan dijarah, kaum Tionghoa diserang, dan lain sebagainya.
Lina kemudian sempat meminta bantuan ayahnya untuk bersama ke Jakarta mencari suaminya, tetapi tidak membuahkan hasil.
Saat anaknya, Rambu, menginjak usia tujuh tahun, ia bertanya pada sang ibu apakah ayahnya sudah meninggal. Lina sontak menjawab bahwa Ayah Rambu sedang bertugas di Jakarta dan akan segera pulang.
Ia meyakinkan dirinya bahwa sang suami masih hidup, terlepas dari tafsiran orang-orang di sekitarnya.
Anwar, sahabat Kang Mas, sering menghabiskan waktu bersama Lina dan Rambu.
Tak hanya bersimpati dan berusaha membantu kondisi mereka, Anwar juga perlahan menaruh rasa cinta pada Lina. Tapi, Lina tetap belum bisa mengikhlaskan hilangnya sang suami.
Di suatu perbincangan dengan Anwar, Lina kemudian menceritakan tentang ayahnya yang dituduh komunis dan diasingkan ke Pulau Buru. Hal tersebut membuat Lina trauma, tidak hanya karena ayahnya dipenjara, tetapi karena keluarganya mendapatkan perilaku yang tidak pantas dari orang-orang di lingkungan sekitar.
Pada tahun 2006, Lina memutuskan pindah ke Jakarta. Di sana, ia bertetangga dengan sosok aktivis hak asasi manusia (HAM) bernama Shinta. Di suatu Kamis bulan Januari 2007, Shinta mengajak Lina untuk menghadiri aksi di seberang Istana Negara.
Meski awalnya menolak karena tidak paham politik, tapi Lina akhirnya bersedia datang. Tapi, Lina enggan berorasi dan memilih diam. Ia hanya ingin berdoa untuk suaminya.
Sejak saat itu, ia pun tidak pernah absen untuk menghadiri Aksi Kamisan.
Pada Aksi Kamisan ke-400, seorang wartawan ambisius bernama Radi datang untuk meliput acara. Ia pun tertarik dengan Lina yang selalu diam dengan syal warna kuning mengalungi lehernya.
Tetapi, Lina tidak pernah mau diwawancarai. Radi pun mendekati Shinta untuk dapat mendapatkan cerita Lina.
Tetapi, Shinta ternyata akhirnya jatuh cinta pada Radi, dan ia sempat geram saat Radi menyatakan kalau ia hanya ingin bisa mewawancarai Lina. Namun, Randi mengibuli Lina dan mengatakan kalau tujuannya adalah untuk publik mengetahui fakta yang terjadi dan Aksi Kamisan bisa lebih dikenal banyak orang.
Shinta luluh dan akhirnya meyakinkan Lina untuk dapat diwawancarai oleh Radi.
Ambisi Radi telah tercapai, tapi ia tidak hanya mendapat berita yang diincarnya sejak lama. Radi belajar tentang makna cinta sejati dan perjuangan mencari keadilan.
Pada dasarnya, karya ini mengangkat kisah cinta yang—seperti judulnya—diselipkan dalam perjuangan mencari keadilan, tepatnya dalam Aksi Kamisan.
Hal ini memberikan perspektif yang cukup unik dalam menghadirkan kisah masa lalu agar senantiasa diingat. Juga dalam memandang urgensi penegakan HAM, yakni keterikatan mendalam yang terkadang tidak bisa ditakar dan dikemukakan begitu saja.
Lina dipotretkan sebagai seorang istri sekaligus ibu yang selalu sabar menunggu kepulangan suaminya. Rasa cinta sekaligus rindu itulah yang menemaninya setiap Kamisan.
Pesan ingatan dan cinta
Film-puisi ini juga mengingatkan pada kisah yang semula kami duga dikisahkan dalam film-puisi ini.
Saat pertama menonton sekilas, kami awalnya mengira bahwa ini adalah cerita fiksi yang diambil dari kisah nyata perempuan bernama Dyah Sujirah atau biasa dipanggil Sipon. Ia adalah istri dari penyair Wiji Thukul yang hilang pada sekitar medio Mei 1998.
Namun berbeda dengan kisah Lina di film-puisi ini, Sipon tak pernah pindah ke Jakarta. Ia bersama kedua anaknya yang juga seniman, Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, selalu menetap di Solo.
Berbeda dengan Lina, kisah Sipon diceritakan melalui kisah anaknya, dalam sebuah film berjudul Nyanyian Akar Rumput. Di film ini kita temukan bagaimana seorang anak mencoba membebaskan dirinya dari kedukaan masa lalu untuk kemudian menemukan cara-cara bahagia lewat bermusik.
