KOTA BATU, RadarBangsa.co.id – Udara pagi di Desa Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu, terasa berbeda pada Senin (21/7/2025). Suasana khidmat menyelimuti tujuh titik makam leluhur desa, saat warga setempat melangsungkan tradisi doa bersama untuk memperingati datangnya bulan Suro—bulan yang sakral dalam penanggalan Jawa.
Tradisi ini bukan sekadar rutinitas tahunan. Bagi warga Sidomulyo, doa bersama di punden atau petren leluhur adalah wujud penghormatan kepada para pendahulu yang diyakini telah membuka dan merintis desa ini jauh sebelum zaman kolonialisme. Salah satu tokoh sentral dalam prosesi ini adalah Mbah Mariani, perempuan sepuh berusia sekitar 90 tahun, yang tetap setia memimpin jalannya doa di setiap makam.
Dengan suara lirih namun penuh makna, Mbah Mariani memimpin doa di petren Mbah Nimas Dungpuro dan makam Haji Rojali, yang berada di rest area milik Tanah Kas Desa (TKD) Sidomulyo. Ia tak sendiri. Kepala Desa Sidomulyo, Drs. Suharto, M.M., turut hadir bersama sejumlah perangkat desa seperti Sugianto dan Suyitno. Bersama-sama, mereka menyatukan harapan agar Desa Sidomulyo senantiasa dijauhkan dari marabahaya dan diberkahi hasil bumi yang melimpah.
“Jangan pernah melupakan jasa dan perjuangan tujuh leluhur kita,” pesan Mbah Mariani dengan mata berkaca-kaca. “Doa dan rasa terima kasih kita adalah bentuk penghormatan, agar desa ini tetap tenteram dan mendapat ridho dari Gusti Allah.”
Ritual ini, bagi masyarakat Sidomulyo, merupakan bagian dari upaya uri-uri budaya—merawat tradisi agar tak hilang ditelan zaman. Kepala Desa Suharto menegaskan pentingnya menjaga adat dan kearifan lokal, terutama di tengah masyarakat yang plural secara agama maupun kepercayaan.
“Tradisi ini bukan sekadar budaya, tapi juga menjadi jalan spiritual bagi kami untuk bersyukur kepada Allah SWT dan mengenang jasa para sesepuh,” ujar Suharto kepada media.
Tak hanya berdoa, Pemdes Sidomulyo juga memanfaatkan momen Suro tahun ini untuk melakukan perbaikan di tujuh makam utama. Langkah ini dimaksudkan agar makam-makam tersebut tetap terawat dan menjadi pengingat bagi generasi mendatang tentang asal-usul dan perjuangan para leluhur.
“Ini adalah bentuk rasa hormat kami, sekaligus pendidikan budaya bagi anak cucu agar tetap ingat pada akar sejarahnya,” pungkas Suharto.
Penulis : wanto
Editor : Zainul Arifin