JAKARTA, RadarBangsa.co.id – Lonjakan kasus obesitas di Indonesia kini menjadi alarm serius bagi pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, prevalensi obesitas meningkat signifikan dari 14,8 persen menjadi 23 persen dalam sepuluh tahun terakhir. Salah satu faktor yang berkontribusi besar adalah konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang semakin mudah diakses oleh berbagai kalangan, termasuk anak-anak.
Sayangnya, banyak produk minuman di pasaran belum menampilkan informasi kadar gula dan kalori secara jelas. Bahkan, sebagian di antaranya menggunakan klaim promosi yang menyesatkan. Kondisi ini mendorong Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, menyerukan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen agar lebih adaptif terhadap tantangan era digital dan ancaman kesehatan masyarakat.
Dalam agenda reses masa sidang 2025 yang berlangsung di 14 kabupaten/kota di Jawa Timur pada 2–21 Oktober 2025, Lia menyerap aspirasi masyarakat melalui program Inventarisasi Materi Pengawasan (IMP) terhadap pelaksanaan UU Perlindungan Konsumen. Dari hasil pertemuannya, banyak warga mengeluhkan lemahnya pengawasan terhadap produk pangan olahan dan meningkatnya kasus penipuan daring.
“Masyarakat masih sering dirugikan, baik karena kandungan produk yang tidak transparan maupun iklan yang menyesatkan. Selain itu, penipuan online juga meningkat tajam. Ini menunjukkan sistem perlindungan konsumen kita belum cukup kuat, terutama di sektor digital,” ujar Lia, yang akrab disapa Ning Lia, dalam keterangannya.
Menurutnya, dinamika ekonomi digital menuntut regulasi yang lebih responsif dan terintegrasi. Kini, konsumen tidak hanya bertransaksi dengan pelaku usaha lokal, tetapi juga dengan entitas global melalui berbagai platform e-commerce. “Perlindungan hukum tidak boleh berhenti di batas negara. Konsumen Indonesia berhak mendapatkan rasa aman, baik dari produk pangan maupun layanan digital,” tegasnya.
Komite III DPD RI, lanjut Lia, tengah menyusun rekomendasi kebijakan untuk memperkuat revisi UU Perlindungan Konsumen agar mencakup pengawasan lintas sektor, perlindungan berbasis teknologi, dan edukasi digital bagi masyarakat. Ia menilai, saat ini perlindungan konsumen masih terfragmentasi di berbagai lembaga seperti BPKN, BPOM, Kominfo, dan otoritas perdagangan digital, sehingga pengawasan menjadi kurang efektif.
Selain regulasi, Ning Lia menilai peningkatan literasi konsumen juga menjadi hal penting. Masyarakat, kata dia, perlu memahami bahaya konsumsi gula berlebih serta hak atas informasi produk yang jujur dan transparan. “Perlindungan konsumen bukan hanya tanggung jawab negara, tapi juga bagian dari pembangunan manusia yang sehat dan cerdas,” katanya.
Dalam kunjungannya ke berbagai daerah, Lia menemukan masih banyak produk tanpa label gizi yang jelas, layanan purna jual bermasalah, hingga penipuan transaksi daring. Temuan-temuan tersebut akan dijadikan dasar empiris bagi DPD RI untuk merumuskan rekomendasi revisi kebijakan nasional di bidang perlindungan konsumen.
“DPD RI hadir sebagai jembatan antara persoalan nyata masyarakat dan arah kebijakan negara. Perlindungan konsumen harus menjadi bagian dari transformasi ekonomi digital nasional yang berkeadilan dan berkelanjutan,” tutup Lia Istifhama, yang juga dinobatkan sebagai Wakil Rakyat Terpopuler Jawa Timur versi ARCI 2025.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin









