Food Estate Gagal, Gus Imin : Dampak Negatif pada Petani Indonesi

Petani

PASURUAN, RadarBangsa.co.id – Persoalan produksi pangan nasional masih menjadi pekerjaan rumah yang belum memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat, terutama para petani. Upaya pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan tampaknya belum berjalan efektif, bahkan menimbulkan dampak negatif terhadap produktivitasnya.

Pemerintah berusaha memenuhi kebutuhan pangan nasional dengan mengalokasikan lahan baru yang lebih luas di wilayah perhutanan melalui program strategis nasional yang diberi nama ‘Food Estate’. Sayangnya, pelaksanaan program tersebut tidak berjalan mulus dan malah menelan anggaran yang cukup besar. Akhirnya, solusi untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional dilakukan dengan mengimpor produk pangan dari negara lain.

Bacaan Lainnya

Kekecewaan muncul di kalangan masyarakat, yang merasa bahwa anggaran negara seharusnya lebih difokuskan pada kebutuhan dasar, seperti penyediaan pupuk dan bibit unggul bagi para petani. Abdul Muhaimin Iskandar atau Gus Imin menyampaikan kritikan tajam terhadap pembiaran yang berlangsung lama.

“Petani puluhan tahun tidak mendapatkan cukup pasokan pupuk dan bibit unggul. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip demokrasi yang seharusnya melibatkan rakyat, khususnya petani, dalam pembangunan pertanian,” ujar Gus Imin pada keterangannya, Kamis, 25 Januari 2024.

Gus Imin menyoroti fakta bahwa petani tidak mendapatkan keuntungan yang seharusnya dalam kondisi krisis pangan.
“Petani seharusnya menjadi pihak yang untung dan mampu memenuhi pasar saat terjadi krisis pangan. Namun, kenyataannya, terus merugi, jarang meraih keuntungan, sementara pupuk sulit didapatkan dan harganya tinggi. Hal ini perlu segera diluruskan” tegasnya.

Sebagai Ketua Umum PKB, Gus Imin mendesak pemerintah untuk lebih memprioritaskan  dalam strategi produksi pangan nasional. Baginya, program Food Estate hanya menguntungkan segelintir orang, sementara para petani yang hidupnya belum sejahtera tidak mendapatkan manfaat yang signifikan.

“Food Estate ini seakan-akan hanya menguntungkan perusahaan besar dengan pengelolaan dana puluhan triliun, penjarahan hutan, tanpa memperhatikan kesejahteraan petani. Jika sukses, tentu tidak masalah, tetapi sekarang terjadi tanaman yang tidak sesuai dengan rencana. Ini menjadi masalah yang rumit, bukan” tambahnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *