SURABAYA, RadarBangsa.co.id – Persoalan tarif dan potongan tinggi yang dikenakan aplikator transportasi online kembali mencuat. Para pengemudi ojek online (ojol), taksi daring, dan kurir menilai kebijakan diskon besar-besaran justru menekan penghasilan mereka.
Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) sebelumnya menyebut ada potongan hingga 70 persen dari platform.
“Kami mendapati potongan platform sampai 70 persen. Driver hanya mendapat Rp5.200 untuk mengantar makanan, padahal konsumen membayar Rp18 ribu,” kata Ketua SPAI, Lily Pujiati, dalam keterangan pers pada Juli lalu.
Beban semakin berat karena para pengemudi harus menanggung biaya operasional harian, mulai dari bensin, parkir, pulsa, servis kendaraan, hingga cicilan motor dan ponsel. Tak heran gelombang protes terus bermunculan di berbagai daerah.
Situasi itu disampaikan langsung oleh Komunitas Frontal (Front Driver Online Tolak Aplikator Nakal) Jawa Timur dalam audiensi dengan Anggota DPD RI, Lia Istifhama, di kantor DPD RI, Senin (3/9). Mereka mengaku kian tercekik oleh kebijakan promo yang menyalahi aturan tarif batas bawah.
“Norma standar prosedur belum jelas, sanksi dan sistem suspend justru memberatkan. Aplikator seolah berjalan tanpa kontrol,” ujar Ketua Komunitas Frontal Jatim, Richo Suroso.
Keluhan juga datang dari pengemudi roda empat dan kurir barang. Untuk transportasi mobil, tarif seharusnya Rp3.800 per kilometer, namun aplikator kerap tidak patuh. Pada jasa pengiriman barang, tarif bisa jatuh di bawah Rp50 ribu meski biaya BBM, tenaga, dan waktu kerja sudah tinggi.
“Kami sudah tiga bulan menuntut penyesuaian tarif, tapi aplikator tetap cuek,” tambah Riko.
Di tingkat daerah, sebenarnya sudah ada payung hukum. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada Juli 2023 mengeluarkan dua keputusan yang mengatur pengawasan tarif dan larangan promo berlebihan. Kebijakan serupa juga diterapkan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Namun, daerah tidak memiliki kewenangan memblokir aplikasi.
“Pemerintah pusat, khususnya Komdigi, belum punya sanksi tegas,” kata Riko.
Menanggapi hal itu, Lia Istifhama menilai peran Komdigi sangat penting. Menurutnya, Dishub maupun pemerintah daerah terbatas kewenangannya, sehingga regulasi harus ditegakkan di level pusat.
Perempuan yang akrab disapa Ning Lia itu juga menyinggung dampak Omnibus Law atau UU Cipta Kerja terhadap relasi pemerintah pusat dan daerah.
“Pasal 174 menempatkan banyak kewenangan di tangan presiden. Pemerintah daerah hanya pelaksana. Selain itu, Omnibus Law juga memberi wewenang ekstra pusat dalam urusan perizinan. Ini perlu kita kaji bersama,” jelasnya.
Ia berharap revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang masuk Prolegnas 2025, bisa memberi solusi adil bagi skema tarif ojol dan kurir.
“Tidak ada pilihan lain selain Komdigi menunjukkan negara hadir dengan aturan sanksi bagi aplikator nakal. Saya percaya Presiden Prabowo aspiratif, tapi kementerian terkait juga harus sigap agar persoalan tarif ini segera tuntas,” pungkas Lia.
Penulis : Nul
Editor : Zainul Arifin