Kakaknya Fitri Nganti Wani juga demikian, menuangkan ekspresi diri melalui puisi-puisi yang membawa dirinya tak terbelenggu pada kelamnya masa lalu.
Ibu mereka, Sipon, ada dalam keadaan yang lebih sulit karena sejak awal harus membesarkan anak-anaknya di tengah kehidupan yang serba terbatas.
Meski hanya ada sedikit kemiripan, bisa jadi Kutunggu di Setiap Kamisan mengimajinasikan kisah keluarga lain yang juga mengalami kehilangan khususnya ketika peristiwa Mei 1998. Penghilangan paksa di peristiwa ini masuk gelombang ketiga penghilangan orang secara paksa.
Gelombang yang pertama terjadi setelah penyerangan kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia, 27 Juli 1996.
Sementara gelombang penghilangan kedua terjadi menjelang digelarnya Sidang Umum MPR/DPR Maret 1998 yang agendanya ketika itu adalah menetapkan Presiden Suharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya.
Bagi sosok seperti Nezar Patria (kini Pimred The Jakarta Post) dan sahabatnya yang lain seperti Rahardja Waluya Djati, bulan Maret adalah bulan yang kelam karena mengingatkan mereka pada bentuk-bentuk penyiksaan ketika mereka dalam penyekapan.
Khusus Wiji Thukul, ia telah diburu sejak gelombang pertama hingga akhirnya hilang.
Kembali ke film-puisi, pesan cerita di sini jelas membawa pesan tentang petingnya merawat ingatan tentang masa lalu yang kelam. Bukan untuk terpaku pada rasa kehilangan, apalagi rasa kesedihan yang berkepanjangan.
Lebih dari itu, untuk merawat rasa cinta dan kesetiaan pada seorang anggota keluarga yang dicintai.
Di kisah Lina, itu adalah rasa cinta pada suami.
Di kisah Aksi Kamisan, itu adalah rasa cinta dan kesetiaan seorang ibu Sumarsih pada anak lelakinya. Itu juga adalah rasa cinta seorang perempuan bernama Sipon pada suaminya, Wiji Thukul.
Di banyak kisah nyata, itu adalah rasa cinta pada suami, ayah, dan anak mereka. Tanpa bosan sosok ibu-ibu di Aksi Kamisan terus berdiri diam di bawah payung hitam di seberang istana, pusat kekuasaan yang didominasi oleh kaum laki-laki.
Seperti dikatakan William Faulkner, masa lalu sebenarnya bukan masa lalu. Dalam kisah mereka, masa lalu ada kisah mereka hingga hari ini. Kisah cinta yang universal dan abadi dari seorang ibu, seorang ayah, seorang istri, atau seorang anak pada orang-orang yang mereka cintai.
Dalam realitas Aksi Kamisan, rasa cinta ini pula yang secara teguh digambarkan oleh Ibu Sumarsih pada anak lelakinya, Wawan yang ditembak peluru tajam dalam penyerangan militer ke kampus Atmajaya, 13 November 1998 silam.
Peristiwa ini bukan peristiwa kriminal biasa, sebagaimana tersirat dari pernyataan seorang Jaksa Agung di depan rapat DPR RI baru-baru ini.
Pada tragedi Semanggi, 13-14 November 1998, 17 mahasiswa dan warga yang gugur akibat peluru tajam dan 109 mahasiswa mengalami luka-luka.
Hampir setahun setelah itu, dalam tragedi Semanggi II, 23-24 September 1999, 11 orang mahasiswa dan warga gugur akibat peluru tajam.
Kedua tragedi ini adalah keberulangan dari tragedi Trisakti, 12 Mei 1998 di mana empat mahasiswa gugur akibat peluru tajam dan hampir 100 mahasiswa mengalami luka-luka.
Sebenarnya, hampir seluruh kisah ketekunan para korban dalam menggelar Aksi Kamisan bertumpu pada kepemimpinan Ibu Sumarsih.
Sosok inilah yang sebenarnya menjadi ikon dalam Aksi Kamisan. Sosoknya bukan sosok ibu yang anaknya dihilangkan secara paksa, tetapi kehilangan anaknya yang tewas ditembak peluru tajam tantara ketika ia berusaha menolong mahasiswa yang jatuh tertembak di kampusnya, Atmajaya.
Tapi karya ini juga cukup mampu menangkap situasi pada saat itu, yakni gejolak yang terjadi pada tahun 1998. Sosok Kang Mas dalam film-puisi ini adalah satu di antara sejumlah orang yang diduga menjadi korban penghilangan paksa dalam peristiwa kerusuhan Mei 1998, yang juga tidak hanya terjadi di Jakarta tapi di beberapa kota lain di Indonesia.
Peristiwa ini dilatarbelakangi merosotnya nilai tukar rupiah yang berujung pada pemecatan massal pekerja-pekerja di Indonesia.
Ketakutan akan terjadinya ketidaktenangan sosial, seperti demonstrasi dan gerakan politik tandingan, malah direspon dengan negatif oleh pemerintah dan militer yang tidak mentoleransi gerakan oposisi apa pun.
Banyak institusi dan individu yang diancam dengan tuduhan subversi—tindak kriminal yang dapat dijerat dengan hukuman mati.
Perhatian yang diberikan lembaga pemerhati HAM dan organisasi nonpemerintah lainnya juga tidak diterima dengan baik olah pemerintah pada masa itu.
Pasca 1998, perjuangan menuntut keadilan terus berlanjut. Di tahun kesembilan, tepatnya pada tanggal 18 Januari 2007, keluarga korban pelanggaran HAM di Indonesia memutuskan untuk melaksanakan aksi untuk pertama kalinya, yang sampai hari ini disebut dengan Aksi Kamisan.
Kegiatan ini menuntut negara untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat di Indonesia seperti Tragedi Semanggi 1998-1999, Tragedi 13-15 Mei 1998, Tragedi Trisakti, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Talangsari 1989, dan lain-lain.
625 kali Aksi Kamisan
Film-puisi ini merujuk Aksi Kamisan sebanyak 400 kali, mengindikasikan sebuah momen waktu saat puisi esai itu dituliskan. Sampai saat ini, Aksi Kamisan terus berlanjut, dan telah dilakukan selama 625 kali.
Setiap hari Kamis sore, keluarga korban, aktivis pelindung HAM, dan masyarakat lain yang peduli dengan pelanggaran HAM juga berkumpul di seberang Istana Negara.
Tak hanya aksi diam dan orasi, surat pun kerap dikirimkan ke presiden, tapi selama tiga belas tahun Aksi Kamisan dilakukan, hanya pernah satu kali digubris.
Padahal, Presiden Jokowi pada kampanye Pilpres 2019 telah berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat.
Lina yang menjadi bagian dari Kamisan semenjak hari pertama adalah salah satu keluarga korban yang menuntut pelanggaran HAM yang terjadi pada suaminya. Kang Mas tidak pernah pulang setelah pergi dari Jakarta, dan ia juga tidak pernah ditemukan setelah Lina dan keluarganya berusaha mencarinya.
Korban penghilangan paksa adalah mereka yang secara harfiah hilang. Mereka tidak pernah dibebaskan dan nasibnya tidak pernah diketahui.
Penghilangan paksa seringkali menjadi strategi untuk menebar ketakutan dalam masyarakat. Hal ini berdampak tidak hanya kepada korban, tapi juga keluarga dan sahabat yang ditinggal.
Lina terus dirundung kesedihan, dan ini juga menyebabkan trauma pada anak mereka, Rambu, yang bahkan tidak tahu harus menuliskan status ayahnya sudah almarhum atau belum.
Di Indonesia, praktik penghilangan paksa sudah dilakukan sejak tahun 1965 lewat pembantaian massal PKI dan pendukung Soekarno yang dituduh PKI, dilanjutkan dengan Peristiwa Tanjung Priok di 1984, Tragedi Talangsari di Lampung pada 1989, okupasi Timor-Timur, dan penculikan aktivis pada tahun 1997 sampai 1998.
Pun di era reformasi, kasus penghilangan paksa juga terjadi lewat operasi militer yang dilakukan di Aceh dan Papua.
Penghilangan paksa dapat disebut sebagai pelanggaran HAM serius, karena praktik ini merampas hak yang mereka yang dihilangkan serta dari keluarganya.
Deklarasi Perlindungan bagi Semua Orang atas Penghilangan Paksa yang diadopsi Sidang Umum PBB pada 1992 dalam Pasal 13 ayat 6 menyebutkan bahwa investigasi atas kasus-kasus tersebut harus dilakukan selama nasib korban penghilangan paksa masih belum jelas.
Penghilangan paksa juga berkaitan dengan pelanggaran HAM seperti perlindungan dari penangkapan sewenang-wenang, hak untuk diakui sebagai subjek hukum, hak untuk mendapat perlindungan dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, serta hak untuk hidup.
