LAMONGAN, RadarBangsa.co.id — Sebuah momen haru dan reflektif terjadi saat Anggota DPD RI sekaligus MPR RI, Dr. Lia Istifhama, bertemu dengan seorang guru honorer yang dikenal sebagai Pak Guru Ribut. Dalam perbincangan sederhana itu, tersirat pesan mendalam tentang arti sejati menjadi seorang pendidik: bukan sekadar mengajar, tetapi mengabdi dengan ketulusan di tengah keterbatasan
Dengan wajah bersahaja dan suara tenang, Pak Ribut menceritakan kisahnya bagaimana ia tetap setia mengajar meski gaji sering kali tak cukup untuk kebutuhan bulanan. Di balik setiap papan tulis yang ia isi dengan kapur putih, tersimpan semangat luar biasa untuk mencerdaskan anak bangsa tanpa pamrih.
“Menjadi guru honorer bukan posisi rendah, tapi panggilan jiwa. Setiap huruf yang diajarkan, setiap doa dari murid, itulah investasi akhirat yang tak ternilai,” ungkap Ning Lia, dengan mata berkaca-kaca.
Menurut Ning Lia, kisah seperti Pak Ribut hanyalah satu dari ribuan kisah serupa di pelosok negeri. Guru honorer adalah fondasi pendidikan Indonesia, namun sering kali keberadaannya seolah luput dari perhatian. Mereka tetap berdiri di depan kelas meski status kepegawaian tak pasti dan penghasilan jauh dari kata layak.
“Negara harus lebih hadir untuk mereka. Saya mendengar banyak suara sunyi dari para guru honorer di desa-desa. Mereka tidak menuntut kemewahan, hanya ingin dihargai seperti pahlawan sejati,” tegasnya.
Ning Lia menilai bahwa perbaikan kualitas pendidikan nasional tak bisa dipisahkan dari kesejahteraan para pengajar. Baginya, peningkatan mutu kurikulum, fasilitas, dan teknologi tak akan bermakna jika guru pilar utama pendidikan masih berjuang untuk bertahan hidup.
“Kita tidak bisa bicara tentang pendidikan unggul sementara guru-gurunya masih hidup dalam kesulitan. Mereka bukan sekadar pengajar, tapi penjaga peradaban. Maka, negara wajib memastikan kehidupan mereka sejahtera,” tutur Ning Lia dengan nada tegas.
Pertemuan hangat itu juga menjadi ruang refleksi tentang arti syukur dan pengabdian. Di sela obrolan, Pak Ribut menyampaikan pandangan yang menyejukkan hati.
“Syukur itu bukan saat kita punya segalanya, tapi saat kita masih mau memberi di tengah kekurangan,” ujarnya lirih.
Bagi Ning Lia, pertemuan ini menjadi momentum penting untuk memperjuangkan kebijakan yang lebih berpihak pada guru honorer, baik melalui regulasi nasional maupun kolaborasi dengan pemerintah daerah. Ia berharap, perjuangan panjang para pendidik ini tak berhenti pada janji atau seremonial belaka.
“Sudah saatnya kesejahteraan guru honorer tidak lagi jadi wacana. Mereka adalah tulang punggung masa depan bangsa, dan pengabdian mereka harus dibayar dengan penghargaan yang layak,” tutup Ning Lia, seraya menatap penuh harap.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin