LAMONGAN, RadarBangsa.co.id – Superioritas rekomendasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai politik dalam menentukan calon kepala daerah pada Pilkada 2024 berpotensi mengancam prinsip demokrasi di tingkat daerah. Hal ini bisa mengakibatkan calon kepala daerah yang terpilih tidak mewakili aspirasi masyarakat setempat.
Menurut Ketua Yayasan Prakarsa Jawa Timur, Madekhan Ali, proses seleksi calon kepala daerah yang sepenuhnya bergantung pada rekomendasi DPP dapat menyebabkan pemerintahan daerah tidak sepenuhnya berfokus pada pelayanan publik. Kepala daerah yang terpilih mungkin lebih terikat pada komitmen politik partai pengusungnya, ketimbang pada kebutuhan dan harapan rakyat. Akibatnya, politik lokal dapat tertekan oleh oligarki politik pusat.
Pernyataan ini disampaikan Pak Made, sapaan akrabnya, saat menjadi narasumber dalam acara podcast JAMAL TV di Kedai Njagong, Lamongan, pada Rabu (7/8).
Pak Made menjelaskan bahwa undang-undang pilkada mensyaratkan pasangan calon kepala daerah yang diajukan oleh partai politik harus mendapatkan rekomendasi dari DPP, yang dalam hal ini diwakili oleh ketua umum dan sekretaris jenderal atau pihak lain dengan kewenangan setara.
“Beberapa partai politik memiliki slogan anti-mahar. Namun, kita perlu mempertanyakan apakah ada partai politik yang benar-benar menghindari praktik mahar? Selain itu, ada juga partai yang mengklaim mengutamakan kader. Pertanyaannya, apakah ada partai yang tidak memprioritaskan kadernya?” ujarnya.
Pak Made menyoroti bahwa beberapa partai politik tampaknya hanya menampilkan slogan tanpa menyertakan tindakan nyata. Praktik lobi dan pendekatan untuk mendapatkan rekomendasi dari DPP adalah hal yang wajar, tetapi terkadang hal ini dilakukan dengan cara yang tidak etis atau tidak aspiratif.
“Dalam praktiknya, ada hal-hal yang tampak tidak etis atau janggal karena rekomendasi dari ketua umum tidak selalu mengakomodasi aspirasi kader di daerah,” tambah Pak Made.
Ia memperingatkan bahwa ancaman terhadap demokrasi dalam Pilkada 2024 bisa muncul dari proses yang tidak memudahkan pemilih dalam memilih kepala daerah, karena kandidat yang tersedia berasal dari rekomendasi DPP partai politik. Ini dapat menyebabkan kandidat yang dipilih tidak mencerminkan ideologi pemilih.
“Kemunculan calon di tahap akhir pendaftaran menyebabkan masyarakat hanya memiliki waktu terbatas untuk memilih, seperti memilih makanan panas yang belum sepenuhnya dingin,” pungkasnya.