Selain itu, keluarga korban juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi atas apa yang terjadi pada korban, sebagai sebuah bentuk pemenuhan hak atas kebenaran. Hak tersebut diatur dalam Pasal 24 Ayat 3 dari Konvensi Internasional untuk Perlindungan atas Penghilangan Paksa yang sampai saat ini Indonesia juga belum meratifikasinya.
Namun, sampai hari ini, Tim Pencari Orang Hilang dan Pengadilan HAM Ad Hoc yang didesak keluarga korban dan berbagai organisasi HAM untuk dibentuk juga tidak pernah dilakukan.
Selain itu, meski telah menandatangani Konvensi Internasional untuk Perlindungan atas Penghilangan Paksa pada 27 September 2010, pemerintah juga belum melakukan ratifikasi konvensi tersebut.
Selain hal-hal di atas, banyak pula pelajaran lain yang bisa dipetik. Meski awalnya enggan ikut Aksi Kamisan, Shinta meyakinkan Lina bahwa Kamisan bukan hanya sekadar politik—dunia yang selama ini membuat Lina trauma. Menurut Shinta, “berjuang tak perlu menjadi aktivis,” sebuah pernyataan yang kiranya relevan di era ini.
Bahkan tidak hanya keluarga korban, Aksi Kamisan sebenarnya dapat didatangi oleh siapa saja, tidak peduli apa latar belakangnya, dari mana dia berasal, dan sebagainya.
Di akhir cerita, meski ambisius dan tampak akan melakukan segala cara untuk meraih apa yang diinginkan, Radi si wartawan juga akhirnya belajar tentang kesabaran dan keteguhan Lina.
Ia juga berefleksi terhadap hidupnya sendiri, dan ia berakhir lebih menghargai arti cinta dan bagaimana hal itu dapat dipupuk sebagai bahan bakar perjuangan mencari keadilan.
Kreatifitas bertutur
Yang juga membuat film ini unik adalah cara menyampaikan cerita lewat narasi puisi esai, serta sorotan terhadap cerita cinta Lina dan Kang Mas (juga intrik romansa Shinta dan Radi).
Kebanyakan puisi mungkin sekadar dibacakan saat aksi atau hanya ditulis dan diterbitkan dalam buku.
Sebenarnya, film ini juga diangkat dari puisi esai dengan judul yang sama, yang diterbitkan pada tahun 2015.
Tapi, Denny JA menyulap puisi tersebut ke dalam rangkaian cerita bergambar yang juga digabungkan dengan adegan asli, dengan penampilan yang ciamik dari para pemerannya.
Sehingga, pemirsa bisa menikmati sebuah puisi bak novel drama yang penuh dengan makna-makna cinta, keteguhan, dan perjuangan.
Meski bukan kisah nyata, ia juga tidak mereduksi fakta dan fenomena yang selama ini terjadi. Ia mencoba detail menyebutkan tanggal-tanggal kejadian, latar tempat, dan situasi yang terjadi.
Kita pun dibuat paham dengan kondisi sosial dan politik yang bergejolak, bahkan dari pengalaman ayah Lina yang pernah tergabung dengan organisasi seni yang kiri (diduga Lekra) lalu ditangkap dan diasingkan ke Pulau Buru lantaran dituduh bagian dari PKI.
Selain itu, beberapa fakta lain pun berhasil ditangkap, seperti janji Presiden Jokowi yang tak kunjung memenuhi janjinya menuntaskan kasus pelanggaran HAM.
Karya aktivisme ala film-puisi ini tentunya dapat menjadi pintu masuk dalam memahami isu pelanggaran HAM untuk mereka yang menikmati sajian sastra dengan romansa yang kental.
Atau, sebaliknya—bagi yang sudah paham atau bahkan berkecimpung di dunia penegakkan HAM, karya ini dapat menghantarkan kita untuk mengeksplorasi gaya-gaya kepenulisan baru dan juga bentuk kampanye yang kreatif.
Selain itu, dikenalkannya Aksi Kamisan dalam karya ini juga dapat mendorong lebih banyak partisipasi masyarakat dalam perjuangan menuntut keadilan. Semoga.
“Hidup korban! Jangan diam! Lawan!”
Maret 2020
(Klik untuk menonton film: Kutunggu di Setiap Kamisan. Kisah Cinta Yang Terselip di Aksi 400 Kamis Seberang Istana:
Penulis adalah Aktivis Hak Asasi Manusia