JAKARTA, RadarBangsa.co.id – Gelombang kritik terhadap stasiun televisi Trans7 mencuat di media sosial setelah penayangan program “Xpose Uncensored” pada Senin (13/10/2025). Tayangan tersebut dianggap menyudutkan kehidupan pesantren, khususnya Pondok Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Akibatnya, tagar #BoikotTrans7 mendadak viral dan ramai dibahas di berbagai platform digital.
Sorotan publik terutama tertuju pada narasi suara (voice over) yang dinilai tidak etis dan berpotensi menyinggung martabat kiai serta para santri. Sejumlah warganet menyebut tayangan itu menampilkan pesan keliru tentang kehidupan di pesantren dan tidak menghormati nilai-nilai religius yang dijunjung di lembaga pendidikan Islam tersebut.
Menanggapi kontroversi tersebut, Production Director Trans7, Andi Chairil , menyampaikan permohonan maaf dan menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi menyeluruh agar kejadian serupa tidak terulang. “Kami menyadari adanya kekeliruan dalam penyusunan narasi yang menimbulkan persepsi negatif. Kami mohon maaf sebesar-besarnya kepada pihak pesantren dan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Kritik juga datang dari kalangan organisasi keagamaan. Ketua Umum GP Ansor, Addin Jauharudin, menilai tayangan itu mencederai peran pesantren sebagai pilar moral bangsa. “Kiai dan pesantren bukan komoditas pemberitaan. Mereka adalah penjaga ilmu dan akhlak. Media seharusnya menyebarkan edukasi, bukan memperkeruh suasana,” katanya.
Senator asal Jawa Timur, Dr. Hj. Lia Istifhama, juga ikut menanggapi polemik tersebut. Ia mengingatkan pentingnya media menjalankan fungsi penyiaran sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yakni sebagai sarana informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, serta perekat sosial.
“Pasal 4 Undang-Undang Penyiaran sudah jelas menyebutkan fungsi penyiaran adalah perekat sosial. Jangan sampai ada oknum media yang menggeser fungsi mulia itu menjadi alat provokasi,” tegas Lia saat dihubungi, Selasa (14/10/2025).
Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang belum tentu benar. “Kalau tidak tahu fakta secara utuh, sebaiknya tahan diri untuk tidak ikut memperkeruh suasana. Belajar memahami masalah secara menyeluruh adalah bentuk kematangan sosial,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Lia juga mengungkapkan pengalaman pribadinya saat pernah menimba ilmu di pesantren. Ia menyebut kehidupan santri penuh nilai kebersamaan dan kemandirian yang tidak mudah dipahami dari luar.
“Selama mondok, saya merasakan banyak tradisi yang justru melatih kebersamaan. Misalnya kerja bakti atau ro’an, yang dilakukan dengan semangat gotong royong. Itu pengalaman berharga yang membentuk karakter santri menjadi kuat dan rendah hati,” tutur Lia.
Menurutnya, tayangan media yang membahas kehidupan pesantren seharusnya dilandasi riset mendalam agar tidak salah tafsir. “Tradisi santri tidak bisa dipahami hanya dari potongan gambar atau cerita sepihak. Media perlu memahami konteksnya agar tidak melahirkan stigma,” tambahnya.
Sementara itu, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur mengonfirmasi telah menerima sejumlah laporan masyarakat terkait tayangan tersebut. Ketua KPID Jatim, Royin Fauziana, menyebut pihaknya tengah melakukan kajian untuk memastikan apakah terjadi pelanggaran terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
“Kami menilai ada indikasi pelanggaran pada prinsip penghormatan terhadap nilai agama dan keberagaman. Penyiaran harus memperkuat toleransi, bukan menumbuhkan stigma,” ujarnya.
Polemik ini menjadi pengingat bahwa media televisi memiliki tanggung jawab besar sebagai pilar pendidikan publik. Senator Lia berharap kejadian ini menjadi momentum introspeksi bagi semua pihak, agar penyiaran di Indonesia tetap berfungsi sebagai perekat sosial, bukan sumber perpecahan.
“Kalau ingin viral, buatlah konten yang mendidik dan berempati. Bukan yang memprovokasi. Karena setiap kata di layar kaca bisa berujung pada harmoni, atau justru kegaduhan,” pungkasnya.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin