SURAKARTA, RadarBangsa.co.id – Dalam rangka memperingati Hari Konstitusi Nasional yang jatuh pada 18 Agustus 2020, Rektor IAIN Surakarta meresmikan Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (Puskohis) IAIN Surakarta sekaligus membuka Seminar Internasional tentang Konstitusi di IAIN Surakarta.
Puskohis sebagai penyelenggara menghadirkan tiga Guru Besar dalam Seminar Internasional bertajuk “Meneguhkan Konstitusi di NKRI”.
Seminar Internasional tersebut diselenggarakan secara virtual melalui aplikasi Zoom, diikuti oleh peserta dari Indonesia berjumlah 770 orang dan cendekiawan serta ilmuan dari 32 Negara antara lain Australia, Amerika Serikat, Yaman, Turki, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Maroko, Sri Langka, Nigeria, Qatar, Abu Dabi, Hongkong, dan Singapura.
Dalam acara ini panitia juga mengundang beberapa instansi yang memiliki lembaga Fatwa Hukum misalnya PBNU dengan LBM-nya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Muhammadiyah, MUI, serta Pondok Pesantren yang ada di sekitar Solo raya.
Bertindak sebagai moderator sekaligus menjadi Penerjemah Bahasa adalah A.M. Mustain Nasoha yang merupakan Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam IAIN Surakarta.
Seminar dibuka secara resmi oleh Prof Mudhofi selaku Rektor IAIN Surakarta. Dalam sambutannya, beliau juga meresmikan berdirinya Puskohis.
Adapun keynote speaker yang semula akan disampaikan Wakil Gubernur Jawa Tengah adalah K.H. Taj Yasin Maimun diwakili oleh Kabiro Kesra Setda Prov Jateng, Imam Maskur dengan tema “Meneguhkan Konstitusi NKRI demi Ketaatan Masyarakat kepada Konstitusi dan Syariat Agama”.
“UUD NRI 1945 adalah kontrak sosial atau perjanjian bersama tertinggi dalam suatu negara,” beber Imam Maskur. Selasa, (04/8/2020).
Menurut Imam Maskur, perumus telah mengikhtiarkan agar kontitusi dibangun sesuai karakter bangsa meskipun disusun berdasarkan referensi konstitusi dari berbagai negara.
“Tata Hukum negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD telah memberikan landasan dan arah politik hukum terhadap pembangunan bidang hukum Islam dengan jelas dengan merujuk pada Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa,” imbuhnya.
Sebelum mengakhiri penyampaiannya, Imam Maskur mengajak semua elemen bangsa termasuk mahasiswa, kaum akademisi, budayawan, ulama, seniman, wartawan, tokoh adat dan semua komunitas untuk menjadikan Pancasila dan UUD 1945 menjadi titik temu nilai bersama.
Pembicara pertama, Prof Syekh Maher Al Munajid menyampaikan tentang ketaatan kepada pemerintah, setelah Allah SWT dan Rasulullah SAW.
Dalam penyampaiannya, Guru Besar dari Universitas Abi Nur Damaskus Suriyah itu mendoakan agar Negara Indonesia serta IAIN Surakarta menjadi senantiasa diberkahi oleh Allah.
Selain itu, Prof Maher juga mendoakan agar semua urusan kampus dimudahkan oleh Allah dan siapa pun yang membantu dan memuliakan kampus IAIN Surakarta diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
“Dalam kehidupan bernegara, saya mengingatkan, kita semua untuk memperhatikan lima hal yang sangat urgensi agar kehidupan kita mulia dunia akhirat. Pertama, iman kepada Allah SWT.
“Barangsiapa yang beriman dan mengikuti perintah Allah SWT, akan mendapat kemuliaan dan arah hidup yang benar serta hidup bahagia dunia dan akhirat. Adapun orang yang berkhianat dan tidak beriman, akan mendapat kesusahan dalam hidupnya,” terang Syekh Maher.
Kedua, Prof Maher melanjutkan, pentingnya persatuan, nasihat-menasihati dalam kebeneran. Dalam penyampaian materinya, ia juga mengajak pemerintah untuk meneladani Sahabat Rasulullah.
“Hendaknya pemerintah mengikuti teladan Sayidina Umar bin Khotob dan Sayidina Umar bin Abdul Aziz, yaitu mendahulukan kepentingan rakyatnya. Persatuan negara harus diutamakan, bukan kepentingan pribadi,” tegasnya.
“Ketiga, as-syuro atau musyawarah. Apa yang kita lakukan hendaknya kita musyawarahkan dengan cara demokrasi. Beliau juga menyampaikan bahwa mencitai tanah air adalah suatu keniscaayaan dan kewajiban,” sambungnya.
“Keempat, keadilan sosial. Kita harus menerapkan sikap adil kepada siapa pun, baik dalam hal kenegaraan maupun keagamaan. Kelima, menjaga kemuliaan setiap manusia,” lanjutnya.
“Hal itu bisa dilakukan dengan cara tidak mengambil barang yang bukan hak kita, melakukan sumpah palsu, mengurangi timbangan, hendaknya tidak memberi tugas seseorang melebihi dari kemampuannya dan memberikan hak setiap manusia,” tambahnya.
Ada satu hadist penting yang mendasari Argumentasi Syekh Maher yaitu dari Auf ibn Malik, berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sebaik-baiknya pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian mencintai mereka dan mereka pun mencintai kalian, juga yang kalian mendoakan kebaikan untuk mereka dan mereka pun mendoakan kebaikan untuk kalian”.
“Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian ialah orang-orang yang kalian membenci mereka dan mereka pun membenci kalian, juga yang kalian melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian,” imbuhnya.
Lalu, Auf berkata: “Ya Rasulullah, bolehkah kita memberontak kepada mereka?” Rasulullah SAW bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah kalian”. (HR Muslim). Dari hadist ini, jelas bagaimana kita bisa bersikap sebagai pemimpin atau warga negara,” lugasnya.
Pemateri kedua, Prof Syekh Fahthi Al Hijazi Al Hasani, Guru Besar Universitas Al Azhar Cairo Mesir. Ia menyampaikan bahwa, agar menjadi manusia yang bahagia dunia akhirat, semuanya harus memperhatikan tiga hal, yaitu taat kepada Allah, Rasulullah, dan pemerintah.
“Ketaatan kepada ketiganya mutlak, tidak bisa dipisahkan. Pemerintah yang kita pilih adalah pemerintah yang memiliki keilmuan dalam pemerintahan. Seperti Sayidina Abubakar, dan tiga khulafaurrasyiddin yang lain,” ujarnya.
Berdasarkan penuturan Syekh Fahthi, hendaknya pemerintah taat kepada Allah, meminta nasihat seperti Sayidina Umar yang selalu meminta pendapat atau nasihat Sayidina Ali.
Seperti yang disampaikan oleh pemateri pertama, Syekh Fahthi juga menyampaikan bahwa, aturan yang dibuat oleh pemerintah tidak boleh berseberangan dengan syariat. Selain itu, pemerintah harus menghargai bawahannya.
“Apabila ada masalah dalam kehidupan kita, kembalilah kepada Allah dan Rasulullah! Selagi tidak memerintahkan kemaksiatan, wajib taat kepada pemerintah,” beber Prof Fahthi.
Sebelum menutup materinya, Syekh Fahthi yang merupakan salah seorang “Sayyid” atau keturunan Rasulullah itu mengajak semuanya untuk memperhatikan tiga hal penting.
“Pertama, pastikan kita adalah orang yang menaati hukum negara, kontitusi, dan syariat Allah. Kedua, mencintai dan memuliakan orang lain. Ketiga, selalu berusaha husnudzan atas apa yang ditentukan oleh Allah SWT,” lanjutnya.
Ia mengingatkan kepada seluruh komponen bangsa tentang bahayanya menentang pemerintah bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa melihat sesuatu yang tidak disenangi dari pribadi pemimpinnya (Kepala Negaranya), hendaklah ia bersabar.
Karena tidak ada seorangpun yang memisahkan diri dari jama’ah (tidak mau mengakui kepemimpinan seorang Kepala Negara) bila ia mati ia akan mati secara jahiliyah”. H.R. Thabrany.
Pembicara ketiga, Prof. Makhrus (Guru Besar Ilmu Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), ia memaparkan materi “Meneguhkan Kontitusi di NKRI Perspektif Syariat Islam”.
Prof. Makhrus menyampaikan bahwa, Indonesia dengan dasar Pancasila adalah bentuk atau hasil dari perjanjian politik yang memiliki tiga poin penting. Pertama, Pancasila sebagai pilar atau penyangganya. Kedua, negara wajib ada karena kebhinekaan. Ketiga, komponen bangsa wajib menjaga keutuhan negara.
Mengutip penyataan Imam Ghozali, Prof Makhrus mengutarakan hubungan antara negara dan agama.
“Negara dan agama adalah dua sisi yang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan bernegara,” tegasnya.
Umar bin Khattab pernah berkata, “Bahwasanya tidak ada Islam kecuali dengan jama’ah, dan tidak ada jama’ah kecuali dengan keamiran, dan tidak ada keamiran kecuali dengan ketaatan”.
Prof Makhrus menambahkan, bahwa negara Indonesia menjadikan agama sebagai sendi dalam kehidupan bernegara. Sehingga negara tidak boleh meninggalkan agama.
“Negara tidak boleh mencampuri setiap warga yang beribadah sesuai agama, akan tetapi Negara Wajib melindungi setiap warga negara yang beribadah sesuai agamanya,” tutup Prof Makhrus.
(Yah/Nas/Ari)