SURABAYA, RadarBangsa.co.id — Senator asal Jawa Timur, Lia Istifhama, menyoroti masih lemahnya pemerataan sekolah inklusi dan ketimpangan kesejahteraan tenaga pendidik di Indonesia. Dalam pandangannya, dua hal itu menjadi tantangan besar dalam mewujudkan pendidikan yang benar-benar berkeadilan bagi semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas dan para guru.
“Jangan sampai anak-anak difabel bisa menempuh pendidikan dasar di sekolah inklusi, tapi ketika ingin melanjutkan ke jenjang SMA, mereka tidak punya pilihan karena tidak ada sekolah yang mendukung kebutuhan mereka,” ujar Lia Istifhama di Surabaya, Selasa (4/11/2025).
Menurut Lia, sistem pendidikan inklusif di Indonesia masih terfokus pada jenjang dasar dan belum diikuti dengan kesiapan infrastruktur serta tenaga pendidik di tingkat menengah. Padahal, lanjutnya, keberlanjutan pendidikan bagi siswa difabel harus dijamin oleh negara agar mereka tidak berhenti di tengah jalan hanya karena keterbatasan fasilitas.
“Pendidikan inklusi bukan sekadar memberi akses, tetapi memastikan setiap jenjang siap menerima dan mendukung peserta didik difabel dengan fasilitas yang memadai,” tegas Senator yang akrab disapa Ning Lia ini.
Lia menilai, pemerataan sekolah inklusi juga berhubungan langsung dengan kesadaran sosial dan empati para pemangku kebijakan daerah. Ia menekankan bahwa kebijakan inklusi tidak cukup berhenti di atas kertas, melainkan perlu diwujudkan melalui implementasi nyata yang menyentuh sekolah-sekolah di pelosok.
“Anak-anak difabel juga memiliki hak yang sama untuk belajar, berprestasi, dan berkontribusi. Negara harus hadir secara konkret, bukan simbolik,” tambahnya.
Selain pendidikan inklusif, Lia juga menyoroti persoalan ketimpangan kesejahteraan guru antara mereka yang berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag).
“Kalau kita bicara sertifikasi guru, datanya cukup mencolok. Guru di bawah Kemendikbud sudah mencapai sekitar 65 persen, sementara di Kemenag baru sekitar 30 persen. Ini menunjukkan adanya ketimpangan serius,” ungkapnya.
Menurut Lia, perbedaan tersebut berdampak langsung terhadap semangat dan kinerja guru. Padahal, keduanya memiliki peran yang sama penting dalam membangun karakter dan masa depan anak bangsa.
“Guru di bawah Kemendikbud dan Kemenag sama-sama mendidik anak bangsa. Tidak semestinya ada perlakuan berbeda dalam hal kesejahteraan dan pengakuan,” tegasnya.
Lia berharap pemerintah pusat lebih serius menuntaskan ketimpangan ini melalui kebijakan afirmatif yang memastikan kesejahteraan guru setara di seluruh kementerian. Ia menambahkan, pendidikan yang adil tidak hanya soal akses belajar bagi siswa, tetapi juga perlakuan yang manusiawi bagi tenaga pengajar.
“Kalau kita ingin menciptakan pendidikan yang berkeadilan, maka setiap kebijakan harus berpihak pada manusia, bukan hanya angka dan data. Anak-anak difabel dan para guru adalah bagian dari masa depan bangsa ini,” pungkasnya.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin










